Prof. Paul Connett: Ide Pendirian Insinerator di Indonesia Buruk
Reporter
Tempo.co
Editor
Erwin Prima
Minggu, 14 Juli 2019 06:20 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Prof. Emeritus Paul Connett, seorang aktivis sekaligus ahli toksikologi dan kimia lingkungan, merasa sangat sedih saat ia mengetahui bahwa Pemerintah Indonesia merencanakan dan mengajukan pendirian insinerator di 12 kota di Indonesia.
“Ide ini merupakan rencana yang sangat salah dan sangat mahal jika dijadikan solusi mengelola sampah yang ada di Indonesia,” tegas lulusan Ph.D., dari Dartmouth College ini, Sabtu, 13 Juli 2019.
Prof. Paul datang ke Indonesia dalam rangkaian tur dunianya yang bertajuk Zero Waste Campaign Tour 2019. Kedatangannya tahun 2019 ini merupakan kali kedua di Indonesia, setelah pada 2016 lalu ia hadir dalam rangkaian kegiatan yang senada untuk berbicara di berbagai kota, mulai dari Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Denpasar.
Kunjungan Prof. Paul pada 2019 ini masih membawa pesan utama yang sama, yaitu mendorong implementasi konsep zero waste sebagai solusi yang berkelanjutan untuk permasalahan sampah di dunia dan menolak penerapan false solution dalam pengelolaan sampah di Indonesia, seperti insinerator, pyrolysis, waste-to-energy, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dan lain sebagainya.
“Satu alasan kenapa ide ini sangat buruk adalah karena sampah Indonesia telah bercampur dan tergolong sampah yang basah, sehingga membutuhkan energi yang lebih besar untuk memprosesnya,” tambahnya.
Menurutnya, dengan proses tersebut, produksi energi net yang dihasilkan akan tetap kecil, sementara secara ekonomi insinerator juga tidak menguntungkan.
Prof. Paul mengatakan solusi yang semestinya ditelurkan adalah bukan berupa high-temperature approach seperti insinerator, tetapi adalah low-temperature approach, yakni anaerobic digestion yang dibantu mikroba pada pengelolaan sampah organik.
Prof. Paul juga menyoroti rencana Pemerintah yang sedang mewacanakan pembangunan PLTSa di 12 kota yang akan menerapkan pengolahan sampah menjadi listrik atau "waste-to-energy", seperti Jakarta, Medan, Surabaya, Bali, Bandung, dan Manado.
Selain itu, Pemerintah juga akan membangun fasilitas pembakar sampah (insinerator) yang rendah emisi CO2 (karbon dioksida). Alat seperti ini akan dipasang di daerah-daerah yang menghasilkan sampah di bawah 150 ton per hari.
Yobel Novian Putra, Koordinator Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) sebagai perwakilan panitia penyelenggara Zero Waste Campaign Tour 2019, mengatakan kebijakan pemerintah untuk mempromosikan teknologi termal baik Waste-to-Energy maupun Waste-to-Fuel menggambarkan ketidakfokusan pemerintah dalam mendorong pemilahan sejak dari sumber.
Sementara Yuyun Ismawati Drwiega, Senior Advisor BaliFokus/Nexus3 Foundation, salah satu organisasi anggota AZWI, turut menekankan bahwa program Pemerintah Pusat yang akan membangun proyek PLTSa di 12 kota Indonesia sangat bertentangan dengan prinsip zero waste.
Sebagaimana yang diketahui, pada tiga tahun yang lalu, Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik Berbasis Sampah untuk mendorong percepatan pembakaran sampah di 7 kota dan mengubahnya menjadi energi.
Pemerintah beranggapan bahwa pembangunan PLTSa dan insinerator ini merupakan solusi untuk menyelesaikan permasalahan sampah. Meskipun Mahkamah Agung mengabulkan permohonan uji materiil dan mencabut Perpres Percepatan PLTSa ini pada bulan September 2016 lalu, dua tahun setelahnya Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden No. 83 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah Laut dengan target pengurangan sampah di lautan sebanyak 70 persen pada 2025.