6 Faktor Kenapa Covid-19 Lebih Mematikan di Amerika dan Eropa
Reporter
Moh Khory Alfarizi
Editor
Zacharias Wuragil
Selasa, 2 Juni 2020 11:51 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sejauh ini pandemi virus corona Covid-19 menyebabkan angka kematian di Amerika dan Eropa lebih tinggi daripada di bagian lain dunia. Menurut peta sebaran penularan virus itu yang dibuat Johns Hopkins University, lima negara asal dua benua itu menempati lima negara dengan kasus terbanyak yakni Amerika Serikat, Brasil, Rusia, Inggris, dan Spanyol.
Hingga Senin malam, 1 Juni 2020, Amerika Serikat mencatat 1.790.191 kasus infeksi dengan angka kematian 104.383 orang; Brasil 514.849 kasus, kematian 29.314; Rusia 414.878 kasus, kematian 4.855; Inggris 276.156 kasus, kematian mencapai 38.571; dan Spanyol tercatat 239.479 kasus, kematian 27.127.
Sebagai pembanding, di Asia, India mencatat kasus terbanyak, totalnya 191.356, kematian 5.413 orang. Adapun Cina, negara pertama yang dilanda epidemi penyakit yang sama, melaporkan sekitar 83 ribu kasus infeksi dan 4.600 kematian.
Perbedaan itu mungkin dipengaruhi kebijakan pengujian dan metode penghitungan yang berbeda-beda antar negara atau kawasan. Namun perbedaan yang sangat mencolok dalam mortalitas menarik perhatian para peneliti yang ingin menelisik misteri sebaran virus corona Covid-19.
Para peneliti itu memeriksa faktor-faktor selain perbedaan kebijakan pengujian itu. Mereka memperbandingkan genetika dan respons sistem kekebalan, jenis virus yang berbeda, dan perbedaan regional pada tingkat obesitas, serta kesehatan umum di masing-masing kawasan. Berikut ini enam faktor yang diperiksa tersebut,
1. Angka kematian
Di Cina, tempat pertama kali virus dikabarkan itu muncul akhir tahun lalu telah mencatat 4.638 kematian, yang berarti tiga kematian per satu juta penduduk. Negara lain seperti Jepang memiliki sekitar tujuh per satu juta, Pakistan enam, Korea Selatan dan Indonesia lima. Beberapa negara seperti Vietnam, Kamboja dan Mongolia bahkan menyatakan nol kematian terkait Covid-19.
Bandingkan dengan sekitar 100 kematian per satu juta populasi di Jerman, sekitar 180 di Kanada, hampir 300 di Amerika dan lebih dari 500 di Inggris, Italia dan Spanyol.
Para ilmuwan di Chiba University, Jepang, menyorot lintasan virus di seluruh dunia dan mengatakan mendapati perbedaan regional yang mencolok. "Itu berarti kita perlu mempertimbangkan perbedaan regional terlebih dahulu, sebelum menganalisis kebijakan dan faktor lain apa yang mempengaruhi penyebaran infeksi di negara mana pun," kata Akihiro Hisaka dari Sekolah Pascasarjana Ilmu Farmasi, seperti dikutip dari Washington Post, Kamis 28 Mei 2020.
2. Kebijakan konvensional
Asumsi dasar saat ini adalah SARS-CoV-2 itu telah mengubah pemahaman bagaimana cara virus menginfeksi dan membunuh manusia di satu bagian dunia. Ini karena, menurut ahli epidemiologi di Columbia University, Amerika Serikat, Jeffrey Shaman, semua masyarakat di dunia menghadapi virus yang sama dengan gudang respon imun yang sama.
"Ada perbedaan dalam pengujian, pelaporan, dan kontrol antar satu negara dengan yang lainnya. Dan ada perbedaan dalam tingkat hipertensi, penyakit paru-paru kronis, dan lain-lain," kata dia menuturkan.
<!--more-->
Karena itu sebagian alasan tingginya kematian di Amerika dan Eropa Barat mungkin diduga terletak pada keengganan awal masyarakatnya untuk bereaksi terhadap epidemi yang tampak jauh dan tidak dianggap mengancam. Sementara itu, di Asia, pengalaman sebelumnya dengan epidemi SARS dan MERS memungkinkan respons yang jauh lebih cepat terhadap ancaman baru.
Taiwan, misalnya, telah banyak dipuji karena responsnya yang cepat terhadap epidemi, termasuk penyaringan dini penumpang penerbangan dari Wuhan. Sementara Korea Selatan membangun program besar pengujian, pelacakan, dan isolasi pasien. Namun, di Jepang dan India, dua negara yang sangat berbeda, angka kematiannya yang relatif rendah membingungkan banyak ilmuwan, misteri serupa juga muncul dari Pakistan sampai Filipina.
3. Cuaca dan budaya
Cuaca panas dan lembap bisa menjadi faktor di tempat-tempat seperti Kamboja, Vietnam, dan Singapura. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa panas dan kelembapan dapat memperlambat, meskipun tidak menghentikan, penyebaran virus, seperti yang terlihat pada influenza dan virus corona yang menyebabkan flu biasa.
Namun, di beberapa negara khatulistiwa, termasuk Ekuador dan Brasil, telah melihat banyak kasus dan kematian terkait dengan Covid-19. Ternyata, demografi juga berperan dalam kesenjangan regional. Populasi Afrika yang umumnya lebih muda mungkin lebih tahan daripada komunitas tua di Italia Utara, misalnya. Di Jepang, dengan populasi tertua di dunia, berbagai alasan sedang dieksplorasi.
Ada kepercayaan luas di Jepang bahwa kebersihan dan kebiasaan yang baik, seperti memakai masker dan menghindari jabat tangan, membantu memperlambat penyebaran virus. Sementara perawatan kesehatan universal dan penekanan negara untuk melindungi orang tua juga mungkin telah menurunkan angka kematian.
4. Strain atau galur virus yang berbeda
Penelitian oleh tim di University of Cambridge, Inggris, menunjukkan bagaimana virus bermutasi ketika meninggalkan Asia Timur dan melakukan perjalanan ke Eropa. Mereka mencatat kemungkinan bahwa strain awal mungkin telah secara imunologis atau lingkungan disesuaikan dengan sebagian besar populasi Asia Timur dan perlu bermutasi untuk mengatasi perlawanan di luar wilayah itu.
Ahli genetika Peter Forster, ketua tim peneliti, mengatakan ada data klinis yang sangat terbatas tentang bagaimana berbagai strain virus berinteraksi dengan populasi yang berbeda. "Bagaimanapun, pertanyaan itu harus ditindaklanjuti pada apakah strain yang berbeda menjelaskan tingkat kematian yang kontras," kata Forster.
Tm ilmuwan di Los Alamos National Laboratory, Meksiko, juga berpendapat bahwa jenis virus yang sangat menular telah menyebar di Eropa dan di Amerika. Tetapi para ahli lain mengatakan pentingnya strain baru yang muncul masih belum jelas.
"Bisa saja itu kecelakaan bahwa siapa pun yang memiliki mutan pergi ke festival rock dan klub malam dan ditransmisikan kepada kebanyakan orang," ujar Jeremy Luban, ahli virus di University of Massachusetts Medical School Amerika Serikat. "Tapi kemungkinan lainnya adalah strain itu lebih mudah menular."
5. Gen dan sistem kekebalan tubuh
Peraih Nobel Kedokteran, Tasuku Honjo, mengatakan orang dengan keturunan Asia dan Eropa memiliki perbedaan besar dalam haplotipe antigen leukosit manusia (HLA), gen yang mengendalikan respons sistem kekebalan terhadap virus. "Itu mungkin membantu menjelaskan tingkat kematian Asia yang lebih rendah, tetapi tidak mungkin menjadi satu-satunya alasan," kata Honjo.
<!--more-->
Para ilmuwan di Chiba University mengatakan berbagai faktor genetik yang mungkin mengkondisikan respons tubuh terhadap virus dan pantas untuk studi lebih lanjut. Belum ada bukti yang mendukung gagasan itu, namun respons imun yang berbeda juga bisa berperan.
Tatsuhiko Kodama dari University of Tokyo mengatakan studi pendahuluan menunjukkan bahwa sistem kekebalan tubuh orang Jepang cenderung bereaksi terhadap virus corona baru, seolah-olah mereka memiliki paparan sebelumnya. Mereka juga mencatat bahwa berabad-abad sejarah virus corona muncul dari Asia Timur.
"Teka-teki angka kematian yang lebih rendah di Asia Timur dapat dijelaskan dengan adanya kekebalan," ujarnya.
Studi lain menunjukkan bahwa tingkat vaksinasi Bacille Calmette-Guerin (BCG) mungkin memainkan peran, karena suntikan anti-tuberkulosis berpotensi menyebabkan respons peningkatan kekebalan pada tingkat sel. "Hipotesis kami adalah BCG, ditambah infeksi atau pajanan terhadap TB, akan menjadi pelindung,” kata Tsuyoshi Miyakawa dari Fujita Health University.
Pertanyaan lalu muncul karena Jepang memiliki catatan vaksinasi BCG yang serupa dengan Prancis, tapi tingkat kematian Covid-19 yang sangat berbeda.
Megan Murray, ahli epidemiologi di Harvard Medical School, mengatakan faktor lain yang perlu dieksplorasi adalah perbedaan dalam mikrobioma--triliunan bakteri yang berada di usus seseorang dan memainkan peran besar dalam respon imun. "Mikrobioma sangat berbeda di tempat yang berbeda. Orang makan makanan yang sangat berbeda," katanya.
6. Pengaruh tingkat obesitas
Ada hal lain yang dimiliki banyak negara di Asia, yakni tingkat obesitas jauh lebih rendah daripada di negara Barat. Obesitas adalah faktor risiko utama untuk penyakit serius. Lebih dari 4 persen orang Jepang digolongkan obesitas, dan kurang dari 5 persen orang Korea Selatan. Bandingkan dengan 20 persen atau lebih di Eropa Barat dan 36 persen orang di Amerika Serikat, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Tapi Rusia mewakili contoh yang acak: sempat aman selama beberapa bulan, kini negara ini termasuk yang terbanyak kasusnya.
WASHINGTON POST | JOHNS HOPKINS UNIVERSITY