Karbon dioksida dan gas lainnya yang dilepas ke udara oleh industri dan kegiatan lainnya dituding sebagai penyebab naiknya temperatur global, meningkatkan kekhawatiran akan kemungkinan perubahan besar dalam iklim dan cuaca.
"Emisi karbon telah tumbuh 3,5 persen per tahun sejak 2000, naik tajam dari 0,9 persen per tahun pada 1990-an," kata Christopher Field dari Carnegie Institution for Science dalam pertemuan tahunan American Association for the Advancement of Science pekan lalu. "Ini di luar seluruh amplop kemungkinan yang diperkirakan dalam laporan International Panel on Climate Change pada 2007," kata Field. IPCC dan mantan wakil presiden Al Gore menerima Hadiah Nobel karena berhasil menarik perhatian dunia tentang bahaya perubahan iklim.
Faktor terbesar yang berkontribusi pada peningkatan ini adalah meluasnya penggunaan batu bara sebagai sumber energi. "Tanpa perhatian yang agresif, masyarakat akan terus berfokus pada sumber energi termurah, dan itu berarti batu bara," kata Field.
Proyeksi penurunan emisi gas rumah kaca pada masa lalu, dia menambahkan, juga terlalu optimistis. Tidak ada bagian mana pun di dunia yang menunjukkan penurunan emisi sejak 2000 sampai 2008.
Anny Cazenave dari National Center for Space Studies Prancis melaporkan, hasil pengukuran satelit yang lebih sempurna memperlihatkan bahwa level muka air laut juga naik lebih cepat daripada perkiraan sebelumnya. Naiknya permukaan samudra merupakan ancaman bagi kawasan rendah, semisal Florida Selatan dan New York, ketika samudra menghangat dan meluas, ditambah air dari lapisan es yang mencair.
Kenaikan muka air laut itu tidak sama di semua tempat. Wilayah yang mengalami peningkatan muka air laut tercepat--sekitar 1 sentimeter per tahun--kata dia, adalah bagian Atlantik Utara, Pasifik sebelah barat, dan Samudra Selatan yang mengelilingi Antartika.
Hasil yang tak sesuai dengan perkiraan juga ditunjukkan biofuel. Hasil riset terbaru yang dipublikasikan sejumlah ilmuwan memperlihatkan bahwa upaya yang sering dipromosikan sebagai cara terbaik memangkas emisi gas karbon ini ternyata justru memacu pemanasan global lewat konversi hutan menjadi lahan perkebunan.
Meningkatnya permintaan bahan bakar berbasis biologi telah memicu pertumbuhan jumlah petani yang menanam jagung di Amerika Serikat. "Namun, itu berarti banyak ladang yang dialihkan dari kacang kedelai menjadi jagung," kata Michael Coe dari Woods Hole Research Center.
Meski begitu, ujarnya, permintaan kedelai sama sekali tidak mengalami penurunan sehingga negara-negara konsumennya, semisal Brasil, mengalami kekurangan pasokan yang biasanya diimpor dari Amerika. Sebagai gantinya, Brasil membuat lebih banyak ladang kedelai dengan membuka hutan tropis, yang banyak menyimpan karbon dioksida. Pembakaran hutan untuk membuka ladang melepas gas penyebab terjadinya efek rumah kaca itu ke udara. "Peningkatan emisi dari Brasil membuat penurunan emisi yang dilakukan Amerika sia-sia," ujar Coe.
Holly Gibbs dari Stanford University mengatakan, jika hutan tropis yang habis dibakar itu ditanami tanaman seperti tebu dan kelapa sawit, ekstra karbon yang dilepas bisa diimbangi dengan emisi rendah dari bahan bakar nabati yang dihasilkannya dalam 40 sampai 120 tahun. Tapi bila jagung dan singkong yang ditanam, perlu ratusan tahun untuk mencapai keseimbangan. "Jika kita menjalankan mobil dengan biofuel yang dihasilkan di daerah tropis, ini sama saja dengan membakar hutan tropis dalam tangki bensin kita," kata ilmuwan dari Woods Institute for the Environment di Stanford University itu.
Gibbs menyatakan jauh lebih bermanfaat bila tanaman tersebut ditanam di lahan rusak, seperti ladang yang produktivitasnya rendah karena salinitas tinggi, erosi tanah, atau miskin hara. "Kegiatan itu akan memperbaiki dan meningkatkan potensi lahan," ujarnya, "tapi dibutuhkan biaya untuk pemupukan dan perbaikan teknik bertani."
Dalam beberapa kasus, kata Gibbs, tindakan terbaik untuk mengurangi emisi karbon adalah menghijaukan lahan tandus menjadi hutan kembali.
TJANDRA DEWI | AP | AAAS