Blue Carbon bagi Warga Pesisir

Reporter

Editor

Rabu, 20 April 2011 17:38 WIB

Wartawan The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) menyusuri hutan mangrove di Pulau Nusa Lembongan, Bali, 10 April 2011
TEMPO Interaktif, Jakarta - Wayan Sukitra melepaskan tali yang mengikat setiap perahu dengan tambatannya. Ada delapan perahu yang dinaiki anggota The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ), yang menyusuri hutan <I>mangrove<I> seluas 9 kilometer persegi di Pulau Nusa Lembongan, Bali.

Setelah berkeliling dengan perahu yang harga sewanya Rp 70 ribu per unit, peserta diajak mengunjungi kafe dan toko cendera mata. "Ini usaha dari kelompok masyarakat Mangrove Tour," kata Sukitra, yang menjadi ketua kelompok itu, kepada wartawan yang mengunjunginya pada 10 April lalu. Pada Juli hingga September, ujarnya, banyak turis asing berwisata ke hutan <I>mangrove<I> di Desa Jungut Batu, Nusa Lembongan.

Hutan ini menjadi tempat wisata semenjak 2003. Sebelumnya, kata Sukitra, warga menebangi <I>mangrove<I> untuk kayu bakar dan lahan industri garam. Alhasil di beberapa tempat terjadi abrasi. Kemudian seorang turis asal Prancis mengajak Sukitra mengembangkan wisata <I>mangrove<I>.

Warga lantas menanam bakau pada lahan kosong dan membentuk Mangrove Tour. Sekarang kelompok ini memiliki 33 perahu dan masyarakat menggunakan kompor gas untuk memasak. Mereka juga menyajikan hidangan laut, seperti kepiting bakau, untuk wisatawan serta aktivitas menyelam.

Menurut Daniel Murdiyarso, peneliti Center for International Forestry Research (Cifor), apa yang dilakukan warga Jungut Batu merupakan bagian dari adaptasi perubahan iklim. "Hutan bakau memiliki peran yang besar dan selama ini belum dieksplorasi," katanya kepada wartawan peserta <I>workshop<I> yang diadakan Cifor dan SIEJ di Bali pada 8-11 April 2011.

Ternyata, bukan hanya adaptasi, tapi hutan bakau juga memiliki peran dalam mitigasi perubahan iklim. Tanaman ini memberi sumbangan sangat potensial untuk mengurangi emisi karbon dibanding hutan hujan tropis. "Kepadatan karbon hutan <I>mangrove<I> lebih tinggi empat kali daripada hutan tropis umumnya," demikian kesimpulan penelitian yang dilakukan Cifor dan USDA Forest Services (Departemen Pertanian Amerika Serikat Bidang Kehutanan).

Hasil penelitian itu dipublikasikan dalam <I>Nature GeoScience<I> edisi 3 April 2011. Riset ini dilakukan oleh Daniel C. Donato, J. Boone Kauffman, Daniel Murdiyarso, Sofyan Kurnianto, Melanie Stidham, dan Markku Kanninen. Sampel penelitian mereka diambil dari hutan <I>mangrove<I> di Kepulauan Mikronesia (Kosrae, Yap, dan Palau), Indonesia (Sulawesi, Jawa, serta Kalimantan), dan Sundarbans (Delta Sungai Gangga-Brahmaputra serta Bangladesh).

Menurut Daniel, ini merupakan studi yang pertama kali mengintegrasikan pentingnya mengukur total cadangan karbon berdasarkan geografi atau luas wilayah hutan <I>mangrove<I>. Tim peneliti memperkirakan tingkat pembusukan dan penguraian di hutan <I>mangrove<I> lebih cepat daripada hutan di daratan.

Sebagian besar karbon disimpan di bawah hutan <I>mangrove<I> daripada di atas permukaan tanah dan air. Jumlah karbon yang tersimpan di atas tanah sebanyak 100-120 ton per hektare. Sementara yang di bawah tanah bisa 1.200-1.300 ton setiap hektare. "Itu untuk semua jenis <I>mangrove<I>," kata Daniel.

Stephen Crooks, Direktur Perubahan Iklim Biro Konsultasi Perlindungan, Peningkatan, dan Perbaikan Ekosistem yang Bergantung pada Air (ESA-PWA), menjelaskan, hutan <I>mangrove<I>, rawa pasang-surut, dan padang lamun menghilangkan karbon dari atmosfer serta menguncinya di dalam tanah selama ratusan hingga ribuan tahun.

Tidak seperti hutan daratan umumnya, ekosistem laut secara terus-menerus membangun kantong-kantong karbon. "Juga menyimpan <I>blue carbon<I> dalam jumlah besar ke sedimen dasar laut," kata Crooks, yang hadir di Bali sebagai pembicara dalam lokakarya Tropical Wetland Ecosystems of Indonesia: Science Needs to Address Climate Change Adaptation dan Mitigation.

Cecep Kusmana, ahli <I>mangrove<I> dari Institut Pertanian Bogor, juga menjadi pembicara dalam forum tersebut. Pada 2008 hingga 2010, dia melakukan penelitian <I>mangrove<I> jenis api-api di Muara Angke, Jakarta Utara. "<I>Mangrove<I> usia 2 tahun berhasil menyerap 230 gram karbon dioksida per 100 gram daun," katanya. Sedangkan satu pohon <I>mangrove<I> tersebut berat total daunnya sampai 1,5 kilogram.

Daniel Murdiyarso dan teman-temannya juga menghitung bahwa perusakan dan degradasi ekosistem <I>mangrove<I> diperkirakan menghasilkan hingga 10 persen dari emisi deforestasi global. Sebab, yang hilang bukan hanya karbon di atas permukaan <I>mangrove<I>, tapi juga di bagian bawahnya.

Di Indonesia, saat ini ada 3,1 juta hektare <I>mangrove<I> atau 22,6 persen di dunia. Hutan ini terancam rusak jika tidak ada upaya melindunginya. Di Kalimantan saja, laju kerusakannya mencapai 7 persen dalam lima tahun terakhir.

Perusakan disebabkan oleh penggunaan lahan untuk budi daya perikanan, infrastruktur, dan aktivitas pembangunan lainnya. Ancaman terhadap <I>mangrove<I> bertambah akibat naiknya permukaan air laut, yang diperkirakan mencapai 18-79 sentimeter pada abad ini. Di Jawa, dampak perusakan <I>mangrove<I> telah dirasakan, yaitu abrasi tinggi dan kesulitan mencari ikan.

Daniel berharap pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk melindungi hutan <I>mangrove<I>. Apalagi penelitian Cifor dan USDA menunjukkan bahwa <I>mangrove<I> memberi sumbangan sangat potensial untuk mengurangi emisi karbon dibanding hutan hujan tropis. "Saat ini belum ada insentif bagi perlindungan hutan <I>mangrove<I>," kata Crooks.

Menurut Crooks, upaya tersebut memiliki potensi untuk dikaitkan dengan skema REDD+ (Reduction Emission from Degradation and Deforestation plus) dan mekanisme pendanaan karbon lainnya. Tanpa menunggu kucuran dana dari luar negeri, kelompok masyarakat Mangrove Tour di Pulau Nusa Lembongan, Bali, sudah menunjukkan kepada dunia bahwa, untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, tidak harus merusak lingkungan.

UNTUNG WIDYANTO

Berita terkait

Suhu Panas, BMKG: Suhu Udara Bulan Maret 2024 Hampir 1 Derajat di Atas Rata-rata

1 hari lalu

Suhu Panas, BMKG: Suhu Udara Bulan Maret 2024 Hampir 1 Derajat di Atas Rata-rata

Suhu panas yang dirasakan belakangan ini menegaskan tren kenaikan suhu udara yang telah terjadi di Indonesia. Begini data dari BMKG

Baca Selengkapnya

Kemenkes, UNDP dan WHO Luncurkan Green Climate Fund untuk Bangun Sistem Kesehatan Menghadapi Perubahan Iklim

3 hari lalu

Kemenkes, UNDP dan WHO Luncurkan Green Climate Fund untuk Bangun Sistem Kesehatan Menghadapi Perubahan Iklim

Inisiatif ini akan membantu sistem kesehatan Indonesia untuk menjadi lebih tangguh terhadap dampak perubahan iklim.

Baca Selengkapnya

Kerusakan Alat Pemantau Gunung Ruang, BRIN Teliti Karakter Iklim, serta Kendala Tes UTBK Mengisi Top 3 Tekno

4 hari lalu

Kerusakan Alat Pemantau Gunung Ruang, BRIN Teliti Karakter Iklim, serta Kendala Tes UTBK Mengisi Top 3 Tekno

Artikel soal kerusakan alat pemantau erupsi Gunung Ruang menjadi yang terpopuler dalam Top 3 Tekno hari ini.

Baca Selengkapnya

Pusat Riset Iklim BRIN Fokus Teliti Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Pembangunan

5 hari lalu

Pusat Riset Iklim BRIN Fokus Teliti Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Pembangunan

Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN fokus pada perubahan iklim yang mempengaruhi sektor pembangunan.

Baca Selengkapnya

Kemenkes, UNDP dan WHO Perkuat Layanan Kesehatan Hadapi Perubahan Iklim

5 hari lalu

Kemenkes, UNDP dan WHO Perkuat Layanan Kesehatan Hadapi Perubahan Iklim

Kemenkes, UNDP dan WHO kolaborasi proyek perkuat layanan kesehatan yang siap hadapi perubahan iklim.

Baca Selengkapnya

Amerika Perkuat Infrastruktur Transportasinya dari Dampak Cuaca Ekstrem, Kucurkan Hibah 13 T

13 hari lalu

Amerika Perkuat Infrastruktur Transportasinya dari Dampak Cuaca Ekstrem, Kucurkan Hibah 13 T

Hibah untuk lebih kuat bertahan dari cuaca ekstrem ini disebar untuk 80 proyek di AS. Nilainya setara separuh belanja APBN 2023 untuk proyek IKN.

Baca Selengkapnya

Diskusi di Jakarta, Bos NOAA Sebut Energi Perubahan Iklim dari Lautan

16 hari lalu

Diskusi di Jakarta, Bos NOAA Sebut Energi Perubahan Iklim dari Lautan

Konektivitas laut dan atmosfer berperan pada perubahan iklim yang terjadi di dunia saat ini. Badai dan siklon yang lebih dahsyat adalah perwujudannya.

Baca Selengkapnya

Peneliti BRIN Ihwal Banjir Bandang Dubai: Dipicu Perubahan Iklim dan Badai Vorteks

16 hari lalu

Peneliti BRIN Ihwal Banjir Bandang Dubai: Dipicu Perubahan Iklim dan Badai Vorteks

Peningkatan intensitas hujan di Dubai terkesan tidak wajar dan sangat melebihi dari prediksi awal.

Baca Selengkapnya

5 Hal Banjir Dubai, Operasional Bandara Terganggu hingga Lumpuhnya Pusat Perbelanjaan

17 hari lalu

5 Hal Banjir Dubai, Operasional Bandara Terganggu hingga Lumpuhnya Pusat Perbelanjaan

Dubai kebanjiran setelah hujan lebat melanda Uni Emirat Arab

Baca Selengkapnya

Maret 2024 Jadi Bulan ke-10 Berturut-turut yang Pecahkan Rekor Suhu Udara Terpanas

22 hari lalu

Maret 2024 Jadi Bulan ke-10 Berturut-turut yang Pecahkan Rekor Suhu Udara Terpanas

Maret 2024 melanjutkan rekor iklim untuk suhu udara dan suhu permukaan laut tertinggi dibandingkan bulan-bulan Maret sebelumnya.

Baca Selengkapnya