Tak seperti umumnya, rancangan bangunannya jauh lebih tinggi. Tinggi tiang penyangganya sekitar 8 meter, jarak penyangga dan atapnya 2 meter. Total, tinggi rancangan bangunan rumah itu 10 meter.
Atap rumah yang dibangun sejak lima tahun lalu itu pun tak biasa. Bukan dari genting, asbes, ataupun rumbia, atapnya dari lapisan seng dan kaca. Sebuah bak kaca berukuran segitiga ditempatkan di ujung atapnya.
Kalau rancangan atap rumah milik Suminto (almarhum) tampak aneh, itu karena fungsinya sebagai pengumpul (kolektor) panas matahari. Meski rumah itu belum rampung, atap tersebut sudah bisa memberi manfaat. "Sebagai penyuling air," kata Bambang, anak Suminto, yang meneruskan keinginan ayahnya.
Caranya, memasang pipa berukuran tiga perempat dim di antara kaca dan seng. Pipa-pipa itu dicat hitam dan dipasang berderet hingga memenuhi atap. Selanjutnya air dialirkan di dalam pipa. Akibat panas di atas atap, air berubah menjadi uap.
Dalam sebuah bak kaca berbentuk segitiga di atas atap, uap air ditampung. Dalam bak itu, uap air mengembun dan kembali berubah menjadi air. Melalui pipa-pipa yang berukuran lebih besar, air embun ini dialirkan ke galon penampungan. Cara ini menghasilkan enam galon air suling per hari. Masing-masing galon berkapasitas 19 liter. Airnya bersih, bening, tak berbau. "Bisa langsung diminum," kata Bambang.
Kelak, jika rampung, kata Bambang, selain berfungsi sebagai tempat tinggal, rumah itu akan memberi energi tenaga surya untuk aneka kegiatan rumah tangga. Mengeringkan hasil pertanian, pemanas air, dan menyuling air bersih tak perlu bantuan listrik.
Meski manfaat atap aneh itu bejibun, bagian-bagian rumah tidak "terganggu". Rumah keluarga Suminto didesain dengan model tradisional joglo atau rumah tradisional Jawa. Rumah dengan langit-langit tinggi itu bakal terdiri atas ruang tamu, dapur, kamar mandi, dan dua kamar tidur. Tak ada niat menjadikannya dua lantai agar "kesan (di dalam) rumah lebih luas".
Penghuni rumah juga tak khawatir kegerahan meski atap terbuat dari seng. Sebuah gabus yang berfungsi sebagai isolator direkatkan di bawah seng. Gabus ini berguna sebagai penghambat panas matahari dan menjaga hawa di dalam rumah tetap adem.
Rumah-rumah yang memanfaatkan tenaga matahari ini telah biasa di kawasan pedesaan Bavaria, Jerman. Di sana, rumah-rumah didesain rapi dan memanfaatkan panel untuk atap. Jika matahari bersinar terang, atap-atap panel terlihat lebih bersinar. Panel penangkap cahaya matahari itu juga dipasang di kisi-kisi dinding dengan sudut kemiringan tertentu, seperti tritisan. Panel dalam ukuran lebih kecil dan memanjang dipasang pada kisi dinding, mirip ventilasi.
Tak hanya untuk rumah, sebagian gedung The Fraunhofer Institute Solar Energy Systems ISE di Freiburg, Jerman, juga menggunakan panel di atap bangunan dan di kisi-kisi dinding. Dari atap itu, energi surya ditampung untuk menerangi dan menyalakan peralatan listrik melalui saluran di dinding.
Budi Pradono, arsitek dari Budi Pradono Architects, mengatakan panel photovoltaic bisa digunakan sebagai elemen bangunan. Tak hanya untuk atap, tapi, "Bisa pula untuk elemen jendela atau pintu."
Tanpa merusak estetika, panel bisa didesain dengan baik. Sebagai elemen atap, misalnya, panel bisa diatur dengan berbagai gaya. Apalagi Indonesia diuntungkan oleh posisi yang berada di garis khatulistiwa sehingga mempunyai waktu lama terkena sinar matahari. Berbeda dengan di Jerman, yang waktu kena sinar mataharinya terbatas. Sehingga panel harus memiliki sensor untuk mengikuti arah datangnya sinar.
Di Indonesia, kata Budi, ada beberapa bangunan yang sudah menggunakan panel surya untuk mengubah energi matahari menjadi listrik. Bangunan itu antara lain gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), gedung Direktorat Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Sekolah Internasional Jerman di Bumi Serpong Damai, rumah dinas kepala BPPT di Pondok Indah, dan beberapa rumah di Perumahan Alam Sutera Serpong. Namun, panel surya belum menjadi elemen bangunan. Panel hanya diletakkan di atas dak atau atap.
Budi mengakui harga panel masih terbilang mahal. Barangnya masih harus diimpor. Kepala BPPT Marzan Marzan Aziz Iskandar mengatakan, untuk mendapatkan energi listrik 10 kilowatt di rumah dinasnya, biaya yang dibutuhkan untuk instalasi modul surya hampir Rp 800 juta. Saat listrik dari PLN mati, Marzan masih bisa menggunakan listrik, tapi tidak dalam waktu yang lama. "Kurang-lebih hanya setengah jam," kata Marzan pada Kamis lalu.
ANANG ZAKARIA | DIAN YULIASTUTI | ERWIN DARIYANTO