Penanggalan Karbon dan Kontroversi Situs Gunung Padang

Reporter

Editor

Erwin Prima

Jumat, 22 Maret 2024 11:23 WIB

Wisatawan mengunjungi teras bawah situs megalitik Gunung Padang, Desa Karyamukti, Cianjur, 17 September 2014. Saat ini, wisatawan hanya diperkenankan mengunjungi teras punden berundak paling bawah. TEMPO/Prima Mulia

TEMPO.CO, Jakarta - Jurnal online Archaeological Prospect di Wiley Online Library mencabut publikasi artikel ilmiah hasil penelitian situs megalitik Gunung Padang di Cianjur. Pengumuman pencabutan disampaikan pada 18 Maret 2024. Penerbit menyebut laporan yang dibuat Danny Hilman dkk mengandung kekeliruan besar (major error). Eror itu diakui tak teridentifikasi saat peer review atau kajian oleh ilmuwan lain yang tak terlibat penelitian.

Kesalahan yang dimaksud adalah bahwa teknik penanggalan karbon yang digunakan kepada sampel tanah yang tidak terkait dengan fitur atau artefak apapun yang dapat secara meyakinkan diinterpretasi sebagai antropogenik, atau buatan manusia. "Karenanya, interpretasi bahwa situs ini adalah sebuah piramida purba yang dibangun 9.000 tahun yang lalu atau lebih tidak benar, dan artikel harus dicabut," bunyi hasil investigasi tersebut.

Penanggalan radiokarbon (juga dikenal sebagai penanggalan karbon atau penanggalan karbon-14) adalah metode untuk menentukan usia suatu objek yang mengandung materi organik dengan memanfaatkan sifat radiokarbon, yaitu isotop radioaktif dari karbon. Metode ini dikembangkan pada akhir tahun 1940-an oleh Willard Libby, yang kemudian menerima Hadiah Nobel dalam Kimia pada tahun 1960 berkat karyanya ini.

Dalam laporan Majalah Tempo, 28 Januari 2024 disebutkan ada empat poin yang dipersoalkan para ahli yang dipakai Wiley. Pertama, para ahli mengkategorikan pengamatan visual sebagai imajinasi dan dugaan. Kedua, mereka menganggap tim peneliti menyalahgunakan penanggalan radiokarbon. Ketiga, sampel tanah tidak mengandung artefak terkait sehingga penanggalan hanya menentukan umur bahan alami pembentuk tanah. Keempat, penanggalan disangsikan akurasinya karena dinilai sulit untuk ditentukan.

Ketua tim arkeologi Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM) yang meneliti situs Megalitikum Gunung Padang selama Oktober 2011-2014, Ali Akbar, mengaku kecewa karena tidak ada riset pembanding dari lokasi. Untuk membantah makalah timnya, ujarnya, peneliti lain harus masuk ke kedalaman penggalian yang sama. Ali mengaku tim telah menggali sedalam 4-11 meter. “Yang jadi kontroversi itu kedalaman 6-11 meter. Belum ada tim lain yang melakukan itu,” ujarnya dalama laporan Majalah Tempo.

Advertising
Advertising

Dalam buku berjudul Situs Gunung Padang: Misteri dan Arkeologi yang ditulis Ali Akbar dan terbit pada 2013, Ali menuliskan bahwa Lapisan 1 dan 2 (1-3 meter) yang ada sejak 5.700 tahun sebelum Masehi. Lapisan 3 (5-30 meter) yang bertarikh sekitar 14 ribu tahun.

Peneliti dari Pusat Riset Arkeologi Prasejarah dan Sejarah BRIN, Lutfi Yondri, 58 tahun, arkeolog yang juga meneliti situs Gunung Padang sejak 1997 tapi tidak masuk TTRM, menyebut data verifikasi yang disampaikan TTRM, tidak mendukung makalah yang luar biasa itu. “Tak ada satu pun jejak atau bukti budaya bahwa mereka telah mengenal teknologi batu untuk menghasilkan konstruksi yang besar,” ujarnya kepada Majalah Tempo.

Lutfi juga melakukan penggalian pada Teras-1 sampai Teras-4 untuk pembuktian. “Saya menemukan sisa arang yang kemudian saya jadikan sampel untuk analisis penanggalan budaya punden berundak Gunung Padang,” ucap Lutfi. Arang itu, Lutfi menambahkan, berasal dari kayu yang terbakar pada masa lalu. Lokasi penemuannya di bawah susunan dinding teras. Selain itu, ditemukan pula pecahan tembikar.

Menurut dia, berdasarkan analisis penanggalan karbon di laboratorium Badan Tenaga Atom Nasional, arang temuan di Teras-1 itu berangka 117 tahun sebelum Masehi dan di Teras-4 berangka 45 tahun sebelum Masehi. “Arang itu satu konteks, satu keletakan, satu asosiasi, dan satu struktur teras atau susunan batu.”

Terkait konstruksi baru, Lutfi menduga batu berasal dari lokasi situs itu sendiri. budaya konstruksi batu di Nusantara, menurutnya, dibawa oleh masyarakat Austronesia. Angka penanggalan budaya dari situs-situs konstruksi batu ini kurang dari 500 tahun sebelum Masehi.

Sementara Ali mengatakan di Lapisan 2 situs itu ditemukan kerak logam sisa pembakaran di Teras 2 pada sisi timur. Arang itu, berdasarkan hasil pemeriksaan di laboratorium diketahui berangka 5.700 tahun sebelum Masehi.

Adapun temuan batu berbentuk bulat di kedalaman 10 meter, menurut Ali tergolong artefak, karena ada campur tangan manusia pada benda alami yang dipindahkan tersebut. Hal ini dikuatkan oleh Andri S. Subandriyo, Dosen teknik geologi Institut Teknologi Bandung, yang juga anggota TTRM.

Menurut Andri, batu kekar kolom itu biasa terdapat pada kompleks gunung api purba. Batuan seperti itu pernah ia temukan di selatan Pulau Pantar, Nusa Tenggara Timur; Sindangkerta dan Lagadar di Cimahi, Jawa Barat; serta Cipatujah, Tasikmalaya, Jawa Barat. Sementara itu, di Gunung Padang, dia melihat batuan kekar kolom yang unik. “Perbedaannya, batu kekar kolomnya kemungkinan besar telah ditambang, dipindahkan, kemudian disusun oleh manusia purba,” ucapnya kepada Majalah Tempo.

Pilihan Editor: Produksi Minyak Makan Merah, Indonesia Disebut Tertinggal 20 Tahun dari Malaysia

Berita terkait

Kenapa Orang Suka Aroma Bayi? Ini Penjelasan Ilmiahnya

7 hari lalu

Kenapa Orang Suka Aroma Bayi? Ini Penjelasan Ilmiahnya

Cairan amnion dan substansi seperti verniks caseosa berperan dalam menciptakan aroma bayi yang khas.

Baca Selengkapnya

Kelebihan Punya Tinggi Badan Menjulang Menurut Penelitian

12 hari lalu

Kelebihan Punya Tinggi Badan Menjulang Menurut Penelitian

Selain penampilan, orang tinggi diklaim punya kelebihan pada kesehatan dan gaya hidup. Berikut keuntungan memiliki tinggi badan di atas rata-rata.

Baca Selengkapnya

Selain Tikus, Inilah 4 Hewan yang Kerap Dijadikan Percobaan Penelitian

13 hari lalu

Selain Tikus, Inilah 4 Hewan yang Kerap Dijadikan Percobaan Penelitian

Berikut beberapa hewan yang kerap dijadikan hewan percobaan dalam penelitian:

Baca Selengkapnya

Benarkah IKN Bebas dari Sesar Gempa Aktif? Penelitinya Harapkan Riset Lanjutan

14 hari lalu

Benarkah IKN Bebas dari Sesar Gempa Aktif? Penelitinya Harapkan Riset Lanjutan

Peneliti sesar gempa aktif di IKN berharap bisa kembali dan lakukan riset lanjutan. Data BMKG juga sebut potensi yang berbeda.

Baca Selengkapnya

Jurnal Internasional IJTech Milik FTUI Kembali ke Posisi Q1

16 hari lalu

Jurnal Internasional IJTech Milik FTUI Kembali ke Posisi Q1

IJTech milik FTUI kembali menjadi jurnal terindeks kuartil tertinggi (Q1) berdasarkan pemeringkatan SJR yang dirilis pada April 2024

Baca Selengkapnya

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

17 hari lalu

Tak Wajib Publikasi di Jurnal Scopus, Berapa Jurnal Ilmiah yang Harus Dicapai Dosen untuk Angka Kredit?

Penulisan jurnal ilmiah bagi dosen akan membantu menyumbang angka kredit dosen, meskipun tak wajib publikasi di jurnal Scopus.

Baca Selengkapnya

Demi Lobster Kawan Vietnam

17 hari lalu

Demi Lobster Kawan Vietnam

Pemerintah membuka kembali keran ekspor lobster dengan syarat para pengusaha membudidayakannya di sini atau di Vietnam-tujuan utama ekspor lobster.

Baca Selengkapnya

Begini Cara Menulis Artikel Ilmiah di Jurnal Terindeks Scopus

21 hari lalu

Begini Cara Menulis Artikel Ilmiah di Jurnal Terindeks Scopus

Jurnal terindeks Scopus menjadi salah satu tujuan para peneliti di Indonesia untuk mempublikasikan artikel ilmiah atau penelitiannya, bagaimana cara menulis artikel ilmiah yang terindeks scopus?

Baca Selengkapnya

Dekan Unas Dituduh Catut Nama Dosen UMT di Jurnal, Pahami Perbedaan Jurnal SINTA dan Jurnal Scopus

23 hari lalu

Dekan Unas Dituduh Catut Nama Dosen UMT di Jurnal, Pahami Perbedaan Jurnal SINTA dan Jurnal Scopus

Meskipun jurnal SINTA dan Scopus memiliki peran yang penting dalam mendukung penelitian ilmiah, keduanya memiliki perbedaan yang signifikan.

Baca Selengkapnya

Top 3 Tekno: Cara Instal HyperOS, Cuaca BMKG, dan Jurnal Indeks Scopus

23 hari lalu

Top 3 Tekno: Cara Instal HyperOS, Cuaca BMKG, dan Jurnal Indeks Scopus

Top 3 Tekno Berita Terkini pada Selasa pagi ini, 16 April 2024, dipuncaki berita informasi 3 cara instal HyperOS di perangkat Xiaomi, Redmi, dan Poco.

Baca Selengkapnya