TEMPO Interaktif, Malang - Dua buah kompor terpajang di rumah Eko Widaryanto di Jalan Tlogo Indah Kota Malang. Bentuk dua kompor itu sama. Satu kompor diberi nama UB-16 dan satu lag diberi nama UB-16S. Kompor UB-16 berbahan baku biji jarak pagar (Jatropha curcus), sedangkan kompor UB-16S berbahan baku kelapa sawit (Elaeis guinensis jacg). ”UB-16S merupakan perkembangan dari UB-16,” katanya kepada Tempo, Senin (9/8).
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang ini harus mengembangkan kompornya setelah mendapatkan keluhan dari konsumen. Keluhan itu adalah soal mangkraknya kompor UB-16. Penyebabnya bukan karena kompor rusak, tetapi karena konsumennya kesulitan mendapatkan biji jarak.
Kompor berbahan baku biji jarak ciptaan Eko sebenarnya banyak diminati masyarakat. Diciptakan tahun 2007 lalu, produksi kompornya sudah mencapai 12 ribu lebih. Eko menciptakan kompor ini karena waktu itu penanaman jarak pagar sedang booming.
Namun, booming jarak pagar tak berlangsung lama. Masyarakat menjadi malas menanam jarak karena hasil panennya tak ada yang membeli.
Tak hanya para pengguna kompor saja yang susah mendapatkan jarak pagar. Perusahaan penghasil biodiesel juga kesulitan memperoleh tanaman yang termasuk dalam Euphorbiaceae atau masih satu famili dengan karet dan ubi kayu.
Perusahaan patungan Indonesia-Jepang PT Alegria Indonesia misalnya, tak bisa memenuhi pesanan pasar otomatif Jepang yang membutuhkan 7.500 liter biodesel atau sekitar 30 ton biji jarak perbulan. Ini karena PT Alegria hanya mempunyai 400 kg. ”Ada kekurangan 29,6 ton karena minimnya petani yang memanen jarak,” kata Chief Executive Officer PT Alegria Indonesia Wahyu Suprihadi Eko Sasono.
PT Alegria berencana mendirikan pabrik biodiesel di Pasuruan dengan kapasitas produksi sekitar sejuta liter per bulan. Pada tahap awal, PT Alegria telah merakit mesin pengolah biji jarak menjadi biodisel di Karangploso, Kabupaten Malang. Mesin ini dipakai untuk menampung hasil panen petani biji jarak di Pasuruan. ”Mesin ini juga belum beroperasi maksimal karena pasokan biji jarak petani masih minim,” ujarnya.
Untuk memenuhi kebutuhan biji jarak, PT Alegria bekerjasama dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pasuruan. Isi perjanjian antara lain jaminan pembelian biji jarak oleh PT Alegria dengan harga Rp 1200 per kg dan Pemkab Pasuruan memasok biji jarak yang berasal dari hasil panen petani.
Pemkab Pasuruan telah mengajak para petani menanam jarak, terutama di lahan kritis. Agar petani bersedia, Pemkab Pasuruan memberikan bantuan bibit kepada petani. "Juga kepastian pembelian hasil panen seperti tertuang dalam perjanjian dengan PT Alegria,” kata Kepala Dinas Perkebunan dan Kehutanan Pemkab Pasuruan Edi Suwanto.
Dari total lahan kritis yang ada di Kabupaten Pasuruan, Pemkab Pasuruan mentargetkan ada 6000 hektar lahan yang ditanami jarak. Pemkab Pasuruan mengklaim dari 6000 hektar tersebut, sudah ada sebanyak 1200 hektar lahan milik petani di Kecamatan Kejayan Kabupaten Pasuruan yang telah ditanami jarak pagar.
PT Alegria tak tinggal diam. Agar petani menghasilkan jarak pagar yang berkualitas dan berkuantitas, PT Alegria membuat kebun bibit di Desa Oro-oro Pule, Kecamatan Kejayan seluas 22 hektar.
Namun usaha PT Alegria dan Pemkab Pasuruan belum terwujud. Masyarakat belum berminat menanam jarak pagar. Hasil penelusuran TEMPO di Kecamatan Kejayan menyebutkan tak banyak masyarakat yang menanam jarak pagar. ”Tak ada satupun petani di sini yang menanam jarak pagar,” kata Kepala Desa Oro-oro Pule Amsori kepada TEMPO.
Menurut Amsori, para petani di desanya takut hasil panen tak ada yang membeli. Ketakutan ini berdasar pengalaman tiga tahun lalu yang saat itu hasil panen jarak pagar tak ada yang membeli. ”Janji Pemerintah untuk membeli hasil panen ternyata omong kosong,” ujarnya. Apalagi, harganya juga terlalu rendah.
Di Desa Sumber Banteng, Kecamatan Kejayan hanya ada sekitar 10 hektar milik para petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Bangun Tani yang ditanami jarak pagar. "Meski mendapat bantuan bibit, banyak petani yang tak berminat menanam,” ujar Bendahara Kelompok Tani Bangun Tani H Abdul Rochman.
Abdul Rochman menanam jarak di lahan seluas 0,4 hektar mulai menanam sejak Juli 2009. Laki-laki berusia 35 tahun ini menanam sebanyak 500 pohon dengan cara tumpang sari tanaman kedelai dan kacang ijo.
Dari 500 pohon jarak, Abdul Rochman berhasil memanen sebanyak 40 kg biji jarak. Hasil panen yang minim ini disebabkan karena bapak dua anak ini tak pernah merawat tanamannya. Selain karena tak punya ketrampilan merawat jarak, Abdul Rochman juga mengaku tak punya dana untuk perawatan tanaman.
Menurut Abdul Rochman, Pemkab Pasuruan memberikan bantuan bibit jarak kepada petani dan PT Alegria menjajikan akan membeli hasil panen petani. Para petani pernah meminta PT Alegria agar memberikan pinjaman untuk biaya penanaman dan perawatan. Pengembalian pinjaman tersebut diambilkan dari hasil penjualan panen. Tapi permintaan ini tak dikabulkan.
Karena tak mempunyai dana, petani akhirnya enggan menanam jarak. Apalagi, harga yang dipatok PT Alegria terlalu rendah sehingga petani merugi. Abdul Rochman memperkirakan agar petani juga bisa untung, harga panen seharusnya dibeli Rp 2000 per Kg. Akhirnya, ujar Abdul Rochman, jika ada petani yang menanam, ya dibiarkan saja tanpa perawatan.
Rully Dyah Purwani mengatakan meski jarak pagar mudah hidup dan bisa ditanam di lahan kritis, namun tetap memerlukan perawatan, seperti pemupukan, pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit dan pemangkasan. ”Perawatan itu memerlukan biaya besar.”
Jika hasil panen petani dihargai Rp 1200 per Kg, maka petani akan rugi. ”Agar petani dan perusahaan sama-sama untung, harga biji jarak harus sekitar Rp 2000 per kg,” katanya.
Wahyu Suprihadi Eko Sasono mengakui keengganan masyarakat menanam jarak saat ini akibat kegagalan program Pemerintah dalam pengembangan jarak pagar beberapa tahun lalu. Kegagalan tersebut terjadi pada penyerapan hasil panen, pengolahan produksi dan penyaluran hasil produksi. ”Tapi, saya yakin tanaman jarak pagar merupakan salah satu solusi yang sangat cocok sebagai energi alternatif,” katanya.
BIBIN BINTARIADI