Penjelasan Sains di Balik Sifat Welas Asih kepada Orang Lain
Editor
Ahmad Nurhasim
Jumat, 7 April 2017 11:36 WIB
TEMPO.CO, Jakarta -Mari kita bermain perasaan sejenak. Anda terjebak di lantai 15 dalam sebuah gedung yang terbakar. Hanya ada tangga untuk turun. Waktu kian sempit. Namun, saat sedang turun, tiba-tiba ada yang teriak minta tolong. Ternyata, sekitar 10 meter di sebelah kanan Anda, ada orang yang tak bisa lari dari api lantaran kakinya tertimpa kabinet besar.
Apa yang akan Anda lakukan? Meninggalkannya atau menyelamatkannya dan membopongnya turun?
Sekelompok peneliti dari International School for Advanced Studies di Trieste dan University of Udine, Italia, melakukan riset tentang kondisi tersebut menggunakan virtual reality alias realitas virtual. Tim ingin mengungkap asal-usul altruisme—perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri—di otak. Studi ini terbit dalam jurnal Neuropsychologia edisi Februari 2017.
Studi tersebut mengungkap bahwa individu altruistik memiliki insula anterior kanan yang lebih besar ketimbang orang non-altruistik. Bagian otak ini terlibat dalam pengolahan emosi sosial dan membantu kesadaran stimulan tubuh, seperti kemampuan untuk menghitung detak jantung sendiri. Bagian ini juga yang mengontrol tekanan darah, khususnya selama dan setelah latihan fisik.
“Ini menjelaskan bahwa kasih sayang berperan dalam memotivasi perilaku tolong-menolong dan otak memainkan peran yang kompleks,” kata Giorgia Silani, peneliti utama, seperti dikutip dari laman berita Science Daily. Studi Silani bersama lima peneliti lainnya berjudul “Neuroanatomical basis of concern-based altruism in virtual environment”.
Mempelajari altruisme dan basis sarafnya di dalam laboratorium menimbulkan kesulitan dan tantangan etika tersendiri. Sebab, menurut Silani, para peneliti harus mereproduksi situasi berbahaya sekaligus mengamati perilaku peserta.
Namun, kata dia, hal itu bukan berarti tidak mungkin dilakukan. Untuk mengatasi kesulitan tersebut, Silani dan tim membuat program realitas virtual yang bisa membuat penggunanya tenggelam.
Selama penelitian, para peserta memakai virtual reality dengan audio visual yang intens untuk meningkatkan realisme eksperimental. “Agar perasaan cemas dan terpojok bangkit dalam benar peserta,” ujar Indrajeet Patil, anggota peneliti yang juga mahasiswa pascadoktoral di Harvard University.
Dalam eksperimen, peserta hanya diberikan sedikit sisa tenaga untuk keluar dari gedung yang terbakar. Di akhir perjalanan mereka, para peserta harus membuat keputusan sulit: menyelamatkan orang lain atau mengabaikannya.
Selama penelitian, ilmuwan terus memindai otak para peserta dengan magnetic resonance imaging (MRI). Investigasi struktur otak dapat memperlihatkan hubungan antara perilaku dan anatomi daerah tertentu sistem saraf.
“Sebanyak 65 persen peserta membuat pilihan altruistik. Mereka berhenti untuk mencari suara minta tolong tersebut dan menolongnya, meski ancaman menghadang,” kata Patil. Satu hal yang menarik disorot, kata Silani, ternyata virtual reality mampu membantu penelitian mengenai neurostruktural.
Nah, jika berada dalam keadaan serupa, kira-kira apa yang akan Anda lakukan?
NEUROPSYCHOLOGIA | SCIENCE DAILY | AMRI MAHBUB