Studi Ungkap Virus Corona Kuno Melanda Asia Timur 25 Ribu Tahun Lalu

Senin, 26 April 2021 10:16 WIB

Ilustrasi virus Corona atau Covid-19. Shutterstock

TEMPO.CO, Jakarta - Pandemi Covid-19, yang kini telah menewaskan lebih dari 3 juta jiwa, telah mengungkapkan bertapa rentannya manusia terhadap virus baru. Namun, meski ancaman ini tampak baru, manusia telah memerangi virus berbahaya sejak bertahun-tahun lamanya.

Sebuah studi menjelaskan, virus corona kuno mungkin telah menginfeksi nenek moyang manusia yang hidup di zaman modern Asia Timur mulai 25 ribu tahun yang lalu dan selama ribuan tahun setelahnya. Studi dilakukan oleh peneliti University of Arizona, Amerika Serikat.

Penulis studi, asisten profesor ekologi dan evolusi dari University of Arizona David Enard menerangkan selalu ada virus yang menginfeksi populasi manusia.” Virus benar-benar salah satu pendorong utama seleksi alam dalam genom manusia,” ujar dia seperti dikutip Live Science, 24 April 2021.

Hal itu, menurut Enard, terjadi karena gen yang meningkatkan peluang manusia untuk bertahan hidup dari patogen lebih mungkin diwariskan ke generasi baru.

Dengan menggunakan alat zaman modern, para peneliti bisa mendeteksi sidik jari patogen purba—menunjukkan dengan tepat bagaimana mereka mendorong seleksi alam—dalam DNA orang yang hidup saat ini. Informasi ini, pada gilirannya, dapat memberikan wawasan berharga untuk membantu memprediksi pandemi di masa depan.

Advertising
Advertising

"Hampir selalu benar bahwa hal-hal yang sering terjadi di masa lalu lebih mungkin terjadi lagi di masa mendatang,” kata Enard.

Menggunakan informasi yang tersedia di database publik, Enard dan timnya menganalisis genom 2.504 orang di 26 populasi manusia yang berbeda di seluruh dunia. Temuan, yang belum ditinjau sejawat itu, telah diunggah 13 Januari lalu ke database pracetak bioRxiv, dan studi sedang dalam proses ditinjau untuk publikasi dalam jurnal ilmiah.

Ketika virus corona menyelinap ke dalam sel manusia, mereka membajak mesin sel untuk bereplikasi. Artinya, keberhasilan virus bergantung pada interaksinya dengan ratusan protein manusia yang berbeda.

Para peneliti memperbesar sekumpulan 420 protein manusia yang diketahui berinteraksi dengan virus corona, 332 di antaranya berinteraksi dengan SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan Covid-19. Sebagian besar protein ini membantu virus untuk mereplikasi di dalam sel, tapi beberapa membantu sel melawan virus.

Gen yang mengkode protein tersebut bermutasi secara terus-menerus dan acak, tapi jika mutasi memberikan keuntungan pada gen—seperti kemampuan yang lebih baik untuk melawan virus—ia akan memiliki peluang yang lebih baik untuk diturunkan ke generasi berikutnya, atau dipilih.

Para peneliti menemukan bahwa pada orang keturunan Asia Timur, gen tertentu yang diketahui berinteraksi dengan virus corona telah dipilih. Artinya, seiring waktu, varian tertentu muncul lebih sering daripada yang diharapkan secara kebetulan.

“Serangkaian mutasi ini kemungkinan besar membantu nenek moyang populasi ini menjadi lebih kebal terhadap virus purba dengan mengubah seberapa banyak protein ini dibuat oleh sel,” tulis penelitian.

Para peneliti juga menemukan bahwa varian gen yang mengkode 42 dari 420 protein yang mereka analisis mulai meningkat frekuensinya sekitar 25 ribu tahun yang lalu. Penyebaran varian yang menguntungkan berlanjut hingga sekitar 5 ribu tahun yang lalu, menunjukkan bahwa virus purba terus mengancam populasi ini untuk waktu yang lama.

Profesor dari Departemen Kedokteran University of California, San Diego, Joel Wertheim menjelaskan, virus menggunakan beberapa tekanan selektif terkuat pada manusia untuk beradaptasi. “Dan virus corona mungkin telah ada sejak lama sebelum manusia ada," tutur dia yang tidak terlibat dalam penelitian Enard.

Jadi, Wertheim menambahkan, meskipun tidak terduga bahwa virus corona akan mendorong adaptasi pada manusia, studi ini menyajikan penyelidikan yang menarik tentang bagaimana dan kapan hal ini terjadi. Namun, tetap saja, sangat sulit untuk mengatakan apakah virus yang menyebabkan evolusi ini juga merupakan virus corona.

“Tetapi tampaknya teori yang bekerja masuk akal," kata Wertheim.

Enard setuju bahwa patogen kuno yang menjangkiti nenek moyang manusia mungkin bukan virus corona. Sebaliknya, itu mungkin jenis virus lain yang kebetulan berinteraksi dengan sel manusia dengan cara yang sama seperti yang dilakukan oleh virus corona.

Kelompok peneliti lain baru-baru ini menemukan bahwa sarbecovirus, keluarga virus corona yang mencakup SARS-CoV-2, pertama kali berevolusi 23,5 ribu tahun lalu, sekitar waktu yang sama dengan varian gen yang mengkode protein terkait virus corona pertama kali muncul pada manusia. Temuan sarbecovirus juga diposting sebagai pracetak di bioRxiv, pada 9 Februari 2021, dan belum ditinjau sejawat.

Menurut Enard, studi kedua itu memberikan konfirmasi yang "rapi" untuk keseluruhan cerita mengenai virus corona. Meskipun temuan ini menarik, mereka tidak mengubah pemahaman tentang populasi mana yang lebih baik dalam bertahan dari infeksi SARS-CoV-2.

“Tidak ada bukti bahwa adaptasi gen purba ini membantu melindungi orang modern dari SARS-CoV-2. Nyatanya, hampir tidak mungkin membuat klaim seperti ini," kata Enard.

Sebaliknya, faktor sosial dan ekonomi, seperti akses ke perawatan kesehatan, kemungkinan memainkan peran yang jauh lebih besar daripada gen yang terkena Covid-19.

Enard dan timnya sekarang berharap dapat bekerja sama dengan ahli virus untuk memahami bagaimana adaptasi ini membantu manusia purba bertahan dari paparan virus corona purba ini. Tim juga berharap bahwa pada akhirnya studi genom kuno itu dapat digunakan sebagai “sistem peringatan dini" untuk pandemi di masa depan.

Misalnya, peneliti pertama-tama dapat mensurvei virus di alam liar yang belum menginfeksi populasi manusia dan kemudian mencari sidik jarinya di DNA manusia. “Jika mereka menemukan bahwa virus telah menyebabkan banyak epidemi kuno, itu bisa menjadi alasan yang baik untuk terus mengawasinya,” tutur Enard.

Meskipun melihat sekilas dampak virus kuno ini pada nenek moyang manusia, generasi mendatang kemungkinan besar tidak akan dapat melihat jejak SARS-CoV-2 di genom manusia sekarang. “Berkat vaksinasi, virus tidak akan punya waktu untuk mendorong adaptasi evolusioner,” ujar Enard.

LIVE SCIENCE | BIORXIV

Baca:
Bukan Ditembak atau Ditabrak, Ini Sebab Kapal Selam Argentina Tenggelam

Berita terkait

Pabrik Sepatu Bata Tutup, Aprisindo: Pengetatan Impor Mempersulit Industri Alas Kaki

40 menit lalu

Pabrik Sepatu Bata Tutup, Aprisindo: Pengetatan Impor Mempersulit Industri Alas Kaki

Asosiasi Persepatuan Indonesia menanggapi tutupnya pabrik sepatu Bata. Pengetatan impor mempersulit industri memperoleh bahan baku.

Baca Selengkapnya

Viral Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Guru Besar FKUI Sebut Manfaatnya Jauh Lebih Tinggi

1 jam lalu

Viral Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Guru Besar FKUI Sebut Manfaatnya Jauh Lebih Tinggi

Pada 2021 lalu European Medicines Agency (EMA) telah mengungkap efek samping dari vaksinasi AstraZeneca.

Baca Selengkapnya

Tak Hanya India, Jepang Juga Kecewa Atas Komentar Joe Biden tentang Xenofobia

21 jam lalu

Tak Hanya India, Jepang Juga Kecewa Atas Komentar Joe Biden tentang Xenofobia

Pemerintah Jepang menanggapi komentar Presiden AS Joe Biden bahwa xenofobia menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi di Cina, India dan Jepang.

Baca Selengkapnya

Gejala Baru pada Pasien DBD yang Dialami Penyintas COVID-19

1 hari lalu

Gejala Baru pada Pasien DBD yang Dialami Penyintas COVID-19

Kemenkes mendapat beberapa laporan yang menunjukkan perubahan gejala pada penderita DBD pascapandemi COVID-19. Apa saja?

Baca Selengkapnya

Selain AstraZeneca, Ini Daftar Vaksin Covid-19 yang Pernah Dipakai Indonesia

2 hari lalu

Selain AstraZeneca, Ini Daftar Vaksin Covid-19 yang Pernah Dipakai Indonesia

Selain AstraZeneca, ini deretan vaksin Covid-19 yang pernah digunakan di Indonesia

Baca Selengkapnya

Peneliti Unair Temukan Senyawa Penghambat Sel Kanker, Raih Penghargaan Best Paper

2 hari lalu

Peneliti Unair Temukan Senyawa Penghambat Sel Kanker, Raih Penghargaan Best Paper

Peneliti Unair berhasil mengukir namanya di kancah internasional dengan meraih best paper award dari jurnal ternama Engineered Science.

Baca Selengkapnya

Teknologi Roket Semakin Pesat, Periset BRIN Ungkap Tantangan Pengembangannya

2 hari lalu

Teknologi Roket Semakin Pesat, Periset BRIN Ungkap Tantangan Pengembangannya

Sekarang ukuran roket juga tidak besar, tapi bisa mengangkut banyak satelit kecil.

Baca Selengkapnya

Heboh Efek Samping AstraZeneca, Pernah Difatwa Haram MUI Karena Kandungan Babi

2 hari lalu

Heboh Efek Samping AstraZeneca, Pernah Difatwa Haram MUI Karena Kandungan Babi

MUI sempat mengharamkan vaksin AstraZeneca. Namun dibolehkan jika situasi darurat.

Baca Selengkapnya

Komnas PP KIPI Sebut Tidak Ada Efek Samping Vaksin AstraZeneca di Indonesia

2 hari lalu

Komnas PP KIPI Sebut Tidak Ada Efek Samping Vaksin AstraZeneca di Indonesia

Sebanyak 453 juta dosis vaksin telah disuntikkan ke masyarakat Indonesia, dan 70 juta dosis di antaranya adalah vaksin AstraZeneca.

Baca Selengkapnya

Fakta-fakta Vaksin AstraZeneca: Efek Samping, Kasus Hukum hingga Pengakuan Perusahaan

2 hari lalu

Fakta-fakta Vaksin AstraZeneca: Efek Samping, Kasus Hukum hingga Pengakuan Perusahaan

Astrazeneca pertama kalinya mengakui efek samping vaksin Covid-19 yang diproduksi perusahaan. Apa saja fakta-fakta seputar kasus ini?

Baca Selengkapnya