Waspadalah, Pakar Prediksi Akan Ada Serangan Kedua WannaCry  

Reporter

Senin, 15 Mei 2017 08:56 WIB

Program malware ransomware wannaCRY yang menyerang komputer secera masal di 99 negara. .kominfo.go.i

TEMPO.CO, Washington - Serangan ransomware Wanna Decryptor alias WannaCry sejak Jumat pekan lalu menyita perhatian dunia. Program komputer jahat ini menyandera data komputer yang diserangnya.

Masalahnya, menurut beberapa pakar keamanan digital, akan ada serangan selanjutnya. "Pekan ini, saat jutaan orang kembali bekerja, mereka akan menghidupkan komputer untuk melihat apakah mereka terinfeksi. Di situ akan ada celah," kata James Barnett, pakar keamanan dari Venable dan pensiunan Angkatan Laut Amerika Serikat Navy, seperti dikutip dari Washington Post.

Baca: Ransomware WannaCry, Microsoft: Amerika Kecolongan

Ransonware WannaCry pertama kali menginfeksi National Health Service di Inggris sebelum menyebar ke 99 negara. Para peretas, yang dikenal dengan nama Shadow Brokers, menggunakan WannaCry untuk mengunci komputer dan mengancam menghapus data korban jika tidak membayar tebusan US$ 300 atau sekitar Rp 4 juta. Para korban disebutkan banyak yang menggunakan Windows XP, sebuah sistem operasi yang masih digunakan di seluruh dunia.

Beruntung, sebagian besar potensi kerusakan dapat diminimalisasi seorang peneliti keamanan berumur 22 tahun. Melalui akun Twitter @MalwareTechBlog orang yang tidak disebutkan namanya itu tidak sengaja menyertakan kill switch dalam perangkat lunak yang memungkinkan pemilik situs web tertentu menghentikan serangan. Dengan hanya membayar US$ 10 atau sekitar Rp 135 ribu untuk membayar domain, peneliti tersebut berhasil menggagalkan upaya penyusupan WannaCry yang lebih masif.

Baca: Peneliti MalwareTech Hentikan Peretasan Massal

Namun, menurut Barnett, kemenangan itu mungkin berumur pendek. Para hacker kemungkinan besar akan terus memodifikasi WannaCry. Sebetulnya, serangan ransomware ini sudah diprediksi sejak 2015. Kala itu, serangan ransomware, yang bersifat sporadis atau menyebar dengan banyak peretas, terjadi di beberapa negara.

Tren tersebut kian meningkat setelah kelompok hacker Shadow Brokers pada April lalu mengklaim telah berhasil mencuri program celah keamanan yang dibuat National Security Agency (NSA) dan merilisnya ke publik. "Sejak itu, saya tahu bahwa akan ada serangan besar," kata Peter Warren Singer, pakar teknologi di New American Foundation.

Baca: Heboh Peretasan Massal di 99 Negara, Pakai Program Punya NSA?

Kapan serangan kedua akan dimulai? Menurut Singer, secepatnya. Terlebih, kata dia, masih banyak lembaga dan perusahaan yang menggunakan Windows XP. David Edelman, pejabat administrasi era Barrack Obama di bidang teknologi, mengatakan beberapa agen federal telah bergerak cepat untuk mengantisipasi hal tersebut.

"Hanya, efektivitas dan kecepatan penanganan memang tergantung pad sumber daya di setiap lembaga itu," ujarnya.

Menurut Edelman, di seluruh dunia, termasuk Amerika, masih banyak sistem di pemerintahan yang menjalankan Windows XP. Sebagian besarnya sudah pasti terhubung dengan internet. "Banyak yang rentan," ucapnya.

Di Amerika saja, Edelman menjelaskan, pada 2015, Navy masih menggunakan Windows XP. Mereka membayar ke Microsoft US$ 9 juta atau sekitar Rp 121,5 miliar untuk mengembangkan Windows XP. Namun, kini Navy bergerak cepat untuk beralih ke Windows 10.

Baca: Pengguna Windows XP Lebih Rentan Terinfeksi Ransomware WannaCry

Stewart Baker, mantan penasihat umum di NSA, mengatakan serangan WannaCry secara tidak langsung mendorong lebih banyak permintaan komputasi awan (cloud). Tentu ini menguntungkan Google dan Microsoft sebagai dua perusahaan besar penyedia cloud terbesar di dunia.

"Serangan ini memaksa kita masuk ke cloud," tuturnya. Lepas dari semua spekulasi, yang jelas, para pengguna komputer harus mengamankan data agar tidak terkena infeksi ransomware WannaCry.

WASHINGTON POST | AMRI MAHBUB

Berita terkait

Top 3 Dunia: AstraZeneca Ada Efek Samping dan Unjuk Rasa Pro-Palestina

40 menit lalu

Top 3 Dunia: AstraZeneca Ada Efek Samping dan Unjuk Rasa Pro-Palestina

Top 3 dunia, AstraZeneca, untuk pertama kalinya, mengakui dalam dokumen pengadilan bahwa vaksin Covid-19 buatannya dapat menyebabkan efek samping

Baca Selengkapnya

Survei: 58 Persen Responden Percaya Beijing Gunakan TikTok untuk Pengaruhi Opini Warga Amerika Serikat

10 jam lalu

Survei: 58 Persen Responden Percaya Beijing Gunakan TikTok untuk Pengaruhi Opini Warga Amerika Serikat

Jajak pendapat yang dilakukan Reuters/Ipsos mengungkap 58 persen responden percaya Beijing menggunakan TikTok untuk mempengaruhi opini warga Amerika.

Baca Selengkapnya

Komandan Jenderal Angkatan Darat AS Wilayah Pasifik Kunjungan Kerja ke Markas Besar TNI

15 jam lalu

Komandan Jenderal Angkatan Darat AS Wilayah Pasifik Kunjungan Kerja ke Markas Besar TNI

Komandan Jenderal Angkatan Darat Amerika Serikat untuk wilayah Pasifik (USARPAC) kunjungan kerja ke Markas Besar TNI, Jakarta pada 21-23 April 2024

Baca Selengkapnya

Universitas Columbia Ancam Keluarkan Mahasiswa Demonstran Pro-Palestina

15 jam lalu

Universitas Columbia Ancam Keluarkan Mahasiswa Demonstran Pro-Palestina

Universitas Columbia mengancam akan mengeluarkan mahasiswa pro-Palestina yang menduduki gedung administrasi Hamilton Hall.

Baca Selengkapnya

Otoritas Otomotif AS Investigasi 2 Juta Mobil Tesla yang Direcall, Sebab...

16 jam lalu

Otoritas Otomotif AS Investigasi 2 Juta Mobil Tesla yang Direcall, Sebab...

Investigasi baru NHTSA berfokus pada pembaruan perangkat lunak dari Tesla untuk memperbaiki masalah ini pada bulan Desember.

Baca Selengkapnya

Terancam Dipenjara, Trump Dijatuhi Denda Rp146 Juta karena Langgar Perintah Pembungkaman

19 jam lalu

Terancam Dipenjara, Trump Dijatuhi Denda Rp146 Juta karena Langgar Perintah Pembungkaman

Hakim yang mengawasi persidangan pidana uang tutup mulut Donald Trump mendenda mantan presiden Amerika Serikat itu sebesar US$9.000 atau karena Rp146

Baca Selengkapnya

Ratusan Polisi New York Serbu Universitas Columbia untuk Bubarkan Demonstran Pro-Palestina

21 jam lalu

Ratusan Polisi New York Serbu Universitas Columbia untuk Bubarkan Demonstran Pro-Palestina

Ratusan polisi Kota New York menyerbu Universitas Columbia untuk membubarkan pengunjuk rasa pro-Palestina

Baca Selengkapnya

HAM PBB Prihatin Penangkapan Mahasiswa Pro-Palestina

22 jam lalu

HAM PBB Prihatin Penangkapan Mahasiswa Pro-Palestina

Komisaris Tinggi HAM PBB prihatin atas tindakan hukum membubarkan aksi pro-Palestina di sejumlah universitas di Amerika Serikat

Baca Selengkapnya

Fakta-fakta Demo Mahasiswa Pro-Palestina di Amerika Serikat Ricuh Diberangus Aparat

1 hari lalu

Fakta-fakta Demo Mahasiswa Pro-Palestina di Amerika Serikat Ricuh Diberangus Aparat

Demo Pro-Palestina marak terjadi di banyak kampus di AS dengan tuntutan para mahasiswa berkisar dari gencatan senjata atas perang Israel vs Hamas.

Baca Selengkapnya

Perayaan 75 Tahun Hubungan Diplomatik, Amerika dan Indonesia Bikin Acara Diplomats Go to Campus

1 hari lalu

Perayaan 75 Tahun Hubungan Diplomatik, Amerika dan Indonesia Bikin Acara Diplomats Go to Campus

Dalam rangka perayaan 75 tahun hubungan diplomatik AS-Indonesia diselenggarakan acara perdana "Diplomats Go to Campus" di Surabaya dan Malang

Baca Selengkapnya