Research cell bank Erythropoeietin (EPO) generasi ke 2 yang diserahkan dari P2 Bioteknologi LIPI pada Bio Farma di Bandung, Jawa Barat, 28 Desember 2015. Vaksin yang dibuat dan dikembangkan oleh anak bangsa ini akan digunakan untuk terapi pasien cuci darah, kemoterapi, dan anemia. TEMPO/Prima Mulia
TEMPO.CO, Jakarta - PT Bio Farma mengalokasikan dana Rp 125 miliar per tahun untuk riset bidang medis. Produsen vaksin milik pemerintah ini memulai riset ke bagian hulu di lokasi baru, yakni Bogor, Jawa Barat.
Direktur Utama PT Bio Farma Iskandar mengatakan riset ini sebagai bagian dari upaya pemerintah mencapai kemandirian bahan baku obat. Kemandirian ini dibicarakan oleh Menteri Kesehatan ketika bertemu pengusaha farmasi beberapa waktu lalu. "Pemerintah meminta ketersediaan bahan baku, atau (jika tidak) perusahaan asing sepenuhnya masuk," kata Iskandar, di kantornya Jalan Pasteur, Bandung, Jawa Barat, Senin, 28 Desember 2015.
Dana sebesar Rp 125 miliar per tahun ini merupakan ancang-ancang Bio Farma atas permintaan pemerintah itu. "Bio Farma sekarang sedikit ke hulu dan berusaha menghilangkan sekat dengan birokrasi dan akademisi," kata Iskandar.
Sejak 2013, PT Bio Farma dan Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan pembuatan erythropoietin (EPO) generasi kedua. Kerja sama tersebut ditandai dengan penyerahan Research Cell Bank dari LIPI ke Bio Farma di Bandung, Senin, 28 Desember 2015.
Bio Farma melanjutkan tahapan riset yang dirintis peneliti LIPI Adi Susanto itu hingga ditargetkan mulai bisa produksi massal 4 tahun mendatang. EPO berguna bagi pasien anemia berat akibat gagal ginjal kronis dan kemoterapi.
Dalam waktu dekat, Bio Farma akan membangun tempat riset seluas 500 hektare di Jasinga, Bogor. "Sengaja dipilih di sana agar mudah bekerja sama dengan LIPI di Serpong yang berjarak 40 kilometer atau sekitar 1,5 jam perjalanan," tambah Iskandar.
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Iskandar Zulkarnaen mengatakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang kini berkembang pesat. Sedangkan bahan baku industri obat masih terkendala karena banyak diperoleh dari impor. "Kemandirian masih jauh," katanya.
Untuk mencapai kemandirian, Zulkarnaen menganggap akademisi, pemerintah, komunitas, dan industri perlu bekerja sama dengan skema baru.