Menabrak Bulan untuk Mencari Air

Reporter

Editor

Selasa, 13 Oktober 2009 19:00 WIB

TEMPO Interaktif, Mountain View - Setelah menjelajahi antariksa selama 3 bulan 21 hari untuk membakar habis bahan bakar dan melakukan putaran terakhir, dua wahana antariksa milik badan antariksa Amerika Serikat (NASA) akhirnya menemui ajalnya di sebuah kawah bulan, Jumat lalu. Roket pendorong Atlas V Centaur dan satelit LCROSS (Lunar Crater Observation and Sensing Satellite) itu sengaja ditabrakkan ke Cabeus, kawah di kutub selatan bulan.

Sebuah roket seberat dua ton yang telah kosong ditabrakkan ke kawah yang selalu diliputi kegelapan itu pada 11.31 GMT. Kematian wahana pencari air itu tidak sia-sia. Sebuah awan debu raksasa setinggi 5 kilometer dari permukaan bulan tercipta dari tumbukan hebat itu.

Tumbukan itu sengaja dilakukan untuk menghasilkan awan kabut dan debu yang tercipta dari lapisan es di kawah tersebut. Wahana kedua, LCROSS, yang terbang menembus awan itu dan menabrak titik yang sama tepat empat menit setelah Centaur menabrak Cabeus. Ketika melintasi awan pecahan es dan debu bulan itu, instrumen LCROSS--spektrometer inframerah, spektrometer cahaya, kamera inframerah, kamera video, dan radiometer--mengumpulkan dan mengirimkan data yang diterima teleskop, baik di antariksa maupun di bumi. Data itulah yang dapat menunjukkan apakah ada es di kawah bulan tersebut.

Meski LCROSS berhasil mengirimkan data dari awan debu hasil tumbukan hebat itu, para ilmuwan belum bisa memastikan apakah misi yang dirintis sejak April 2006 ini sukses mencapai target. NASA menyatakan perlu sedikitnya dua bulan untuk menyimpulkan apa yang ditemukan oleh satelit pencitraan dan observasi kawah bulan itu ketika menabrak bulan. Mereka berharap bisa menemukan air yang cukup banyak untuk mendukung rencana NASA kembali mengeksplorasi bulan.

Instrumen inframerah pada satelit itu menunjukkan adanya pancaran panas yang mengindikasikan kawah selebar sekitar 18-20 meter. Data spektroskopis yang dikirimkan LCROSS akan memperlihatkan unsur apa yang terdapat dalam kawah dan bagaimana unsur itu berubah karena panas tumbukan pertama. "Ketika LCROSS terbang menembusnya, kawah itu masih berkilau panas, yang berarti es, kolam air, atau unsur apa pun itu, unsur itu berubah menjadi gas," kata Tony Colaprete, penyelidik utama misi itu. "Kami memperoleh data yang kami butuhkan."

Tetapi transmisi video dari LCROSS tidak berhasil memperlihatkan ledakan pecahan es dan debu bulan. "Kami tidak melihat semburan besar seperti yang diinginkan," kata Michael Bicay, direktur sains di Ames Research Center, NASA. Para ilmuwan belum tahu apakah semburan itu tidak terjadi atau terlalu kecil dan tersembunyi sehingga tak terlihat dalam video ketika Centaur menabrak bulan.

Tinjauan data awal dari Hubble Space Telescope pun mengindikasikan tak ada tanda air dalam serpihan yang terlontar akibat tumbukan itu, kata NASA, Jumat malam lalu. Tetapi para ilmuwan menambahkan bahwa studi lebih lanjut diperlukan untuk memastikannya.

NASA amat berharap program senilai US$ 79 juta itu dapat membantu mengubah pandangan manusia tentang bulan. Penemuan tanda terbaru adanya air di bulan telah menghancurkan gagasan bahwa bulan tak bisa ditinggali manusia. Bukti adanya es akan membuka peluang baru bagi perjalanan ke antariksa, termasuk rencana NASA untuk kembali ke bulan dan membangun pangkalan di bulan akan lebih murah karena dapat memanfaatkan air bulan. "Air adalah energi penting," kata ilmuwan Victoria Friedensen. "Air dapat digunakan untuk membuat bahan bakar."

Tiga studi yang dirilis September lalu menemukan bukti adanya air di bulan, tapi jumlah air yang terikat dengan debu itu amat minim. "Tidak cukup untuk digunakan secara ekonomis," kata Direktur Lunar Science Institute NASA David Morrison.

Akhir September lalu, analisis terhadap data yang dihimpun Moon Mineralogy Mapper, alat pengindraan jauh yang dititipkan NASA di satelit Chandrayaan-1 milik badan antariksa India, dipublikasikan. Studi itu mengungkap keberadaan air di bulan, tapi bentuknya bukan air seperti yang kita temui di bumi, melainkan berupa molekul-molekul air dan hidroksil (OH), yang berinteraksi dengan debu dan batuan bulan. Itu berarti air di bulan hanya terdiri atas satu atom hidrogen dan satu atom oksigen, bukan dua atom hidrogen dan satu atom oksigen (H2O) yang biasa ditemukan dalam air.

Jurnal Science juga memuat hasil penelitian serupa dari dua satelit bulan, Deep Impact dan Cassini. "Itu bukan air liquid, bukan pula air beku dan bukan air dalam bentuk gas. Air bulan bukan salah satu di antaranya," kata Jessica Sunshine dari University of Maryland-College Park.

Memompa atau menyedot air seperti yang biasa dilakukan di bumi pun tak bisa dilakukan untuk memperoleh air bulan. Meski dikatakan 1 meter kubik tanah disebut-sebut bisa diperas untuk menghasilkan 1 liter air, prosesnya tidak gampang.

Itulah sebabnya, NASA masih menaruh harapan pada lapisan air dalam bentuk es yang diduga tersembunyi dalam kawah Cabeus dekat kutub selatan bulan, jauh dari pancaran cahaya matahari. Diperkirakan konsentrasi es dalam tanah yang dapat digunakan sebagai sumber air mencapai 2-3 persen. "Sebuah tempat di mana sinar matahari tak pernah singgah selama miliaran tahun," kata Morrison.

l TJANDRA DEWI | AP | REUTERS




Berita terkait

Ulasan Profesor Astronomi BRIN soal Posisi Hilal dan Lebaran 10 April 2024

24 hari lalu

Ulasan Profesor Astronomi BRIN soal Posisi Hilal dan Lebaran 10 April 2024

Awal Syawal atau hari Lebaran 2024 diperkirakan akan seragam pada Rabu, 10 April 2024. Berikut ini penjelasan astronom BRIN soal posisi hilal terkini.

Baca Selengkapnya

Tak Segampang Itu Mengamati Komet Setan, Terlalu Singkat dan Berpotensi Terhalang Awan

30 hari lalu

Tak Segampang Itu Mengamati Komet Setan, Terlalu Singkat dan Berpotensi Terhalang Awan

Kondisi cuaca, polusi cahaya, dan sempitnya durasi bisa menghambat pengamatan Komet Setan.

Baca Selengkapnya

Fenomena Langka di Langit April 2024, Hujan Meteor Hingga Komet Setan

30 hari lalu

Fenomena Langka di Langit April 2024, Hujan Meteor Hingga Komet Setan

Sejumlah fenomena astronomi langka bakal terjadi sepanjang April 2024. Ada hujan meteor, gerhana matahari total, sampai okultasi bintang Antares.

Baca Selengkapnya

Kemunculan Komet Setan, Perlukah Kita Khawatir?

31 hari lalu

Kemunculan Komet Setan, Perlukah Kita Khawatir?

Komet 12P/Pons-Brooks alias komet setan menuju titik terdekatnya dengan matahari dan bumi. Pakar astronomi membantah isu tanda kiamat.

Baca Selengkapnya

Pilih 5 Program Studi Perguruan Tinggi Bagi yang Ingin Berkarier di BMKG

2 Februari 2024

Pilih 5 Program Studi Perguruan Tinggi Bagi yang Ingin Berkarier di BMKG

Ingin bekerja di Badan Meterologi, Klimatologi, dan Geofisika? Berikut 5 program studi di perguruan tinggi yang dibutuhkan BMKG.

Baca Selengkapnya

Fenomena Astronomi 2024, 5 Gerhana Bulan dan Matahari Tidak Melintasi Indonesia

6 Januari 2024

Fenomena Astronomi 2024, 5 Gerhana Bulan dan Matahari Tidak Melintasi Indonesia

Ada lima gerhana bulan dan matahari yang akan terjadi pada tahun 2024.

Baca Selengkapnya

Fenomena Astronomi Desember, Hujan Meteor Geminid Sampai Malam Natal

5 Desember 2023

Fenomena Astronomi Desember, Hujan Meteor Geminid Sampai Malam Natal

Beberapa fenomena astronomi mewarnai langit malam Desember 2023.

Baca Selengkapnya

Fenomena Langit Oktober Diwarnai Gerhana Bulan dan Tiga Hujan Meteor

4 Oktober 2023

Fenomena Langit Oktober Diwarnai Gerhana Bulan dan Tiga Hujan Meteor

Gerhana bulan akan terjadi pada Ahad dini hari, 29 Oktober 2023.

Baca Selengkapnya

Jakarta Raih 4 Medali Bidang Astronomi di OSN, Ini Kata Pelatih dari Planetarium Jakarta

6 September 2023

Jakarta Raih 4 Medali Bidang Astronomi di OSN, Ini Kata Pelatih dari Planetarium Jakarta

DKI Jakarta meraih juara umum pada Olimpiade Sains Nasional atau OSN 2023 dengan total 71 medali.

Baca Selengkapnya

Dzaky Rafiansyah Raih Dua Perak Olimpiade Astronomi Berturutan, Ini Rahasianya

4 September 2023

Dzaky Rafiansyah Raih Dua Perak Olimpiade Astronomi Berturutan, Ini Rahasianya

Dzaky mengaku menyukai astronomi sejak kelas 3 SMP.

Baca Selengkapnya