Kisah Dokter Klinik di Nigeria dan Awal Cacar Monyet Mewabah di Dunia
Reporter
Zacharias Wuragil
Editor
Zacharias Wuragil
Jumat, 5 Agustus 2022 13:42 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Lima tahun lalu, Dimie Ogoina dari Nigeria melihat apa yang mungkin menjadi pasien terpenting sepanjang karirnya sebagai seorang dokter spesialis penyakit menular. Seorang pasien dengan infeksi yang bisa jadi adalah awal dari wabah cacar monyet terbesar di dunia sepanjang sejarah.
Lima tahun lalu, tepatnya pada 22 September 2017, seorang anak laki-laki berusia 11 tahun datang ke klinik Ogoina di Universitas Delta Niger dengan ruam aneh pada kulit dan luka dalam mulutnya. "Dia memiliki lesi yang sangat luas sampai ke wajah dan seluruh tubuhnya," kata Ogoina mengisahkan.
Ruam terlihat sepintas seperti cacar air biasa. Tapi, masalahnya, kata Ogoina, "Anak itu sudah pernah kena cacar air sebelumnya." Jadi, dia menyimpulkan, itu bukan cacar air.
Melihat skala sebaran lesi--benjolan berisi cairan di bawah kulit--dan lokasinya, Ogoina saat itu sudah curiga apakah yang terjadi pada anak itu adalah penyakit sangat langka: cacar monyet? "Itu terpikirkan begitu saja," katanya.
Saat itu Nigeria tidak memiliki kemampuan untuk menguji virus penyebab penyakit zoonosis (yang ditularkan oleh hewan) itu. Jadi Ogoina dan kliniknya harus mengirim sampel ke Senegal dan bahkan Amerika Serikat untuk mendapatkan diagnosis. Mereka harus menunggu beberapa hari hingga hasilnya datang kembali dan benar bahwa anak tersebut terinfeksi cacar monyet.
"Dia adalah kasus pertama monkeypox di Nigeria dalam 38 tahun," kata Ogoina. Dan, beberapa bulan kemudian, dia dan para koleganya kedatangan lebih dari 20 kasus sejenis lainnya di klinik itu. Total, sepanjang 2017, Nigeria melaporkan sebanyak sekitar 200 kasus cacar monyet sebelum senyap mulai 2018--diduga karena pemantauan yang juga drop.
Ogoina termasuk yang tidak yakin cacar monyet sudah terkendali di negaranya. Alasannya adalah kasusnya yang sudah merebak di banyak wilayah di Nigeria dan infeksi virus menyebar lebih luas dan cepat di luar dugaannya.
Virus juga tidak menyerang anak-anak tapi lebih ke pria dewasa berusia 20-an dan 30-an tahun. "Pria muda, aktif, terinfeksi cacar monyet. Ini sangat tidak biasa saat itu."
Gejala pada para pria dewasa itu juga tidak cocok dengan profil pasien cacar monyet yang dikenal sebelumnya. Para pasien itu bukanlah mereka yang biasa berburu atau memelihara satwa tapi, jauh dari itu, adalah para pria kelas menengah yang hidup sibuk di tengah kota.
"Dan kenapa virusnya tak menyerang anak-anak? atau perempuan? atau lansia? Kenapa kita hanya melihatnya pada pria muda, usia 20-40 tahun?" kata Ogoina yang belakangan juga mendapati pasien bocah yang pernah ditanganinya ternyata tidak tertular virus dari satwa melainkan dari pria kerabatnya di rumah.
Adapun ruam pada pasien juga tidak biasa. Kalau biasanya cacar monyet tampak dari wajah dan bagian lipatan di tubuh, kali ini malah ada di wilayah genital. "Mereka memiliki lesi pada genital yang ekstensif, sangat ekstensif," kata Ogoina.
Baca halaman berikutnya: penularan cacar monyet tak pernah putus di Nigeria dan akhirnya tumpah ke dunia ....
<!--more-->
Saat ini para ilmuwan, termasuk Ogoina, mulai mempertimbangkan untuk meyakini kalau pasien bocah laki-laki lima tahun lalu itu bukan hanya pasien pertama untuk di Nigeria, tapi bisa jadi juga untuk di dunia. Dia menjadi kasus pertama yang diketahui dari wabah cacar monyet di dunia saat ini yang sudah menyebar di 78 negara.
Para ilmuwan mulai memahami di mana dan kapan wabah cacar monyet terbesar ini dimulai setelah melacak sampai ke kasus di Nigeria pada 2017 itu. Datanya menunjukkan kalau virus cacar monyet telah beredar di antara manusia secara kontinyu di Nigeria selama setidaknya lima tahun ke belakang, atau bahkan lebih. Penularan terjadi tanpa putus karena tidak ada program vaksinasi yang dijalankan di negeri itu.
Pada akhirnya, penularan itu tumpah ke dunia. Sejak Mei, dunia telah mendeteksi lebih dari 20 ribu kasus cacar monyet, termasuk lebih dari 4.000 yang dilaporkan di Amerika Serikat. Badan Kesehatan Dunia atau WHO pun telah menetapkan wabah penyakit ini sebagai darurat kesehatan publik per 23 Juli lalu, membuatnya setara polio dan Covid-19.
"Jelas sekali sudah ada transmisi endemik di Nigeria sejak 2017, mungkin lebih mundur lagi daripada 2017, sebelum kemudian ada kasusnya yang diekspor ke luar," kata peneliti biologi evolusioner dari Universitas Arizona, AS, Michael Worobey.
Worobey belum mempublikasikan hasil analisisnya ini namun menyatakan data yang ada tak terbantahkan.
NPR
Baca juga:
Satu Suspek Cacar Monyet di Jawa Tengah Masih Tunggu Hasil Tes Kedua
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu