“Indonesia sebagai emitter ke-3 terbesar di dunia? Saya kok tidak setuju,” kata Sri Woro. Menurutnya, status itu hanya berdasarkan hitung-hitungan emisi pada 1997—satu tahun saja--saat terjadi kebakaran hutan besar di Indonesia. “Kalau mau dihitung, nilai absorpsi oleh laut dan hutan yang ada cukup signifikan,” ungkapnya.
Berdasarkan hitung-hitungan yang lebih riil, emisi dikurangi absorpsi, itulah Sri Woro menunjuk Amerika Serikat, Cina, dan India bisa mendapatkan nilai emisi negatif. Padahal ketiga negara memiliki sektor industri penyumbang emisi C02 yang jauh lebih besar daripada Indonesia.
“Emisi riil di Indonesia belum dihitung,” tegas Sri Woro sambil menambahkan, “Tapi yang jelas data dari Stasiun Pengamatan Atmosfer Global yang ada di Bukit Kototabang, Sumatera Barat, saja selalu menunjukkan nilai konsentrasi C02 yang selalu lebih rendah daripada di Mauna Loa di Hawaii, Amerika Serikat, maupun nilai untuk rata-rata dunia.”
Sri Woro mengatakan isu emisi dan absorpsi ini pula yang akan dibawa delegasinya ke dalam sesi sidang Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) ke-31 yang akan dilaksanakan di Nusa Dua, Bali, 26-29 Oktober nanti. “Ya, kami memang akan mengusulkan agar negara berkembang diberi bantuan dan kapasitas dalam menghitung absorpsi dari tata guna lahan dan lautan,” jelas Edvin Aldrian, Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara di BMKG.
(WURAGIL)