6 Faktor Kenapa Covid-19 Lebih Mematikan di Amerika dan Eropa

Selasa, 2 Juni 2020 11:51 WIB

Sejumlah jenazah pasien positif virus corona atau Covid-19 berada dalah sebuah truk di luar Rumah Sakit Wyckoff di Brooklyn, New York City, 4 April 2020. Kasus virus corona di Amerika Serikat mencapai 336.830 kasus. Handout via REUTERS

TEMPO.CO, Jakarta - Sejauh ini pandemi virus corona Covid-19 menyebabkan angka kematian di Amerika dan Eropa lebih tinggi daripada di bagian lain dunia. Menurut peta sebaran penularan virus itu yang dibuat Johns Hopkins University, lima negara asal dua benua itu menempati lima negara dengan kasus terbanyak yakni Amerika Serikat, Brasil, Rusia, Inggris, dan Spanyol.

Hingga Senin malam, 1 Juni 2020, Amerika Serikat mencatat 1.790.191 kasus infeksi dengan angka kematian 104.383 orang; Brasil 514.849 kasus, kematian 29.314; Rusia 414.878 kasus, kematian 4.855; Inggris 276.156 kasus, kematian mencapai 38.571; dan Spanyol tercatat 239.479 kasus, kematian 27.127.

Sebagai pembanding, di Asia, India mencatat kasus terbanyak, totalnya 191.356, kematian 5.413 orang. Adapun Cina, negara pertama yang dilanda epidemi penyakit yang sama, melaporkan sekitar 83 ribu kasus infeksi dan 4.600 kematian.

Perbedaan itu mungkin dipengaruhi kebijakan pengujian dan metode penghitungan yang berbeda-beda antar negara atau kawasan. Namun perbedaan yang sangat mencolok dalam mortalitas menarik perhatian para peneliti yang ingin menelisik misteri sebaran virus corona Covid-19.

Para peneliti itu memeriksa faktor-faktor selain perbedaan kebijakan pengujian itu. Mereka memperbandingkan genetika dan respons sistem kekebalan, jenis virus yang berbeda, dan perbedaan regional pada tingkat obesitas, serta kesehatan umum di masing-masing kawasan. Berikut ini enam faktor yang diperiksa tersebut,

1. Angka kematian

Di Cina, tempat pertama kali virus dikabarkan itu muncul akhir tahun lalu telah mencatat 4.638 kematian, yang berarti tiga kematian per satu juta penduduk. Negara lain seperti Jepang memiliki sekitar tujuh per satu juta, Pakistan enam, Korea Selatan dan Indonesia lima. Beberapa negara seperti Vietnam, Kamboja dan Mongolia bahkan menyatakan nol kematian terkait Covid-19.

Bandingkan dengan sekitar 100 kematian per satu juta populasi di Jerman, sekitar 180 di Kanada, hampir 300 di Amerika dan lebih dari 500 di Inggris, Italia dan Spanyol.

Advertising
Advertising

Sejumlah warga mengantre untuk melakukan tes asam nukleat setelah adanyan kasus baru virus corona atau COVID-19 di Wuhan, provinsi Hubei, Cina, 16 Mei 2020. Kasus baru COVID-19 di Wuhan dimana pasien tidak menunjukkan gejala-gejala penyakitnya. REUTERS/Aly Song

Para ilmuwan di Chiba University, Jepang, menyorot lintasan virus di seluruh dunia dan mengatakan mendapati perbedaan regional yang mencolok. "Itu berarti kita perlu mempertimbangkan perbedaan regional terlebih dahulu, sebelum menganalisis kebijakan dan faktor lain apa yang mempengaruhi penyebaran infeksi di negara mana pun," kata Akihiro Hisaka dari Sekolah Pascasarjana Ilmu Farmasi, seperti dikutip dari Washington Post, Kamis 28 Mei 2020.

2. Kebijakan konvensional

Asumsi dasar saat ini adalah SARS-CoV-2 itu telah mengubah pemahaman bagaimana cara virus menginfeksi dan membunuh manusia di satu bagian dunia. Ini karena, menurut ahli epidemiologi di Columbia University, Amerika Serikat, Jeffrey Shaman, semua masyarakat di dunia menghadapi virus yang sama dengan gudang respon imun yang sama.

"Ada perbedaan dalam pengujian, pelaporan, dan kontrol antar satu negara dengan yang lainnya. Dan ada perbedaan dalam tingkat hipertensi, penyakit paru-paru kronis, dan lain-lain," kata dia menuturkan.

<!--more-->

Karena itu sebagian alasan tingginya kematian di Amerika dan Eropa Barat mungkin diduga terletak pada keengganan awal masyarakatnya untuk bereaksi terhadap epidemi yang tampak jauh dan tidak dianggap mengancam. Sementara itu, di Asia, pengalaman sebelumnya dengan epidemi SARS dan MERS memungkinkan respons yang jauh lebih cepat terhadap ancaman baru.

Taiwan, misalnya, telah banyak dipuji karena responsnya yang cepat terhadap epidemi, termasuk penyaringan dini penumpang penerbangan dari Wuhan. Sementara Korea Selatan membangun program besar pengujian, pelacakan, dan isolasi pasien. Namun, di Jepang dan India, dua negara yang sangat berbeda, angka kematiannya yang relatif rendah membingungkan banyak ilmuwan, misteri serupa juga muncul dari Pakistan sampai Filipina.

3. Cuaca dan budaya

Cuaca panas dan lembap bisa menjadi faktor di tempat-tempat seperti Kamboja, Vietnam, dan Singapura. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa panas dan kelembapan dapat memperlambat, meskipun tidak menghentikan, penyebaran virus, seperti yang terlihat pada influenza dan virus corona yang menyebabkan flu biasa.

Namun, di beberapa negara khatulistiwa, termasuk Ekuador dan Brasil, telah melihat banyak kasus dan kematian terkait dengan Covid-19. Ternyata, demografi juga berperan dalam kesenjangan regional. Populasi Afrika yang umumnya lebih muda mungkin lebih tahan daripada komunitas tua di Italia Utara, misalnya. Di Jepang, dengan populasi tertua di dunia, berbagai alasan sedang dieksplorasi.

Ada kepercayaan luas di Jepang bahwa kebersihan dan kebiasaan yang baik, seperti memakai masker dan menghindari jabat tangan, membantu memperlambat penyebaran virus. Sementara perawatan kesehatan universal dan penekanan negara untuk melindungi orang tua juga mungkin telah menurunkan angka kematian.

4. Strain atau galur virus yang berbeda

Penelitian oleh tim di University of Cambridge, Inggris, menunjukkan bagaimana virus bermutasi ketika meninggalkan Asia Timur dan melakukan perjalanan ke Eropa. Mereka mencatat kemungkinan bahwa strain awal mungkin telah secara imunologis atau lingkungan disesuaikan dengan sebagian besar populasi Asia Timur dan perlu bermutasi untuk mengatasi perlawanan di luar wilayah itu.

Ahli genetika Peter Forster, ketua tim peneliti, mengatakan ada data klinis yang sangat terbatas tentang bagaimana berbagai strain virus berinteraksi dengan populasi yang berbeda. "Bagaimanapun, pertanyaan itu harus ditindaklanjuti pada apakah strain yang berbeda menjelaskan tingkat kematian yang kontras," kata Forster.

Tm ilmuwan di Los Alamos National Laboratory, Meksiko, juga berpendapat bahwa jenis virus yang sangat menular telah menyebar di Eropa dan di Amerika. Tetapi para ahli lain mengatakan pentingnya strain baru yang muncul masih belum jelas.

"Bisa saja itu kecelakaan bahwa siapa pun yang memiliki mutan pergi ke festival rock dan klub malam dan ditransmisikan kepada kebanyakan orang," ujar Jeremy Luban, ahli virus di University of Massachusetts Medical School Amerika Serikat. "Tapi kemungkinan lainnya adalah strain itu lebih mudah menular."

5. Gen dan sistem kekebalan tubuh

Peraih Nobel Kedokteran, Tasuku Honjo, mengatakan orang dengan keturunan Asia dan Eropa memiliki perbedaan besar dalam haplotipe antigen leukosit manusia (HLA), gen yang mengendalikan respons sistem kekebalan terhadap virus. "Itu mungkin membantu menjelaskan tingkat kematian Asia yang lebih rendah, tetapi tidak mungkin menjadi satu-satunya alasan," kata Honjo.

<!--more-->

Para ilmuwan di Chiba University mengatakan berbagai faktor genetik yang mungkin mengkondisikan respons tubuh terhadap virus dan pantas untuk studi lebih lanjut. Belum ada bukti yang mendukung gagasan itu, namun respons imun yang berbeda juga bisa berperan.

Tatsuhiko Kodama dari University of Tokyo mengatakan studi pendahuluan menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh orang Jepang cenderung bereaksi terhadap virus corona baru, seolah-olah mereka memiliki paparan sebelumnya. Mereka juga mencatat bahwa berabad-abad sejarah virus corona muncul dari Asia Timur.

"Teka-teki angka kematian yang lebih rendah di Asia Timur dapat dijelaskan dengan adanya kekebalan," ujarnya.

Studi lain menunjukkan bahwa tingkat vaksinasi Bacille Calmette-Guerin (BCG) mungkin memainkan peran, karena suntikan anti-tuberkulosis berpotensi menyebabkan respons peningkatan kekebalan pada tingkat sel. "Hipotesis kami adalah BCG, ditambah infeksi atau pajanan terhadap TB, akan menjadi pelindung,” kata Tsuyoshi Miyakawa dari Fujita Health University.

Pertanyaan lalu muncul karena Jepang memiliki catatan vaksinasi BCG yang serupa dengan Prancis, tapi tingkat kematian Covid-19 yang sangat berbeda.

Megan Murray, ahli epidemiologi di Harvard Medical School, mengatakan faktor lain yang perlu dieksplorasi adalah perbedaan dalam mikrobioma--triliunan bakteri yang berada di usus seseorang dan memainkan peran besar dalam respon imun. "Mikrobioma sangat berbeda di tempat yang berbeda. Orang makan makanan yang sangat berbeda," katanya.

6. Pengaruh tingkat obesitas

Ada hal lain yang dimiliki banyak negara di Asia, yakni tingkat obesitas jauh lebih rendah daripada di negara Barat. Obesitas adalah faktor risiko utama untuk penyakit serius. Lebih dari 4 persen orang Jepang digolongkan obesitas, dan kurang dari 5 persen orang Korea Selatan. Bandingkan dengan 20 persen atau lebih di Eropa Barat dan 36 persen orang di Amerika Serikat, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Tapi Rusia mewakili contoh yang acak: sempat aman selama beberapa bulan, kini negara ini termasuk yang terbanyak kasusnya.


WASHINGTON POST | JOHNS HOPKINS UNIVERSITY

Berita terkait

Kilas Balik Kasus Korupsi APD Covid-19 Rugikan Negara Rp 625 Miliar

2 hari lalu

Kilas Balik Kasus Korupsi APD Covid-19 Rugikan Negara Rp 625 Miliar

KPK masih terus menyelidiki kasus korupsi pada proyek pengadaan APD saat pandemi Covid-19 lalu yang merugikan negara sampai Rp 625 miliar.

Baca Selengkapnya

Persetujuan Baru Soal Penularan Wabah Melalui Udara dan Dampaknya Pasca Pandemi COVID-19

3 hari lalu

Persetujuan Baru Soal Penularan Wabah Melalui Udara dan Dampaknya Pasca Pandemi COVID-19

Langkah ini untuk menghindari kebingungan penularan wabah yang terjadi di awal pandemi COVID-19, yang menyebabkan korban jiwa yang cukup signifikan.

Baca Selengkapnya

Peruri Ungkap Permintaan Pembuatan Paspor Naik hingga Tiga Kali Lipat

3 hari lalu

Peruri Ungkap Permintaan Pembuatan Paspor Naik hingga Tiga Kali Lipat

Perum Peruri mencatat lonjakan permintaan pembuatan paspor dalam negeri hingga tiga kali lipat usai pandemi Covid-19.

Baca Selengkapnya

Peneliti BRIN di Spanyol Temukan Antibodi Pencegah Virus SARS-CoV-2

7 hari lalu

Peneliti BRIN di Spanyol Temukan Antibodi Pencegah Virus SARS-CoV-2

Fungsi utama antibodi itu untuk mencegah infeksi virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan pandemi Covid-19 pada 2020.

Baca Selengkapnya

Prof Tjandra Yoga Aditama Penulis 254 Artikel Covid-19, Terbanyak di Media Massa Tercatat di MURI

10 hari lalu

Prof Tjandra Yoga Aditama Penulis 254 Artikel Covid-19, Terbanyak di Media Massa Tercatat di MURI

MURI nobatkan Guru Besar Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran UI, Prof Tjandra Yoga Aditama sebagai penulis artikel tentang Covid-19 terbanyak di media massa

Baca Selengkapnya

KPK Tuntut Bekas Bupati Muna Hukuman 3,5 Tahun Penjara dalam Korupsi Dana PEN

10 hari lalu

KPK Tuntut Bekas Bupati Muna Hukuman 3,5 Tahun Penjara dalam Korupsi Dana PEN

"Terbukti secara sah dan meyakinkan," kata jaksa KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat saat membacakan surat tuntutan pada Kamis, 18 April 2024.

Baca Selengkapnya

Pesan PB IDI agar Masyarakat Tetap Sehat saat Liburan dan Mudik di Musim Pancaroba

17 hari lalu

Pesan PB IDI agar Masyarakat Tetap Sehat saat Liburan dan Mudik di Musim Pancaroba

Selain musim libur panjang Idul Fitri, April juga tengah musim pancaroba dan dapat menjadi ancaman bagi kesehatan. Berikut pesan PB IDI.

Baca Selengkapnya

Terpopuler: Menhub Budi Karya Usulkan WFH di Selasa dan Rabu, Sri Mulyani Sebut Idul Fitri Tahun Ini Sangat Istimewa

18 hari lalu

Terpopuler: Menhub Budi Karya Usulkan WFH di Selasa dan Rabu, Sri Mulyani Sebut Idul Fitri Tahun Ini Sangat Istimewa

Menhub Budi Karya Sumadi mengusulkan work from home atau WFH untuk mengantisipasi kepadatan lalu lintas saat puncak arus balik Lebaran.

Baca Selengkapnya

Terpopuler: H-4 Lebaran Penumpang di 20 Bandara AP II Melonjak 15 Persen, Kronologi Indofarma Terpukul Melandainya Covid-19

21 hari lalu

Terpopuler: H-4 Lebaran Penumpang di 20 Bandara AP II Melonjak 15 Persen, Kronologi Indofarma Terpukul Melandainya Covid-19

AP II mencatat jumlah penumpang pesawat angkutan Lebaran 2024 di 20 bandara yang dikelola perusahaan meningkat sekitar 15 persen.

Baca Selengkapnya

Kronologi Indofarma Terpukul Melandainya Covid-19, Tak Bayar Gaji sejak Januari

22 hari lalu

Kronologi Indofarma Terpukul Melandainya Covid-19, Tak Bayar Gaji sejak Januari

Indofarma ambruk karena salah perhitungan kapan pandemi COvid-19 berakhir, sehingga banyak obat sakit akibat virus corona tak terjual

Baca Selengkapnya