6 Tes per 1 Kasus COVID-19, Riset: Indonesia Terendah di Asean
Reporter
Moh Khory Alfarizi
Editor
Zacharias Wuragil
Jumat, 1 Mei 2020 16:17 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Di Indonesia, hanya butuh 6,7 tes untuk deteksi satu kasus positif COVID-19. Angka jumlah tes itu tergolong paling rendah di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara: Vietnam, Myanmar, Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina.
Literasi yang disusun Lifepal, sebuah media ekonomi online berbasis berbasis di Jakarta, mengungkap itu berdasarkan riset data yang dilakukannya per 27 April 2020. Data jumlah tes yang dilakukan untuk mendeteksi satu kasus terkonfirmasi dicuplik dari hasil riset tim gabungan peneliti lulusan University of Oxford dan University of Edinburgh pada platform Our World in Data.
"Tim tersebut mengumpulkan data dari departemen kesehatan negara terkait, di mana untuk Indonesia didapatkan dari Kementerian Kesehatan, lewat laman Infeksi Emerging," kata Ruben Setiawan, manajer konten di PT Lifepal Technologies Indonesia.
Sebagai gambaran, jumlah tes terbanyak untuk bisa mendeteksi satu kasus positif COVID-19 adalah sebesar 788,8 yaitu di Vietnam. Ini sejalan dengan data selama ini bahwa Vietnam dianggap paling berhasil mengendalikan penyebaran virus corona penyebab pandemi tersebut.
Urutan berikutnya adalah Myanmar (45,7), Malaysia (24,0), Thailand (18,3), Singapura (12,5), dan Filipina (10,6).
Menurut Ruben, angka 6,7 di Indonesia bisa berarti dua hal. Pertama, jumlah kasus COVID-19 yang sangat besar atau penularan yang amat luas. Kedua, terlalu sedikit tes yang sudah dilakukan padahal banyak yang positif. Ini didukung dengan rasio tes per seribu penduduk di Indonesia yang juga hanya 0,22, hanya lebih baik daripada Myanmar.
<!--more-->
Bandingkan dengan rasio yang ada di Singapura, Malaysia dan Vietnam. Masing-masing negara itu melakukannya 13,93;, 4,23; dan 2,17 per 1000 penduduknya per periode yang sama.
Ruben berharap negara menambah tes dengan jumlah yang layak untuk mendapatkan gambaran jelas dan sebenarnya penyebaran virus itu. Penilaiannya didukung fakta bahwa kebanyakan tes polymerase chain reaction (PCR) dilakukan terhadap orang-orang yang hanya menunjukkan gejala-gejala terpapar parah.
Sementara, kenyataan di lapangan, banyak pula orang yang sudah terpapar namun hanya menunjukkan gejala-gejala ringan, bahkan tidak menunjukkan gejala sama sekali atau orang tanpa gejala (OTG).
"Tanpa peningkatan jumlah tes yang memadai, maka akan semakin lambat pula pandemi COVID-19 ini akan berakhir," katanya sambil mengingatkan Presiden Joko Widodo pernah meminta kepada Kementerian Kesehatan untuk menggelar tes hingga sebanyak 10 ribu per hari.
Kurangnya tes yang dilakukan bukan satu-satunya faktor yang berpotensi memperpanjang wabah penyakit itu di Indonesia. Faktor lain seperti penegakan aturan social distancing, physical distancing, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilakukan sejumlah provinsi, hingga pelarangan mudik di Lebaran kali ini juga akan punya andil.
"Semua tergantung pada niat, kerelaan, dan kedisiplinan seluruh lapisan masyarakat untuk bekerjasama guna mengatasi ini semua," katanya.