Gejala Baru pada Vaksin AstraZeneca, Simak Saran Guru Besar UI dan Unair
Reporter
Moh Khory Alfarizi
Editor
Erwin Prima
Selasa, 16 Maret 2021 09:19 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Vaksin Covid-19 AstraZeneca dikabarkan memunculkan gejala baru setelah disuntikkan pada pasien yaitu pembekuan darah. Kasus tersebut ditemukan di beberapa seperti Norwegia, Islandia, bahkan ada korban yang meninggal dunia di Denmark.
Baca:
Efikasi Vaksin Sinovac Setelah 6 Bulan, Relawan Tes Darah Lagi Pekan Depan
Indonesia menjadi salah satu negara yang berencana menggunakan vaksin tersebut, bahkan siap didistribusikan. Namun vaksin tersebut tidak dilakukan uji klinis terlebih dahulu di Indonesia, berbeda dengan vaksin Sinovac yang sudah melalui uji klinis.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Ari Fahrial Syam menjelaskan, dirinya sudah berulang kali mengingatkan agar vaksin yang akan digunakan harus diuji klinis terlebih dulu ke orang Indonesia. “Sejak tahun lalu sudah saya jelaskan, lebih baik ada uji klinis dulu,” ujar dia melalui sambungan telepon, Senin malam, 15 Maret 2021.
Menurut Badan Obat-obatan Denmark, gejala pasca vaksin AstraZeneca tersebut sangat tidak biasa. Karena pihaknya menemukan bahwa pasien tersebut memiliki jumlah trombosit dan gumpalan darah yang rendah di pembuluh darah kecil dan besar.
Kasus yang ditemukan di Denmark terjadi pada seorang wanita berusia 60 tahun. Lansia ini meninggal dunia karena pembekuan darah setelah menerima vaksin AstraZeneca. Sementara beberapa kasus ditemukan di Norwegia, termasuk dalam database efek samping obat dari Badan Obat-obatan Eropa (EMA), termasuk Islandia.
“Artinya ini ditemukan efek samping yang serius. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) harus melakukan evaluasi mengenai temuan di luar negeri tersebut,” kata dia.
Guru Besar Ilmu Penyakit Dalam FKUI itu menambahkan, pemerintah harus ketat dengan vaksin ini, karena berkaitan dengan kesehatan masyarakat. “Pengalaman pada AztraZeneca ini mengusulkan sebaiknya melakukan uji klinis lebih dulu. Harus ada sesuatu yang base on research,” tutur Ari.
Senada dengan Ari, Guru Besar dari Universitas Airlangga, Chairul Anwar Nidom juga menerangkan bahwa vaksin yang akan digunakan di suatu negara harus dilakukan uji klinis terlebih dulu. Tetapi, kata dia, itu adalah vaksin pandemi, sehingga karena alasan kedaruratan, beberapa regulasi bisa dilampaui.
“Namun keamanan tetap menjadi pegangan,” ujar Nidom yang juga profesor di Fakultas Kedokteran Hewan Unair.
Menurut Ketua tim Laboratorium Professor Nidom Foundation itu, saat ini semua upaya seolah-olah vaksinasi kunci utama untuk pandemi. Hal itu karena munculnya teori ‘herd immunity’ (kekebalan kelompok) minimal 70 persen dari total penduduk suatu negara.
Padahal, menurutnya, tidak semua virus bisa diintervensi dengan vaksin. “Seharusnya kita mengutamakan ‘herd mask’, dengan negara menanggung biaya 70-80 persen masker yang terstandar,” ujarnya.