Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.
Musim Hujan Alami Perpanjangan Hingga Bulan Ini, Bahkan Lebih
Reporter
Anwar Siswadi (Kontributor)
Editor
Zacharias Wuragil
Senin, 18 April 2022 20:00 WIB
TEMPO.CO, Bandung - Musim hujan berpotensi terus berlanjut atau mengalami perpanjangan. Menurut peneliti pada Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin, musim hujan yang seharusnya berakhir pada Maret dan berubah menjadi periode transisi hingga Mei menuju musim kemarau ternyata tidak terjadi.
Berdasarkan data satelit hujan atau Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP), akumulasi rata-rata intensitas curah hujan selama 10 harian atau dasarian masih berkisar 100-300 milimeter selama satu bulan terakhir di sebagian besar wilayah Indonesia. Kondisi basah di selatan Indonesia sejak akhir Maret hingga pertengahan April bahkan terus terjadi meskipun siklon tropis Malakas yang terbentuk dekat Filipina telah berdampak pada kondisi minim awan (clear sky) di barat Indonesia.
Hal itu menunjukkan aktivitas konvektif skala meso atau luas yang berpotensi menimbulkan hujan persisten tidak terjadi di barat Indonesia. Meski begitu, hujan di sebagian besar kawasan barat Indonesia seperti Jawa, Sumatera, dan Kalimantan tetap terbentuk hampir setiap hari berupa hujan diurnal siang, sore, atau malam di atas daratan.
"Hujan harian atau diurnal ini lebih dipengaruhi oleh penguatan sirkulasi diurnal angin darat-laut atau angin gunung-lembah," ujarnya lewat keterangan tertulis, Senin 18 April 2021.
Indikasi hujan diurnal yang dibangkitkan oleh angin laut ini dapat pula diketahui dari pembentukan awan-awan cumulus tunggal yang terbentuk pada pagi menjelang siang sekitar pukul 09.00 WIB. Seiring dengan pemanasan radiasi matahari yang optimal pada siang, awan-awan tersebut pun tumbuh meninggi dan menyatu dengan awan-awan stratus di lapisan atasnya yang telah terbentuk merata di atmosfer pada hari-hari sebelumnya.
Di sisi lain, angin musim kemarau sudah mulai terbentuk khususnya di tenggara Indonesia meskipun tidak disertai dengan pengurangan intensitas hujan untuk sebagian besar wilayah Indonesia. “Hal ini membuktikan bahwa angin monsun tidak lagi menjadi penentu utama sifat musim hujan atau kemarau di Indonesia,” kata Erma.
Kondisi itu, menurutnya, telah dibuktikan selama beberapa tahun belakangan ini. Erma menuturkan, terdapat variasi di atmosfer dengan skala intra-musiman (sub-seasonal) dan antar-tahunan (inter-annulal) yang lebih dominan dalam mengontrol musim di Indonesia akhir-akhir ini.
Ada 5 faktor di balik perpanjangan musim hujan
Menurut Erma, perpanjangan musim hujan atau kecenderungan musim kemarau basah yang dapat terjadi di sebagian Pulau Jawa bagian tengah dan selatan pada tahun ini disebabkan oleh beberapa faktor utama. Pertama, peluang terjadinya perpanjangan La Nina hingga Mei 2022 dan bahkan mungkin terus berlanjut lebih panjang lagi.
<!--more-->
La Nina yang sudah dimulai sejak Juni 2020 memiliki potensi terus berlanjut hingga 2022. Jika kondisi ini terjadi, maka selama tiga tahun berturut-turut wilayah Indonesia akan mengalami La Nina sebagaimana pernah terjadi pada 2010-2012.
Faktor kedua yaitu potensi terbentuknya fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) negatif pada periode kemarau tahun ini yang dapat mempengaruhi sifat basah khususnya untuk wilayah di barat Indonesia. Potensi IOD negatif ini dapat mengakibatkan berlanjutnya sifat basah selama periode kemarau bahkan juga selama periode sesudahnya. Peluang terbentuknya IOD negatif ini ditunjukkan oleh model dinamik milik badan meteorologi Australia.
Faktor ketiga terkait pembentukan vorteks atau pusaran angin dalam skala luas di Samudera Hindia selatan ekuator bagian tenggara dekat Sumatera dan Jawa yang memiliki kecenderungan bersifat persisten. Vorteks di selatan Samudera Hindia sekaligus menandakan pembentukan wilayah konvergensi di barat Indonesia sehingga memicu pertumbuhan awan pada skala lokal dan harian sehingga proses pembentukan hujan selama musim kemarau masih dapat terus berlangsung.
Selain itu, karena vorteks yang terpelihara terus dapat berubah menjadi bibit siklon tropis maka kecenderungan pembentukan siklon tropis di Samudera Hindia selatan ekuator dapat terus terjadi. “Sehingga menambah efek basah selama musim kemarau tahun ini,” katanya.
Faktor keempat yaitu menghangatnya suhu permukaan laut di perairan lokal Indonesia, khususnya di bagan tengah dan timur. Ini telah berperan dalam menyediakan bahan bakar uap air berlimpah sehingga hujan harian yang dibangkitkan oleh angin darat-laut memiliki dukungan kelembapan yang memadai.
Faktor kelima yaitu pergeseran 'kolam hangat' di wilayah Pasifik barat ekuator menuju ke arah barat sehingga saat ini yang menjadi pusat kelembapan dari 'kolam hangat' tersebut adalah wilayah Indonesia. Istilah 'kolam hangat' itu digunakan untuk menggambarkan pusat konveksi yang terjadi sepanjang tahun di sektor Indo-Pasifik meliputi wilayah barat Samudra Pasifik dan timur Indonesia. Pergeseran kolam hangat ke barat ini biasanya terjadi pada saat La Nina.
Meskipun demikian, kata Erma, terdapat indikasi pergeseran ke barat kali ini lebih karena terjadi anomali sirkulasi angin di lapisan atas. Kondisi itu berasosiasi pada aktivitas ekstra-tropis yang mempengaruhi wilayah tropis melalui Samudera Pasifik.
Baca juga:
Cuaca di Jakarta: Suhu 30 Terasa 37 Derajat Celsius, Ini Kata BMKG