KLHK Akui Sulit Masukkan Merkuri sebagai B3, Ini Sebabnya

Reporter

Antara

Editor

Yudono Yanuar

Selasa, 30 Juli 2019 16:11 WIB

Kawasan kebun sagu yang terkena limbah merkuri di Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, Rabu, 28 November 2018. ANTARA

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Yun Insiani mengatakan penegakan aturan pelarangan merkuri sebagai kategori B3 sulit diterapkan karena sebagian industri menghasilkannya.

"Pada saat menggunakan batu bara untuk pembangkit listrik tenaga uap, kita juga akan menggunakan batu bara yang akan dibakar dan melepaskan material merkuri," ujar Yun di Jakarta dalam lokakarya awal pengurangan pasokan dan ketersediaan merkuri di Indonesia, Senin, 29 Juli 2019.

Yun mengatakan sektor industri rumah dan skala kecil juga diketahui pelepasan merkurinya cukup besar. "Kurang lebih ada tiga ratusan sekian ton per tahun emisi yang dilepaskan di udara," ujar Yun.

Untuk mengendalikan merkuri tentu saja yang pertama sumber utama merkuri harus bisa dikendalikan. Upaya itu juga harus bisa mengontrol suplai atau pasokan peredaran merkuri yang ada di Indonesia.

Oleh karena itu pemerintah melegitimasikannya melalui Peraturan Presiden Nomor 21 tahun 2019. Perpres tersebut merupakan implementasi Konvensi Minamata yang bertujuan melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup dari emisi dan lepasan merkuri dan senyawa merkuri antropogenik.

Yun mengatakan berdasarkan catatan yang lalu bahwa Indonesia sudah berhasil melakukan penutupan tambang sinabar yang ada di Seram bagian barat adalah satu langkah bagus dan maju.

"Dan dari catatan kami, bahwa setiap merkuri atau sinabar yang dihasilkan dari tambang itu kurang lebih 700 ton," ujar Yun.

Hari ini KLHK mengenalkan kegiatan baru yang didanai Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat untuk membantu KLHK dan pemerintah Indonesia dalam penanganan merkuri dan ketersediaan merkuri di Indonesia.

Dari kegiatan tahun-tahun sebelumnya, beberapa proyek yang didanai oleh berbagai donor sudah membantu mengurangi kemasan merkuri di PLTU kemudian di tambang emas dan sektor kesehatan.

"Nah, sekarang yang masih menjadi penekanan Indonesia adalah persediaan merkurinya atau suplai merkurinya," ujar Yun.

Selain karena di Indonesia merupakan produsen batu sinabar, juga ada produk dari sektor minyak dan gas (migas) yang menghasilkan merkuri sama berbahayanya.

KLHK pun berkolaborasi bersama Biodiversity Research Institute (BRI), International Polutant and Emission Network (IPEN), dan Global Iniative against Transnational Organized Crime (GITOC), dan Dyah Paramita dari Center for Regulation, Policy, and Governance (CRPG) untuk melakukan projek penelitian untuk mengurangi suplai merkuri dan keberadaannya di Indonesia.

Dari kegiatan selama tiga tahun ke depan ini diharapkan akan membantu melengkapi peraturan yang diperlukan pemerintah Indonesia, KLHK dalam hal ini, untuk mengurangi ketersediaan merkuri dan sinabar serta produk migas berbahaya.

Proyek ini membantu menyusun komponen kebijakan apa yang diperlukan untuk membatasi ketersediaan merkuri dalam bentuk sinabar atau primary sampling mining, dan merkuri dari produk migas.

Merkuri yang ada di pasaran saat ini juga dipikirkan bagaimana penyimpanannya, apakah ditaruh di suatu tempat atau di beberapa tempat kemudian dalam bentuk apa (apakah dalam bentuk stabil atau bentuk fundamental, dsb). Itu kemudian harus dibuat untuk mendukung ke arah sana.

Terakhir tentang biomonitoring, yaitu salah satu komponennya adalah untuk pemetaan. "Jadi daerah-daerah yang kami dampingi akan membantu untuk menyusun pemetaannya untuk memberikan gambaran agar memudahkan arahan pemantauan selanjutnya," ujar Direktur Balifokus (Nexus 3), Yuyun Ismawati, Senin.

Di dalam komponen biomonitoring ini, Yuyun ingin memastikan apa yang dilakukan kegiatan sebelumnya menarik merkuri serta pembuangan merkuri pada sektor tambang emas pertama, dan untuk mengukur efektivitasnya dilakukan pemantauan atau biomonitoring.

Berita terkait

Penyakit Minamata Ditemukan di Jepang 68 Tahun Lalu, Ini Cara Merkuri Masuk dalam Tubuh

2 hari lalu

Penyakit Minamata Ditemukan di Jepang 68 Tahun Lalu, Ini Cara Merkuri Masuk dalam Tubuh

Penyakit Minamata ditemukan di Jepang pertama kali yang mengancam kesehatan tubuh akibat merkuri. Lantas, bagaimana merkuri dapat masuk ke dalam tubuh?

Baca Selengkapnya

68 Tahun Lalu Penemuan Penyakit Minamata di Jepang Pertama Kali

2 hari lalu

68 Tahun Lalu Penemuan Penyakit Minamata di Jepang Pertama Kali

Hari ini, 68 tahun lalu, Jepang menemukan penyakit epidemi yang disebut Minamata. Apa penyebabnya?

Baca Selengkapnya

Tersangka Kasus Perdagangan Satwa Dilindungi di Makassar Segera Jalani Persidangan

9 hari lalu

Tersangka Kasus Perdagangan Satwa Dilindungi di Makassar Segera Jalani Persidangan

Saat ini kejahatan perdagangan satwa dilindungi kerap dilakukan melalui media online.

Baca Selengkapnya

Masukkan Sektor Laut Dalam Second NDC, KLHK: Ekosistem Pesisir Menyerap Karbon

10 hari lalu

Masukkan Sektor Laut Dalam Second NDC, KLHK: Ekosistem Pesisir Menyerap Karbon

KLHK memasukkan sektor kelautan ke dalam dokumen Second NDC Indonesia. Potensi mangrove dan padang lamun ditonjolkan.

Baca Selengkapnya

Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca, KLHK Prioritaskan Pembatasan Gas HFC

10 hari lalu

Kurangi Emisi Gas Rumah Kaca, KLHK Prioritaskan Pembatasan Gas HFC

Setiap negara bebas memilih untuk mengurangi gas rumah kaca yang akan dikurangi atau dikelola.

Baca Selengkapnya

Ditarget Rampung Tahun Ini, Begini RUU KSDAHE Beri Ruang Dukungan untuk Konservasi Internasional

16 hari lalu

Ditarget Rampung Tahun Ini, Begini RUU KSDAHE Beri Ruang Dukungan untuk Konservasi Internasional

Rancangan Undang-undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya atau RUU KSDAHE ditarget segera disahkan pada tahun ini.

Baca Selengkapnya

Temuan Baru Anak Badak Jawa di Ujung Kulon, KLHK: Masih Banyak Ancaman

24 hari lalu

Temuan Baru Anak Badak Jawa di Ujung Kulon, KLHK: Masih Banyak Ancaman

Temuan individu baru badak Jawa menambah populasi satwa dilindungi tersebut di Taman Nasional Ujung Kulon. Beragam ancaman masih mengintai.

Baca Selengkapnya

Kualitas Udara Jakarta dan Sekitarnya Membaik, Gara-gara Mudik Lebaran?

25 hari lalu

Kualitas Udara Jakarta dan Sekitarnya Membaik, Gara-gara Mudik Lebaran?

Selama tiga hari terakhir, bersamaan dengan mudik lebaran, 11 stasiun pemantau kualitas udara Jakarta dan sekitarnya mencatat membaiknya level ISPU.

Baca Selengkapnya

Turut Dipicu Pasar Tumpah, Tambahan Sampah H-1 Lebaran di Depok Bisa Mencapai 180 Ton

25 hari lalu

Turut Dipicu Pasar Tumpah, Tambahan Sampah H-1 Lebaran di Depok Bisa Mencapai 180 Ton

Sampah di Depok diprediksi bertambah hingga 180 ton dari hari biasa pada malam Lebaran. Muncul dari pasar tumpah.

Baca Selengkapnya

KLHK: Ada Potensi Sampah 58 Juta Kilogram dari 2 Minggu Arus Mudik dan Balik Lebaran

28 hari lalu

KLHK: Ada Potensi Sampah 58 Juta Kilogram dari 2 Minggu Arus Mudik dan Balik Lebaran

KLHK menghitung potensi sampah hingga 58 juta kilogram dari mobilitas 193,6 juta penduduk dalam periode dua minggu arus mudik dan balik Lebaran 2024.

Baca Selengkapnya