Foto lain menayangkan kawasan Interstate 24 Nashville yang tenggelam oleh air bah yang terjadi pada 1 Mei 2010. Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat itu sengaja menampilkan musibah yang terjadi di kota yang membesarkannya kepada peserta yang berasal dari 20 negara, termasuk 46 orang dari Indonesia. Banjir bandang ini menyebabkan kerugian miliaran dolar.
The Climate Project's International Presenter Training berlangsung pada 26-28 Juni 2010 di Nashville, Tennese, Amerika Serikat. Penyelenggara hajatan ini adalah The Climate Project dan The Alliance for Climate Protection, dua lembaga yang didirikan Al Gore. Pada hari kedua, penerima Hadiah Nobel Perdamaian pada 2007 ini menyajikan presentasinya sejak pagi hingga petang.
Sejak lembaga ini berdiri pada 2006, Al Gore melatih 3.500 orang di seluruh dunia untuk menjadi presenter. Para presenter ini telah memberikan 70 ribu ceramah kepada sekitar 7 juta warga. Salah satu presenter adalah Christiana Figueres, juru runding Kosta Rika, yang pad 1 Juli lalu menjabat Sekretaris Eksekutif Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, menggantikan Yvo de Boer.
Pelatihan di Nashville kali ini, kata Al Gore, merupakan fase lebih lanjut dari The Climate Project. "Berdasarkan buku saya terbaru yang berjudul Our Choice: A Plan to Solve the Climate Crisis," katanya.
Memang buku terbitan November 2009 ini lebih banyak menampilkan solusi terhadap dampak negatif perubahan iklim. Sedangkan buku Uninconvenient Truth cetakan 2007, yang menjadi best seller, memaparkan apa dan bagaimana pemanasan global serta perubahan iklim terjadi.
Alhasil, pada pelatihan di Nashville, Al Gore menonjolkan solusi mengatasi perubahan iklim. Dia mengulas soal listrik dari tenaga surya, memanen tenaga angin yang biayanya paling murah hingga panas bumi. Gore mengutip kajian yang dibuat Massachusetts Institute of Technology, yakni hasil ekstraksi panas bumi Amerika Serikat setara dengan 2.000 kali konsumsi energi primer tahunan Negeri Abang Sam.
Biomas menjadi sumber energi yang dapat diperbarui yang perlu dikembangkan. Selain itu, Gore menyinggung teknologi carbon capture and sequestration sebagai salah satu solusi mengatasi perubahan iklim. Mantan wakil presiden Amerika Serikat ini juga meminta kita mempertimbangkan tenaga nuklir sebagai opsi mendapatkan sumber energi. Dia juga mendorong mekanisme perdagangan karbon.
Menurut Al Gore, tidak banyak waktu yang kita miliki untuk berleha-leha. Sebab, generasi muda akan bertanya apa saja yang telah kita lakukan untuk mengurangi emisi gas-gas rumah kaca dan dampak dari perubahan iklim. Tanggung jawab moral kita dipertanyakan. "Kita harus memberikan jawaban sekarang, bukan dengan kata-kata tapi dengan tindakan."
Pelatihan kali ini jadi unik karena baru pertama kali mengikutsertakan generasi muda terlibat dalam The Climate Project. Ada 30 remaja menjadi peserta pelatihan di Nashville. Mereka tergabung dalam Alliance's Inconvenient Youth, tempat para remaja dapat berbagi tindakan dan ide-ide untuk membantu mengatasi krisis iklim. Wadah ini diluncurkan pada Hari Bumi beberapa pekan lalu. Kami, kata Manajer Program Inconvenient Youth Sam Davidson, mencari mitra internasional untuk merangkul lebih banyak remaja. "Agar secara efektif memperhatikan perubahan iklim dan pemecahannya."
Peserta dari Indonesia mengaku puas atas pelatihan ini. Secara pribadi, jaringan pertemanan di forum internasional untuk mengatasi perubahan iklim semakin bertambah. Dari The Climate Project pulalah mereka belajar mengorganisasi kegiatan untuk meningkatkan kesadaran publik tentang perubahan iklim. Al Gore, kata Armi Susandi, dosen ITB, selalu memakai data-data ilmiah terbaru dan kali ini banyak solusi yang ditawarkan.
Laode Syarif menilai pelatihan di Nashville telah mencapai tujuan, yaitu meningkatkan kesadaran peserta tentang dampak dan solusi menghadapi perubahan iklim. "Kita berharap peserta melakukan tujuan berikutnya, yakni menekan pemerintahan masing-masing melakukan program mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim," kata Syarif, Kepala Program Keamanan dan Peradilan, Kemitraan bagi Pembaruan Tata Pemerintahan.
Namun banyak peserta sepakat materi pelatihan harus dikontekskan dengan kondisi Indonesia. "Karena paparan Al Gore dari sudut pandang Amerika Serikat," kata Transtoto Handadhari, mantan Direktur Utama Perum Perhutani. Dia khawatir isu perubahan iklim menjadi senjata negara-negara maju dan lembaga non-pemerintah internasional untuk menekan pembangunan ekonomi negara berkembang.
Dalam konteks ini, Damairia Pakpahan menilai isu keadilan iklim harus lebih banyak disuarakan. Negara-negara maju lebih setuju melakukan perdagangan karbon ketimbang mengubah pembangunan dan gaya hidup yang boros menggunakan energi fosil. Sedangkan negara miskin, kata aktivis Circle NGO, harus melakukan program ikat pinggang ekonomi. Dia berharap Indonesia tidak memakai dana utang luar negeri untuk mengatasi dampak perubahan iklim di Tanah Air.
Agus Supangat menjelaskan, memahami krisis iklim ibarat merenungi penderitaan para petani yang gagal panen, nelayan yang gagal melaut, penduduk yang kekurangan air dan kebanjiran, serta aneka penderitaan lain yang sering terabaikan. "Al Gore mengajarkan perlunya aksi individu yang mengarah pada aksi bersama, salah satunya melalui suara politik," kata Agus, peneliti Oseanografi yang bekerja di Dewan Nasional Perubahan Iklim.
Memang, pada akhir pelatihan, mantan Wakil Presiden Amerika Serikat ini membangkitkan motivasi peserta untuk secepatnya bersama-sama mengurangi emisi gas-gas rumah kaca. "Mari temukan keajaiban," katanya. Dalam pengantar buku Our Choice, Gore mengutip peribahasa kuno Afrika: Jika Anda ingin pergi dengan cepat, berangkatlah sendirian. Jika ingin pergi jauh, bersama-samalah. "Saat ini kami ingin pergi jauh dengan cepat," tulis Al Gore. Dia yakin kebersamaan dan solusi yang tepat akan mampu mengatasi krisis iklim.
| UNTUNG WIDYANTO (NASHVILLE)