Studi: Kadar Vitamin D Rendah Lebih Mungkin Terinfeksi Corona
Reporter
Tempo.co
Editor
Erwin Prima
Minggu, 3 Mei 2020 10:20 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sebuah studi pendahuluan telah menemukan bukti sementara yang menunjukkan bahwa kadar vitamin D yang rendah membuat seseorang lebih mungkin meninggal setelah tertular virus corona.
Penelitian yang dipublikasikan di situs pra-cetak Research Square ini membandingkan tingkat rata-rata vitamin D di 20 negara Eropa dengan tingkat infeksi dan kematian COVID-19, sebagaimana dikutip Daily Mail, 1 Mei 2020.
Studi ini mengungkapkan korelasi yang meyakinkan di mana negara-negara dengan kadar vitamin D yang rendah juga merupakan negara-negara dengan tingkat kematian dan tingkat terinfeksi COVID-19 tertinggi.
Studi ini belum ditinjau oleh rekan sejawat dan belum diteliti oleh ilmuwan lain dan tidak dapat membuktikan vitamin D adalah alasan di balik hubungan ini.
Namun, para ilmuwan dari Queen Elizabeth Hospital Foundation Trust dan University of East Anglia menulis dalam studi mereka: "Kami percaya, bahwa kami dapat menyarankan suplemen Vitamin D untuk melindungi dari infeksi SARS-CoV2."
Temuan ini mendukung penelitian terpisah yang juga menemukan vitamin D dapat meningkatkan peluang seseorang untuk sembuh setelah tertular virus corona.
Percobaan sepuluh minggu dari Universitas Granada saat ini sedang berlangsung setelah sebuah studi baru-baru ini oleh Trinity College Dublin menemukan orang dewasa yang mengonsumsi suplemen vitamin D mengalami penurunan chest infection atau infeksi respiratorik bawah akut (IRBA) sebesar 50 persen.
Studi terbaru menggunakan data yang sudah ada sebelumnya tentang kadar vitamin D, termasuk dari studi komprehensif 2019 yang dipimpin oleh Paul Lips, Profesor Emeritus penyakit dalam di Vrije Universiteit Amsterdam.
Studi sebelumnya mengumpulkan data tentang tingkat populasi vitamin D di seluruh Eropa dan Timur Tengah. Studi ini melibatkan pengambilan pengukuran vitamin D dari ribuan orang.
Studi terbaru tentang efektivitas vitamin itu terhadap COVID-19 dengan mempersempit data ini ke 20 negara, untuk meniadakan faktor-faktor yang mengganggu, seperti garis lintang suatu negara.
Jumlah rata-rata vitamin D dalam sampel serum adalah (56 nmol/l), sementara di bawah 30nmol/l dianggap 'sangat kurang'.
Studi terbaru mengambil basis data tingkat vitamin D yang ada dan menemukan tingkat vitamin D yang sangat rendah pada orang tua, demografi yang lebih berisiko meninggal setelah tertular virus corona.
“Studi ini menunjukkan kadar vitamin D 26nmol/l di Spanyol, 28 nmol/l di Italia dan 45 nmol/l di negara-negara Nordik pada orang tua,” tulis para peneliti.
“Di Swiss, tingkat vitamin D rata-rata adalah 23 (nmol/l) di panti jompo dan di Italia 76 persen wanita di atas 70 tahun ditemukan memiliki tingkat sirkulasi di bawah 30nmol/l.
“Ini adalah negara-negara dengan jumlah kasus COVID–19 yang tinggi dan orang yang menua adalah kelompok dengan risiko tertinggi untuk morbiditas dan mortalitas dengan SARS-Cov2,” ujar penulis.
Vitamin D dapat masuk ke dalam tubuh manusia baik melalui makanan tertentu, seperti ikan dan jamur, atau dapat diproduksi oleh sel-sel kulit ketika terkena sinar matahari.
Analisis statistik sederhana, yang disebut uji-t, kemudian dilakukan pada dua set data untuk menentukan hubungan yang menggali korelasi antara kematian dan tingkat vitamin D.
"Kelompok populasi yang paling rentan untuk COVID-19 juga merupakan kelompok yang paling kekurangan vitamin D," para peneliti menyimpulkan dalam laporan awal mereka.
Masih belum diketahui mengapa vitamin D dapat menawarkan perlindungan terhadap infeksi oleh virus corona SARS-CoV-2 dan pengembangan selanjutnya COVID-19.
Namun, penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang diterbitkan sebelum munculnya virus corona baru. Kadar vitamin D yang sehat telah dikaitkan dengan pengurangan risiko penyakit pernapasan lainnya, seperti influenza, tuberkulosis, dan asma pada anak.
Baru-baru ini, peneliti kanker kulit Dr Rachel Neale mengatakan bahwa memiliki kadar vitamin D yang rendah dapat berakibat fatal jika seseorang juga memiliki virus corona. "Sekarang, lebih dari sebelumnya, bukan saatnya kekurangan vitamin D," kata Dr. Neale kepada The Australian.
DAILY MAIL | THE AUSTRALIAN