Riset Akademik: Candi Borobudur Sudah Gunakan Konsep Matematika Yunani
Reporter
Tempo.co
Editor
Iqbal Muhtarom
Rabu, 15 September 2021 22:49 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Setiap menatap Candi Borobudur, akan terbersit di benak kita, bagaimana bangunan sebesar itu, dengan kemegahan yang masih terasa hingga kini, bisa dibangun pada masa itu? Pada masa abad ke-8 Masehi.
Di pedalaman tanah Jawa, yang merupakan bagian dari sebuah lembah besar Kedu yang kini disebut Magelang, berdiri megah sebuah candi besar. Bagaimana orang pada masa itu, atau rezim atau wangsa Syailendra mendirikan Candi Borobudur.
Telah banyak para ahli yang menelisik rahasia di balik Candi Borobudur. Mulai dari ahli arkeologi, filologi, antropologi hingga para saintis di bidang matematika.
Yang terakhir ini berhasil mengungkap rahasia yang membuat kita jadi paham, bagaimana Candi Borobudur dibangun. Yakni, penggunaan konsep matematika. Ilmu modern yang telah dipraktekkan pada masa tahun 700-800 Masehi.
Konsep matematika pada Candi Borobudur yang dibangun selama 75-100 tahun itu dapat ditelusuri dari bentuk struktur bangunan yang menyerupai konsep bangun datar dan bangun ruang dalam matematika.
Rahmi Nur Fitria Utami dan kawan-kawan dalam sebuah penelitian yang diterbitkan di Jurnal Penelitian Pendidikan dan Pengajaran Matematika Universitas Siliwangi pada Maret 2020, mengungkapkan bahwa konsep desain Candi Borobudur juga dapat dikaitkan dengan Euclidean Geometry.
Euclidean Geometry merupakan sebuah geometri klasik, terdiri atas 5 postulat, yang dinisbahkan terhadap matematikawan Yunani Kuno Euklides. Struktur bangunan Candi Borobudur terdiri dari dua bentuk utama, yaitu lingkaran dan persegi.
Merujuk pada bentuk utama tersebut dapat diperoleh beberapa konsep dasar bangunan Candi Borobudur berkaitan dengan geometri, yaitu bangun datar, bangun ruang, dan fraktal.
<!--more-->
“Selain itu, dilihat dari keterpaduan antar bagian bangunan, dapat diperoleh beberapa konsep matematika lainnya, yaitu bilangan, perbandingan, penjumlahan, dan teselasi,” sebut penelitian yang dilakukan oleh kolaborasi tim peneliti dari Universitas Siliwangi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, dan Universitas Khairun ini.
Etnomatematika berupa konsep bangun datar ini, menurut Rahmi dan rekan-rekannya, dapat dilihat dari bentuk bangunan dasar yang terdiri dari 10 tingkat. Tingkat 1 hingga 6 berbentuk persegi sementara sisanya berbentuk lingkaran. Bahkan relief yang terdapat pada dinding candi, juga terdapat konsep tersebut seperti lingkaran, persegi panjang, segitiga, persegi, dan jajar genjang.
Tak hanya konsep bangun datar, konsep bangun ruang juga ditemukan pada relief dan stupa candi yang mulai dibangun pada 750 Masehi ini. Bentuk stupa Candi Borobudur secara struktur mirip dengan bangun ruang kerucut dalam matematika, pada bagian dasar stupa berbentuk lingkaran dan mengerucut hingga puncak.
“Selain itu, terdapat bangun ruang balok dan kubus pada relief dinding Candi Borobudur,” tulis Rahmi dan rekan-rekannya dalam jurnal tersebut.
Selain konsep bangun datar dan bangun ruang, etnomatematika dalam pembangunan Candi Borobudur juga menerapkan konsep geometri fraktal, yaitu bentuk geometris dengan detail tak terbatas dan strukturnya sangat kompleks, memiliki beberapa ukuran kesamaan diri, di mana setiap bagian di dalamnya merupakan skala kecil dari keseluruhan bagian.
Candi Borobudur terlihat seperti sebuah stupa yang sangat besar dan dikelilingi oleh stupa-stupa lainnya yang lebih kecil, inilah yang dinamakan geometri fraktal.
Sependapat dengan penelitian Hokky Situngkir, Rahmi dan rekan-rekannya juga berpendapat, apabila dilihat dari atas maupun dari samping, Candi Borobudur berbentuk geometri dimensi satu maupun dimensi dua yang berulang-ulang.
Saat dilihat dari atas, bangunan ini terdiri dari persegi yang di dalamnya terdapat persegi yang lebih kecil. Pada tiga lantai teratas, terdiri dari lingkaran yang di dalamnya juga terdapat lingkaran yang lebih kecil.
<!--more-->
Adapun jika dilihat dari samping, bangunan ini tersusun dari balok dan tabung yang menumpuk. Balok dan tabung dengan ukuran terbesar berada di bagian terbawah dan di atasnya terdapat balok atau tabung lain yang lebih kecil.
Candi Borobudur dibangun tidak hanya berdasarkan konsep matematika yang sederhana. Konsep matematika mengenai perbandingan dengan pola teratur juga terdapat pada Candi Borobudur. Larisa dalam bukunya The Magnificence of Borobudur, menyebutkan konsep perbandingan tersebut dapat dilihat dari jumlah stupa pada tingkat Arupadhatu.
Pada lantai 7 berjumlah 16 stupa, lantai 8 berjumlah 24 stupa, dan lantai 9 berjumlah 32 stupa. Sehingga diperoleh perbandingan 16:24:32. Apabila semua nilai tersebut dibagi 8, maka nilai perbandingannya menjadi 2:3:4 yang tergolong perbandingan dengan pola yang teratur.
Konsep perbandingan lainnya juga ditemukan pada bangunan bersejarah ini, yakni pada ukuran tinggi dan diameter stupa. Pada lantai 7 berukuran 1,7 meter, lantai 8 berukuran 1,8 meter, dan lantai 9 berukuran 1,9 meter. Sehingga diperoleh perbandingan 1,7:1,8:1,9 yang juga merupakan perbandingan yang teratur.
Selain itu, jika dilihat secara vertikal dan horizontal, bangunan Candi Borobudur memiliki perbandingan tertentu berdasarkan rasio kepala, badan, dan kaki, yaitu kaki berjumlah 4, badan berjumlah 6, dan kepala berjumlah 9. Sehingga diperoleh rasio 4:6:9. Menurut Hokky Situngkir dan Seno Panyadewa, rasio ini sesuai dengan konsep Hindu-Buddha dalam membangun kuil yang dihubungkan dengan bagian tubuh manusia.
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca juga: Menelusuri Jejak Peradaban Masa Lalu Melalui Borobudur Trail of Civilization