Petugas POS Pengamatan mencatat kegempaan saat Gunung Anak Krakatau (GAK) menyemburkan asap putih di Selat Sunda, Banten (29/11). Gunung ini mengalami kegempaan sebanyak 30 kali dari pagi hingga siang dan statusnya dinaikan menjadi waspada level II. ANTARA/Asep Fathulrahman
TEMPO.CO, Bandung - Setelah mengguncang Lampung empat hari lalu, gempa kembali terjadi di Selat Sunda, Jumat, 6 Mei 2016. Gempa di Selat Sunda berkekuatan magnitudo 5,3 skala Richter dengan kedalaman pusat gempa (hiposenter) 43 kilometer. Gempa itu diduga terpicu gempa Lampung. Beruntungnya, lindu di Selat Sunda itu tidak menghasilkan tsunami.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono menginformasikan, gempa yang terjadi pada pukul 09.04 WIB ini berjarak sekitar 122 kilometer arah selatan dari Kota Agung, Lampung. “Gempa dirasakan di beberapa daerah di Lampung dan Banten,” katanya.
Gempa kali ini terhitung dangkal. Penyebabnya, ucap Daryono, akibat aktivitas penunjaman (subduksi) Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia. Hiposenter gempa bumi ini terletak di zona transisi Megathrust-Benioff, yaitu zona subduksi lempeng yang mulai menukik di bawah lempeng Eurasia di selatan Selat Sunda. “Gempa tidak berpotensi merusak dan tidak menimbulkan tsunami,” ujarnya.
Sebelumnya pada Senin, 2 Mei 2016, sejumlah daerah di Lampung dan Banten diguncang gempa dengan kekuatan magnitudo 5,8 skala Richter. Penyebabnya ialah aktivitas subduksi. Sumber gempa itu berada di kedalaman 127 kilometer. Lokasinya 28 kilometer arah barat daya Kabupaten Tanggamus, Lampung Tengah.
Daryono menduga kedua gempa memiliki keterkaitan jika melihat titik pusat dua gempa tersebut yang cukup dekat. Begitu juga selang waktunya yang hanya empat hari. “Bisa jadi gempa Selat Sunda akibat trigger dari gempa sebelumnya,” tuturnya.