Jalan Panjang Biodiesel dari Ganggang

Reporter

Editor

Senin, 26 April 2010 11:18 WIB

greendiary

TEMPO Interaktif,Ohio – Ganggang atau Alga sudah dilirik sebagai bahan bakar diesel sejak lama. Namun, mahalnya biaya pengolahan masih menjadi kendala.

Setidaknya sudah ada 75 pengembang global sedang mempelajari ganggang, yang memiliki potensi untuk menghasilkan energi lebih banyak per hektare dibandingkan tanaman lain yang digunakan untuk membuat bahan bakar.

Teknologi ini telah menarik Departemen Pertambangan dan Energi Amerika Serikat, termasuk ExxonMobil, yang berencana menghabiskan sebanyak US$ 600 juta untuk penelitian selama lima tahun.

Jepang meninggalkan proyek ini setelah menelan biaya US$ 132 juta di tahun 1990-an, ketika harga minyak turun dibawah US$ 10 per barel. Sekarang perusahaan termasuk Toyota Motor dan Idemitsu Kosan mulai bergabung dalam studi mikroorganisme yang dapat mengubah air limbah menjadi minyak, karbon dioksida dari udara dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Advertising
Advertising

Mikroalga diketahui menggunakan sinar matahari, air dan karbon dioksida untuk menghasilkan oksigen dan biofuel melalui fotosintesis. Tanaman, yang tampak tumbuh di permukaan air, dapat dibudidayakan pada lahan marjinal di kolam terbuka atau di mesin-mesin khusus yang disebut inkubasi photobioreactors, yang menggunakan emisi karbon dioksida dari industri makanan.

Ganggang lebih produktif daripada tanaman lain karena mereka terus membuat bahan bakar terlepas dari cuacanya. Semua kebutuhan bahan bakar transportasi Amerika Serikat secara teori bisa dipenuhi oleh ganggang yang dibudidayakan di suatu daerah seukuran nagara Belgia. Tanaman ini merupakan salah satu "generasi kedua" dari biofuel, yang dirancang untuk mengatasi kekurangan bahan bakar dari biji-bijian.

Kendala muncul, ketika kerusuhan yang pecah di berbagai kota di dunia dari Kairo sampai Jakarta pada tahun 2008, telah membuat harga pangan melonjak. Ini menimbulkan persepsi yang berkembang luas bahwa subsidi Amerika yang mendorong petani untuk menanam tanaman alga untuk membuat etanol ironis dengan kondisi rakyat miskin yang kelaparan miskin di dunia.

Para peneliti sekarang mengejar limbah pertanian, jamur dan sumber-sumber bahan bakar lain yang tidak bersaing dengan tanaman pangan. Alga Botryococcus sedang dipelajari oleh Universitas Tsukuba yang diklaim menghasilkan bahan bakar yang hampir identik dengan diesel, kata Profesor Matsuko Watanabe, yang memimpin proyek tersebut.

Watanabe mengatakan, ia telah menargetkan produksi sebesar 1.000 ton metrik per hektare per tahun dalam percobaan laboratorium. Dia akan mencoba untuk mereproduksi hasilnya pada sebuah proyek US$ 16 juta sebagai pilot project terbuka di kampus Tsukuba di Prefektur Ibaraki, dekat Tokyo, mulai bulan September.

Bayangkan saja kalau ini sukses, maka akan mampu mengembangkan bahan bakar alternatif yang relatif murah sekaligus membuat ratusan atau ribuan pekerjaan baru.

Ross Youngs, CEO produsen plastik dari Univenture Inc, disebut-sebut telah membuat kelompok bersama-sama untuk berbicara mengenai perusahaannya yang akan produksi biofuel dari alga. "Saya selalu mencari peluang untuk terlibat dalam pertumbuhan industri," kata Youngs. "Saya benar-benar percaya kami pada titik puncak dari sebuah industri baru yang besar."

Biofuel adalah hal baru. Etanol, misalnya, adalah biofuel berbasis jagung yang mendapat banyak kritik. Amerika berpendapat etanol tidak layak secara jangka panjang karena bersaing dengan persediaan makanan dan membutuhkan tanah subur dan air tawar.

Sementara minyak biodiesel berbasis alga, tidak memerlukan air tawar untuk tumbuh. Hal ini dapat ditanam di lahan yang tidak subur seperti wilayah di Brownfield dan tidak bersaing dengan tanaman pangan.

Departemen Energi Amerika mulai mempelajari alga sebagai alternatif energi pada tahun 1978. Kemudian meninggalkan usaha ini pada tahun 1996, kata Ben Stuart, profesor teknik sipil di Ohio University, bukan karena tidak bekerja tetapi karena harga minyak alga menghabiskan biaya antara US$ 1,40 dan US$ 4,40 per galon, jauh lebih tinggi daripada bensin pada saat itu . Dengan harga jual gas selama hampir US$ 4 per galon, alga mulai tampak baik lagi.

Universitas Ohio bukan hanya institusi di negara itu yang mempelajari ganggang. NASA Glenn Research Center di Cleveland, ilmuwan Mark McDowell memimpin penelitian minyak alga untuk digunakan sebagai bahan bakar pesawat jet militer. McDowell berharap untuk membuktikan bahwa bagian dari gurun Arizona dengan pengolahan air asin bisa menjadi rumah yang layak untuk budidaya alga. "Kami menggunakan tanah dan air yang manusia tidak menggunakan," katanya.

Manfaat lain dari budidaya alga termasuk potensi keuntungan dari penjualan kredit karbon di pasar-trading. Setelah minyak dipanen, produk limbah juga bisa dijual sebagai pupuk, kata Bob Falco, pensiunan profesor teknik penerbangan di Michigan State University yang menulis buku berjudul "Alternative Energy and Our Green Future.” "Sebuah pembiakan alga benar-benar harus dianggap sebagai sebuah peternakan pupuk dengan potensi minyak," katanya.

Pada tahun 1996, Amerika Serikat juga menghentikan pendanaan penelitian ganggang, setelah ditemukan bahwa bahan bakar ganggang terlalu mahal untuk komersial. Hal serupa dialami proyek yang didanai pemerintah selama 10 tahun di Jepang. Setelah melibatkan 14 perusahaan, termasuk Idemitsu, proyek yang sama ditinggalkan pada tahun 2000 setelah mencapai kesimpulan yang sama.

BIODIESELNOW|
NUR HARYANTO

Berita terkait

Bos Pertamina Jelaskan Sebab Produksi BBN di Milan Dibatalkan

29 Januari 2020

Bos Pertamina Jelaskan Sebab Produksi BBN di Milan Dibatalkan

Pembatalan itu, menurut Dirut Pertamina, karena adanya kebijakan penolakan crude palm oil (CPO) yang diterapkan oleh Eropa.

Baca Selengkapnya

Setelah B30, Pemerintah Kembangkan Biodiesel B50

6 September 2019

Setelah B30, Pemerintah Kembangkan Biodiesel B50

Pemerintah sudah menyiapkan berbagai rencana untuk memanfaatkan minyak sawit sebagai bahan bakar biodiesel

Baca Selengkapnya

Rini Soemarno: Tiga Tahun Lagi Minyak Nabati Gantikan Solar

18 Februari 2019

Rini Soemarno: Tiga Tahun Lagi Minyak Nabati Gantikan Solar

Rini Soemarno mengatakan dalam tiga tahun lagi, minyak nabati bisa menggantikan bahan bakar solar

Baca Selengkapnya

Perang Dagang AS-Cina, Ini Harapan Pengusaha Kelapa Sawit

11 Juli 2018

Perang Dagang AS-Cina, Ini Harapan Pengusaha Kelapa Sawit

Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan Cina yang semakin memanas mulai berpengaruh terhadap pasar minyak nabati.

Baca Selengkapnya

Parlemen Uni Eropa Tolak Biofuel Sawit, Pemerintah RI Kecewa

23 Januari 2018

Parlemen Uni Eropa Tolak Biofuel Sawit, Pemerintah RI Kecewa

Parlemen Eropa menyetujui penghentian penggunaan biofuel berbahan dasar kelapa sawit sebagai sumber energi terbarukan pada 2021.

Baca Selengkapnya

Produsen Biodiesel Tuntut Eropa Hapus Bea Antidumping

21 Maret 2017

Produsen Biodiesel Tuntut Eropa Hapus Bea Antidumping

Bulan ini, Kementerian Perdagangan mengajukan gugatan terhadap
Uni Eropa melalui WTO.

Baca Selengkapnya

Tiga Industri Ini Bermitra Sulap Rumput Gajah Jadi Biofuel

9 Maret 2017

Tiga Industri Ini Bermitra Sulap Rumput Gajah Jadi Biofuel

Tiga perusahaan itu adalah PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) bersama PT Pertamina (Persero) dan Toyota Motor Corporation.

Baca Selengkapnya

BPBD Sawit Klaim Campuran BBN pada Solar Capai 18,6 Persen

17 Juni 2016

BPBD Sawit Klaim Campuran BBN pada Solar Capai 18,6 Persen

Pencampuran bahan bakar nabati (BBN) pada solar diwajibkan mencapai 20 persen atau B20.

Baca Selengkapnya

Pertamina Serap 519 Ribu Kiloliter Biodiesel Per 2 Bulan

29 Maret 2016

Pertamina Serap 519 Ribu Kiloliter Biodiesel Per 2 Bulan

Penyerapan minyak sawit untuk biodiesel di dalam negeri akan
menaikkan harganya di pasar dunia.

Baca Selengkapnya

Rizal Ramli Lobi ASEAN Agar Pakai Biodiesel dari Sawit

4 Februari 2016

Rizal Ramli Lobi ASEAN Agar Pakai Biodiesel dari Sawit

Indonesia dan Malaysia lobi negara-negara
ASEAN agar beralih ke Biodiesel dengan
campuran minyak nabati dari CPO. Cina dan
India juga diajak.

Baca Selengkapnya