Vaksin Nusantara Terindikasi Cacat Prosedur, Sanksinya?

Minggu, 18 April 2021 19:27 WIB

Politikus senior Partai Golkar Aburizal Bakrie menerima penyuntikan vaksin sel dendritik SARS-CoV-2 atau Vaksin Nusantara di RSPAD Gatot Subroto Jakarta, Jumat, 16 April 2021. Penyuntikan dilakukan langsung oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Foto: Istimewa.

TEMPO.CO, Yogyakarta - Vaksin Nusantara besutan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto telah diujikan ke sejumlah kalangan, baik DPR dan mantan pejabat negara, meski belum mengantongi izin uji klinis hingga tuntas dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Lantas, apakah ada sanksi jika Vaksin Nusantara itu nekad dilanjutkan pengembangannya?

Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Riris Andono Ahmad merespons dengan sebuah gambaran.

Jika peneliti atau dokter tidak menggunakan kaidah-kaidah baku pengembangan yang telah ditentukan dan produk itu di kemudian hari ternyata merugikan atau membahayakan masyarakat, maka sanksi bisa diterapkan.

"Bisa mendapatkan sanksi dari pemerintah jika dalam pengembangannya ditemukan pelanggaran," kata Riris kepada Tempo, Minggu, 18 April 2021.

Direktur Pusat Kedokteran Tropis Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) UGM itu menuturkan soal sanksi yang diberikan bisa sifatnya administratif atau sesuai hukum berlaku, tergantung jenis pelanggarannya.

Advertising
Advertising

"Pelanggaran itu, misalnya, ternyata ditemukan ada kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa partisipan, kalau soal ini bisa dijerat hukum," kata Riris.

Hanya saja, Riris mengingatkan, memang akan ada masalah untuk pembuktiannya jika soal itu dibawa ke ranah hukum, apakah memang benar terjadi kelalaian prosedur atau memang risiko intervensi yang belum diketahui.

"Di sisi lain, peneliti yang memberikan intervensi atas pengembangan vaksin yang belum terbukti efikasinya bisa dikategorikan melakukan tindakan unethical. Oleh sebab itu, seharusnya penelitian itu bisa dihentikan," kata Riris.

Riris mengungkap, setiap partisipan berhak menuntut apabila merasa dirugikan dari pengembangan atau penelitian yang dilakukan. Ia memperjelas, bahwa partisipan yang bisa menuntut ketika sebuah produk penelitian menimbulkan kerugian itu bukan si pengguna produk itu.

Dalam kasus Vaksin Nusantara yang diujikan kepada sejumlah anggota DPR dan mantan pejabat negara, DPR bukanlah kategori partisipan yang dimaksud. Partisipan yang dimaksud Riris adalah peserta penelitian.

Menurutnya, anggota DPR yang diuji Vaksin Nusantara tidak bisa dimasukkan dalam kategori sebagai partisipan jika mereka tidak direkrut sebagai partisipan penelitian dengan prosedur yang proper.

Apalagi jika para anggota DPR itu juga tak mengikuti prosedur yang informed consent, atau tidak diberi detail informasi mengenai obyek dan risiko penelitian.

"Oleh karena itu, sejak awal saya mengatakan para anggota DPR yang ikut uji vaksin itu harus tahu bahwa keikutsertaan mereka itu at their own risk (risikonya tanggung sendiri)," kata Riris.

Riris mengungkap, sepanjang pengetahuannya keberadaan BPOM lebih terkait dengan registrasi dan izin edar sebuah produk kesehatan.

Untuk bisa menilai apakah sebuah produk layak edar, BPOM berkewajiban menilai bukti uji klinis yang didapat dari fase 1, 2 dan 3 pengembangan produk itu.

Dari sini, Riris mengatakan, BPOM tidak berkaitan dengan pemberian izin kepada pihak lain, apa boleh melakukan penelitian atau tidak.

"Boleh tidaknya uji klinis dilakukan terkait adanya ethical approval maupun perizinan administrasi penelitian," kata Riris

Anggota Tim Perencanaan Data dan Analisis Gugus Tugas Covid- 19 Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu menuturkan kasus penelitian tak patuh prosedur berbeda dengan malpraktik.

"Beda dengan malpraktik, karena bisa jadi intervensi baru sedang diujikan, namun bisa masuk kategori malpraktik jika sudah diterapkan dalam layanan sehari-hari," katanya.

Menurutnya, pengembangan Vaksin Nusantara juga belum bisa dikategorikan malpraktik karena belum menjadi standar medis dan tidak ada bukti ilmiahnya kalau sudah digunakan dalam layanan sehari-hari. Riris menuturkan, kasus peneliti tak mematuhi prosedur lalu disanksi hukum belum ia temukan di Indonesia. " Tapi kalau di luar negeri itu sesuatu yang biasa terjadi," katanya.

Baca:
Istri Ridwan Kamil Positif Covid-19 Setelah Vaksinasi 2 Kali, Tim Riset: Wajar

Berita terkait

Viral Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Guru Besar FKUI Sebut Manfaatnya Jauh Lebih Tinggi

1 jam lalu

Viral Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Guru Besar FKUI Sebut Manfaatnya Jauh Lebih Tinggi

Pada 2021 lalu European Medicines Agency (EMA) telah mengungkap efek samping dari vaksinasi AstraZeneca.

Baca Selengkapnya

Bidan Diduga Malpraktik Viral di Medsos, Polres Prabumulih Lakukan Penyelidikan

4 jam lalu

Bidan Diduga Malpraktik Viral di Medsos, Polres Prabumulih Lakukan Penyelidikan

Polres Prabumulih sudah melakukan penyelidikan soal dugaan malpraktik seorang bidan yang viral di media sosial.

Baca Selengkapnya

Kisah Anak Buruh Tani Korban Tsunami Palu Lulus S2 UGM Berkat LPDP

5 jam lalu

Kisah Anak Buruh Tani Korban Tsunami Palu Lulus S2 UGM Berkat LPDP

Cerita Heni Ardianto, lulusan prodi Magister Sains Manajemen FEB Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan IPK 3,72 asal Sulawesi Tengah.

Baca Selengkapnya

Inovasi Desain Jembatan dari Unej Menang di Singapura, Ungguli UGM, ITS, NTU, dan ITB

6 jam lalu

Inovasi Desain Jembatan dari Unej Menang di Singapura, Ungguli UGM, ITS, NTU, dan ITB

Tim mahasiswa Teknik Sipil Universitas Jember (Unej)menangi kompetisi gelaran Nanyang Technological University (NTU) Singapura.

Baca Selengkapnya

Peneliti Unair Temukan Senyawa Penghambat Sel Kanker, Raih Penghargaan Best Paper

2 hari lalu

Peneliti Unair Temukan Senyawa Penghambat Sel Kanker, Raih Penghargaan Best Paper

Peneliti Unair berhasil mengukir namanya di kancah internasional dengan meraih best paper award dari jurnal ternama Engineered Science.

Baca Selengkapnya

Cara UGM Cegah Peserta UTBK-SNBT Pakai Joki dan Lakukan Kecurangan

2 hari lalu

Cara UGM Cegah Peserta UTBK-SNBT Pakai Joki dan Lakukan Kecurangan

Ujian Tulis Berbasis Komputer-Seleksi Nasional Berbasis Tes (UTBK-SNBT) di Kampus UGM diikuti sebanyak 18.726 peserta.

Baca Selengkapnya

Teknologi Roket Semakin Pesat, Periset BRIN Ungkap Tantangan Pengembangannya

2 hari lalu

Teknologi Roket Semakin Pesat, Periset BRIN Ungkap Tantangan Pengembangannya

Sekarang ukuran roket juga tidak besar, tapi bisa mengangkut banyak satelit kecil.

Baca Selengkapnya

Tuntutan dari Mahasiswa UGM, IPK 4,00 di Universitas Jember, serta Penyakit Akibat Polusi Mengisi Top 3 Tekno

2 hari lalu

Tuntutan dari Mahasiswa UGM, IPK 4,00 di Universitas Jember, serta Penyakit Akibat Polusi Mengisi Top 3 Tekno

Topik tentang mahasiswa UGM menggelar aksi menuntut tranparansi biaya pendidikan menjadi berita terpopuler Top 3 Tekno Berita Hari Ini.

Baca Selengkapnya

Komnas PP KIPI Sebut Tidak Ada Efek Samping Vaksin AstraZeneca di Indonesia

2 hari lalu

Komnas PP KIPI Sebut Tidak Ada Efek Samping Vaksin AstraZeneca di Indonesia

Sebanyak 453 juta dosis vaksin telah disuntikkan ke masyarakat Indonesia, dan 70 juta dosis di antaranya adalah vaksin AstraZeneca.

Baca Selengkapnya

Pembekuan Darah Usai Vaksinasi AstraZeneca, Epidemiolog: Kasusnya Langka dan Risiko Terkena Minim

2 hari lalu

Pembekuan Darah Usai Vaksinasi AstraZeneca, Epidemiolog: Kasusnya Langka dan Risiko Terkena Minim

Pasien pembekuan darah pertama yang disebabkan oleh vaksin AstraZeneca adalah Jamie Scott.

Baca Selengkapnya