Pakar Soal Virus Corona: Kita Akan Melalui Fase Panik

Rabu, 19 Februari 2020 14:41 WIB

Petugas medis menggunakan pakaian pelindung saat memeriksa pasien terinfeksi virus corona di Rumah Sakit Palang Merah Wuhan di Wuhan, Cina, 16 Februari 2020. Korban meninggal akibat infeksi virus Corona bertambah menjadi menjadi 1.873 orang. China Daily via REUTERS

TEMPO.CO, Jakarta - Saat ini, negara-negara di dunia sedang berupaya menghentikan penyebaran virus corona COVID-19 dengan mencari penawarnya. Untuk sementara mereka mengandalkan langkah seperti karantina dan isolasi dan berharap cukup untuk mengalahkan wabah yang sudah menewaskan 1.875 orang itu, mayoritas dari Cina daratan.

Namun, mengutip laman The Verge baru-baru ini, jika langkah itu tidak berhasil, virus mungkin beralih dari penyebab wabah epidemi sementara menjadi penyebab penyakit sirkulasi baru. Karena tergolong baru, para ilmuwan masih mempelajari tingkat keparahan virus ini, dan implikasi dari peralihan itu masih kabur.

Perkembangan ini akan didorong oleh toleransi sosial dan politik untuk penyakit baru serta biologinya. "Kita akan melalui fase panik," kata Graham Medley, direktur Pusat Pemodelan Matematika Penyakit Infeksi di London School of Hygiene dan Tropical Medicine. "Pemerintah tidak tahu harus berbuat apa, orang tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Ketika kita memahami risikonya, reaksi akan berubah."

Saat ini, Cina sedang menghadapi epidemik virus corona: penyebaran penyakit yang cepat mempengaruhi sekelompok besar orang dalam waktu singkat. Hingga Rabu, pagi, 19 Februari 2020, virus yang berasal dari Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, itu dikonfirmasi telah menginfeksi 73.451 orang di setidaknya 29 negara di seluruh dunia.

Jika epidemi terus menyebar secara dramatis ke negara lain, itu bisa menjadi pandemi, bahkan beberapa ahli mengatakan sudah demikian. Jika intervensi masih tidak menghentikan penyebaran virus, itu bisa berubah dari epidemik atau pandemik dan menjadi endemik.

Tidak ada definisi tunggal dari apa yang dianggap sebagai penyakit endemik. Bagi ahli epidemiologi, penyakit menjadi endemik ketika penyakit itu terus-menerus, dapat diprediksi ada pada populasi manusia. Menurut Medley, politisi mungkin menyebut penyakit endemik ketika sudah cukup dipahami sehingga berhenti jadi ancaman yang tidak diketahui bagi pemerintah.

"Bagi kebanyakan orang, perbedaan antara penyakit epidemi dan endemik adalah bahwa risikonya tidak diketahui untuk penyakit epidemi. Orang takut tertular virus corona ini karena mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan," ujar Medley. "Definisi itu benar-benar didasarkan pada bagaimana risiko dirasakan oleh individu dan pemerintah."

Contohnya influenza, yang secara teknis menyebabkan wabah epidemi setiap tahun, tapi tidak memicu jenis mobilisasi kesehatan masyarakat yang sama seperti pada virua corona. Setiap kali memiliki epidemi baru, Medley mencatat, orang membandingkannya dengan flu dan mengatakan bahwa flu itu menginfeksi dan membunuh lebih banyak orang.

Saat influenza menyerang, pemerintah tidak memiliki respons semacam virus corona. Medley meminta menghentikan semua pemberitaan itu. Meskipun untuk flu pejabat kesehatan mengetahui risikonya dan dapat memprediksi polanya, serta fokus pada mitigasi dampaknya melalui pendidikan dan vaksin.

Orang-orang jauh lebih nyaman dengan sesuatu yang dipahami dengan baik dan dapat diprediksi, kata Erin Sorrell, asisten profesor penelitian di departemen mikrobiologi dan imunologi di Universitas Georgetown. "Orang-orang mentolerir risiko terkena flu musiman," katanya. "Kami membandingkan toleransi risiko terhadap sesuatu yang baru dan tidak dipahami dengan baik, versus sesuatu yang kami lihat tahun demi tahun."

Pakar kesehatan masyarakat masih belum tahu seberapa berbahayanya virus corona baru itu, dan respons mereka meningkat karena ketidakpastian itu. Selain itu, karena virusnya baru, masih ada peluang untuk menghentikan penyebarannya ke seluruh populasi.

Itulah yang terjadi dengan SARS, pada tahun 2004. Secara keseluruhan, penyakit endemik - meskipun tampak kurang menakutkan dan datang dengan lebih sedikit ketidakpastian - menyebabkan lebih banyak penyakit dan kematian daripada wabah epidemi seperti SARS. Tapi jauh lebih sulit untuk dihentikan.

"Alasan kami bereaksi sangat agresif terhadap penyakit baru adalah karena kami memiliki kesempatan untuk menahan penularan ke sumber wabah, dan mencegahnya menjadi lebih besar," kata Sorrell.

Para ahli di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan bahwa belum terlambat untuk menghentikan penyebaran virus corona baru. Namun, spesialis penyakit menular lainnya tidak begitu yakin. Allison McGeer, spesialis penyakit menular yang berbasis di Toronto, misalnya.

"Semakin kita mempelajarinya, semakin besar kemungkinannya bahwa penularan tidak akan dapat dikendalikan dengan tindakan kesehatan masyarakat," kata McGeer kepada Stat News.

Sementara itu Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) sedang bersiap menghadapi sirkulasi virus yang lebih luas di seluruh dunia dan di AS, demikian disampaikan Nancy Messonnier, direktur Pusat Imunisasi dan Penyakit Pernafasan Nasional. "Kami yakin kami memiliki jendela peluang sekarang untuk mempersiapkan jika ada penyebaran lebih luas di luar Cina, dan penyebaran lebih luas di AS," katanya.

THE VERGE | STAT NEWS

Berita terkait

Gejala Baru pada Pasien DBD yang Dialami Penyintas COVID-19

19 menit lalu

Gejala Baru pada Pasien DBD yang Dialami Penyintas COVID-19

Kemenkes mendapat beberapa laporan yang menunjukkan perubahan gejala pada penderita DBD pascapandemi COVID-19. Apa saja?

Baca Selengkapnya

Selain AstraZeneca, Ini Daftar Vaksin Covid-19 yang Pernah Dipakai Indonesia

6 jam lalu

Selain AstraZeneca, Ini Daftar Vaksin Covid-19 yang Pernah Dipakai Indonesia

Selain AstraZeneca, ini deretan vaksin Covid-19 yang pernah digunakan di Indonesia

Baca Selengkapnya

Heboh Efek Samping AstraZeneca, Pernah Difatwa Haram MUI Karena Kandungan Babi

12 jam lalu

Heboh Efek Samping AstraZeneca, Pernah Difatwa Haram MUI Karena Kandungan Babi

MUI sempat mengharamkan vaksin AstraZeneca. Namun dibolehkan jika situasi darurat.

Baca Selengkapnya

Komnas PP KIPI Sebut Tidak Ada Efek Samping Vaksin AstraZeneca di Indonesia

15 jam lalu

Komnas PP KIPI Sebut Tidak Ada Efek Samping Vaksin AstraZeneca di Indonesia

Sebanyak 453 juta dosis vaksin telah disuntikkan ke masyarakat Indonesia, dan 70 juta dosis di antaranya adalah vaksin AstraZeneca.

Baca Selengkapnya

Fakta-fakta Vaksin AstraZeneca: Efek Samping, Kasus Hukum hingga Pengakuan Perusahaan

1 hari lalu

Fakta-fakta Vaksin AstraZeneca: Efek Samping, Kasus Hukum hingga Pengakuan Perusahaan

Astrazeneca pertama kalinya mengakui efek samping vaksin Covid-19 yang diproduksi perusahaan. Apa saja fakta-fakta seputar kasus ini?

Baca Selengkapnya

Pakar Serangga IPB Ungkap Spesies Baru Serangga yang Bermanfaat bagi Manusia

3 hari lalu

Pakar Serangga IPB Ungkap Spesies Baru Serangga yang Bermanfaat bagi Manusia

Berbagai serangga yang memberikan manfaat bagi manusia berupa produk yang bernilai komersial.

Baca Selengkapnya

Potensi Bahaya Gempa Deformasi Batuan Dalam, Ahli ITB: Lokasi Dekat Daratan

3 hari lalu

Potensi Bahaya Gempa Deformasi Batuan Dalam, Ahli ITB: Lokasi Dekat Daratan

Lokasi sumber gempa lebih dekat dengan daratan sehingga potensi untuk merusak lebih besar

Baca Selengkapnya

Kilas Balik Kasus Korupsi APD Covid-19 Rugikan Negara Rp 625 Miliar

6 hari lalu

Kilas Balik Kasus Korupsi APD Covid-19 Rugikan Negara Rp 625 Miliar

KPK masih terus menyelidiki kasus korupsi pada proyek pengadaan APD saat pandemi Covid-19 lalu yang merugikan negara sampai Rp 625 miliar.

Baca Selengkapnya

Persetujuan Baru Soal Penularan Wabah Melalui Udara dan Dampaknya Pasca Pandemi COVID-19

7 hari lalu

Persetujuan Baru Soal Penularan Wabah Melalui Udara dan Dampaknya Pasca Pandemi COVID-19

Langkah ini untuk menghindari kebingungan penularan wabah yang terjadi di awal pandemi COVID-19, yang menyebabkan korban jiwa yang cukup signifikan.

Baca Selengkapnya

Peruri Ungkap Permintaan Pembuatan Paspor Naik hingga Tiga Kali Lipat

8 hari lalu

Peruri Ungkap Permintaan Pembuatan Paspor Naik hingga Tiga Kali Lipat

Perum Peruri mencatat lonjakan permintaan pembuatan paspor dalam negeri hingga tiga kali lipat usai pandemi Covid-19.

Baca Selengkapnya