Dosen ITB Menilai Kesalahan Data Sirekap Tak Wajar, Ini Analisisnya

Sabtu, 17 Februari 2024 23:03 WIB

Ketua Komisi Pemilihan Umum Hasyim Asy'ari dan Ketua Badan Pengawas Pemilihan Umum Rahmat Bagja berbisik di tengah konferensi pers merespons pertanyaan hasil penghitungan suara sementara KPU melalui Sirekap, di Media Center KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 15 Februari 2024. TEMPO/Ihsan Reliubun

TEMPO.CO, Bandung - Aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi atau Sirekap mendapat sorotan pasca-hari pemilihan di Pemilu 2024. Permasalahan dengan Sirekap mengemuka di antara hasil hitung cepat Pemilihan Presiden atau Pilpres yang memenangkan pasangan calon Prabowo-Gibran dengan keunggulan suara cukup telak dari dua paslon lainnya.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengakui ada perbedaan hasil antara penghitungan suara sementara dari Formulir C dengan yang ditampilkan Sirekap. Itu sudah terbukti setidaknya di 2.325 Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Temuan itu dinilai tak wajar oleh dosen di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung (STEI ITB), Kelompok Keahlian Sistem Kendali dan Sistem Komputer, Agung Harsoyo. “Mestinya ada filtering untuk mengecek apakah suara satu TPS lebih dari nilai tertentu,” kata dia menunjuk salah satu bentuk permasalahan yang ditemukan pada Sirekap, Jumat, 16 Februari 2024.

Agung menerangkan, ketika Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) mengirimkan gambar atau foto formulir C1 ke Sirekap, data dokumen itu diterjemahkan menjadi angka oleh perangkat Optical Character Recognition (OCR) dan Optical Mark Recognition (OMR). Proses itu, menurut Agung, seharusnya sekaligus menyaring.

"Misalnya jumlah suara tidak bakal bisa melebihi angka pemilih terdaftar dan pencoblos di suatu TPS. Mestinya itu sudah terdeteksi,” tuturnya. Agung menambahkan, saat data kiriman KPPS itu juga terkirim ke server pusat KPU, seharusnya pula ada bagian tertentu yang melakukan verifikasi data sebelum ditampilkan.

Advertising
Advertising

Petugas memeriksa data pengiriman dari lembar C-KWK saat uji coba Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) pemilihan serentak di SOR Volly Indoor Stadion Si Jalak Harupat, Kabupaten Bandung, Rabu, 9 September 2020. Uji coba aplikasi Sirekap tersebut dalam rangka mempersiapkan pemungutan, penghitungan suara, sampai dengan tahapan rekap guna memastikan kesiapan penggunaannya dalam penyelenggara Pilkada serentak 2020 di daerah. ANTARA/M Agung Rajasa

Agung menjelaskan, secara umum aplikasi Sirekap bisa dipasang oleh pengguna, kemudian ada back end aplikasi di KPU untuk rekapitulasi dan tabulasi. Jika terjadi kesalahan, kata Agung, masalahnya bisa merembet dari depan (front end) sampai ke belakang (back end).

“Jadi perlu dilakukan assessment end to end, dari sisi aplikasi yang di-instal di handphone, dari sisi server KPU, juga hosting di cloud yang diakses publik,” kata dia.

Baca halaman berikutnya: Ada hacker atau malah orang dalam?

<!--more-->

Agung menduga KPU menggunakan layanan hosting di tempat seperti Alibaba, Google, atau Amazon. Dugaan itu terkait dengan potensi server KPU yang bisa diakses oleh pengguna ponsel dan internet di Indonesia yang berjumlah 200 juta orang lebih dalam waktu bersamaan, serta warga global.

“Jadi sewa sekian hari atau sebulan supaya ketika beban yang mengakses besar sekali, server tidak down,” ujarnya yang menilai tak efisien secara pendanaan jika KPU membeli sendiri server dengan kapasitas besar untuk pemakaian beberapa hari.

Hacker atau Orang Dalam?

Penelusuran kesalahan data ribuan TPS itu, menurut Agung, perlu ditelusuri hingga ke cloud atau komputasi awan. Alasannya, cloud bisa menjadi pintu bagi hacker atau cracker masuk ke sistem.

Faktor lain bisa dari developer, kemudian di sisi back end ada bagian administrasi yang terbagi-bagi. “Biasanya database admin sendiri, kemudian admin aplikasi, dan admin jaringan sendiri,” kata dia.

Kebocoran di bagian back end ini, dijelaskan Agung, dimungkinkan secara ilmu keamanan data. Dia menyebut istilah back door di mana ada orang yang bisa masuk ke sistem informasi KPU kemudian melakukan pengubahan. Pelakunya bisa pihak luar seperti hacker atau orang dalam.

“Karena menurut penelitian CIA memang paling mudah kaitannya dari dalam. Tapi dari dalam ini pun perlu dijelaskan juga, bisa disengaja atau tidak,” kata dia.

Secara sepintas, pengubahan data itu belum bisa disimpulkan. Jika KPU melakukan evaluasi, kemudian mengumumkan apa yang sesungguhnya terjadi, upaya itu dinilainya sebagai upaya minimal yang baik.

“Tidak cukup minta maaf," katanya sambil menambahkan, "Berikutnya apa yang dilakukan, diperbaiki, dari sisi aplikasi front end dan back end apa yang diperbaiki?”

Pilihan Editor: Sampah Kampanye Pemilu di Jakarta Menunggu Dicacah di Gudang Seluas 2 Lapangan Futsal

Berita terkait

75 Tahun Hubungan Diplomatik, Kedutaan Besar Australia Roadshow ke ITB

2 jam lalu

75 Tahun Hubungan Diplomatik, Kedutaan Besar Australia Roadshow ke ITB

Dalam rangka memperingati 75 Tahun Hubungan Diplomatik, Kedutaan Besar Australia mengadakan acara acara "#AussieBanget University Roadshow" di ITB

Baca Selengkapnya

Mahfud Md: Pilpres 2024 Secara Hukum Sudah Selesai, tapi Secara Politik Belum

3 jam lalu

Mahfud Md: Pilpres 2024 Secara Hukum Sudah Selesai, tapi Secara Politik Belum

Mahfud Md mengatakan Pilpres 2024 secara hukum konstitusi sudah selesai, tapi secara politik belum karena masih banyak yang bisa dilakukan.

Baca Selengkapnya

Hakim MK Beri Catatan Soal Sirekap Menjelang Pilkada Serentak: Memang Tidak Bisa Digunakan

3 jam lalu

Hakim MK Beri Catatan Soal Sirekap Menjelang Pilkada Serentak: Memang Tidak Bisa Digunakan

Hakim MK kembali menyinggung soal Sirekap yang digunakan dalam Pemilu 2024.

Baca Selengkapnya

Cerita Gus Muhdlor Pindah Mendukung Prabowo Setelah OTT KPK

4 jam lalu

Cerita Gus Muhdlor Pindah Mendukung Prabowo Setelah OTT KPK

Momentum pindah dukungan Gus Muhdlor saat pilpres ditengarai dipengarui kasus korupsi yang menjeratnya.

Baca Selengkapnya

Mahfud Md: Pola Kecurangan Pemilu Sudah Berubah, Kini Kembali Melibatkan Negara

7 jam lalu

Mahfud Md: Pola Kecurangan Pemilu Sudah Berubah, Kini Kembali Melibatkan Negara

Mahfud Md menyebut curangan pemilu saat ini bentuknya mirip dengan pemilu yang belangsung era Orde Baru, karena pemenang telah ditentukan.

Baca Selengkapnya

Kata Pakar Soal Kaitan Keputusan Ganjar Jadi Oposisi dengan Sikap PDIP

7 jam lalu

Kata Pakar Soal Kaitan Keputusan Ganjar Jadi Oposisi dengan Sikap PDIP

Pakar menilai sikap oposisi Ganjar akan bermakna bila PDIP juga mengambil jalan yang sama.

Baca Selengkapnya

Ramai-ramai Ingatkan Prabowo soal Ini Jika Ingin Tambah Kementerian

11 jam lalu

Ramai-ramai Ingatkan Prabowo soal Ini Jika Ingin Tambah Kementerian

Rencana Prabowo menambah jumlah kementerian dari 34 menjadi 40 menuai respons dari sejumlah kalangan. Mereka ingatkan Prabowo soal ini.

Baca Selengkapnya

Biaya Kuliah ITB 2024/2025 Jalur SNBP, SNBT, dan Seleksi Mandiri

12 jam lalu

Biaya Kuliah ITB 2024/2025 Jalur SNBP, SNBT, dan Seleksi Mandiri

Biaya UKT dan IPI yang diusulkan ITB 2024 jalur SNBP, SNBT, SM-ITB, dan IUP

Baca Selengkapnya

Pro-Kontra Soal Penambahan Nomenklatur Kementerian di Pemerintahan Prabowo

14 jam lalu

Pro-Kontra Soal Penambahan Nomenklatur Kementerian di Pemerintahan Prabowo

ICW khawatir wacana penambahan nomenklatur kementerian membuat kabinet Prabowo menjadi sangat gemuk.

Baca Selengkapnya

Kata Pakar Hukum Soal Penambahan Nomenklatur Kementerian di Pemerintahan Prabowo

22 jam lalu

Kata Pakar Hukum Soal Penambahan Nomenklatur Kementerian di Pemerintahan Prabowo

Presiden terpilih Prabowo Subianto dapat menambah nomenklatur kementerian dengan amendemen UU Kementerian Negara.

Baca Selengkapnya