Gempa di Maluku Tengah Tak Disangka Diikuti Tsunami, Ini Kata BMKG
Reporter
Anwar Siswadi (Kontributor)
Editor
Zacharias Wuragil
Rabu, 16 Juni 2021 22:33 WIB
TEMPO.CO, Bandung - Gempa tektonik Magnitudo 6,0--diperbarui dari sebelumnya 6,1--mengguncang wilayah Maluku Tengah di Pulau Seram hingga Ambon pada Rabu siang, 16 Juni 2021. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menjelaskan kenapa sistem peringatan dini dan hasil pemodelan miliknya tak menyebut adanya tsunami, yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan, sekalipun itu tsunami kecil.
“Karena kekuatannya masih (bermagnitudo) 6,0, posisinya juga di perbatasan laut dengan pantai. Secara tektonik tidak berpotensi tsunami,” ujar Kepala BMKG Dwikorita Karnawati yang langsung menggelar konferensi pers secara daring untuk menjelaskan peristiwa itu.
Tsunami dipastikan dari alat pemantau pasang surut milik Badan Informasi Geospasial, bahwa terjadi kenaikan air muka laut pascagempa. “Di Tehoru naik muka air laut setengah meter, diduga akibat adanya longsor tebing bawah laut,” kata Dwikorita.
Kenaikan maksimum ketinggian air laut di Tehoru sekitar setengah meter pada pukul 11.47 WIB atau 4 menit setelah kejadian gempa. Adapun di Banda, ketinggian maksimum 7 sentimeter pada pukul 12.02 WIB atau 19 menit setelah gempa.
Hingga pukul 16.00 WIB, terjadi 16 kali gempa susulan dengan magnitudo berkisar antara 1,9 hingga 3,7. BMKG merekomendasikan kepada masyarakat terutama di wilayah sepanjang Pantai Japutih sampai Pantai Atiahu Kabupaten Maluku Tengah di Pulau Seram untuk waspada potensi tsunami akibat longsor bawah laut. “Dikhawatirkan masih terjadi,” kata Dwikorita.
Jika merasakan guncangan kuat, khusus bagi masyarakat di pesisir diminta segera menjauhi pantai menuju ke tempat yang tinggi. Tanpa harus menunggu peringatan dini dari BMKG. "Karena peringatan berdasarkan gempa tektonik tsunami dari longsor bawah laut belum bisa dideteksi dari sistem peringatan dini yang ada saat ini,” ujarnya.
BMKG, kata dia, memantau wilayah Maluku secara khusus. Kekhawatirannya, karena cukup sering terjadi tsunami dan bisa saja karena pemicu non tektonik. Tsunami yang ditimbulkan pun bisa terjadi cepat--mematahkan rumus yang selama ini dikenal yakni 20-20-20 atau dalam waktu 20 detik setelah guncangan lari ke tempat yang lebih dari 20 meter karena tsunami akan datang 20 menit.
“Teori ini sudah runtuh dengan kejadian tsunami Palu dan kejadian di Seram ini, datangnya tsunami hanya dua menit,” kata Dwikorita.
Menurutnya, peringatan dini di BMKG atau negara maju sekalipunn belum mampu mendeteksi tsunami yang secepat itu. Sebagai gantinya, masyarakat diminta menggunakan kearifan lokal. Selain itu ada cara lain mengukur gempa kuat. “Kalau berdiri mau jatuh itu berarti guncangan kuat, atau berdiri tapi berayun segera saja cari tempat tinggi,” katanya.
Koordinator Bidang Mitigasi Gempa dan Tsunami BMKG Daryono menambahkan data gempa dan tsunami merusak di wilayah selatan Pulau Seram. Diantaranya, pada 1674 yang menyebabkan 2.243 orang meninggal dan 1899 dengan korban meninggal 4.000 orang. Kemudian ada gempa dan tsunami merusak di Ambon pada 1950 dan juga di Ambon pada 2019 yang menyebabkan 31 orang meninggal.
Baca juga:
Ini Penyebab Tsunami Kecil Usai Gempa Maluku Tengah 6,1 M