TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis penyelamat satwa liar asal Prancis, Aurelien Francis Brule, memberikan saran agar kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tidak kembali terjadi. "Yang paling penting itu pencegahan, itu nomor satu," ujar Chanee Kalaweit, sapaan Brule melalui sambungan telepon, Senin, 23 September 2019.
Chanee yang tinggal di daerah Muara Teweh, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, menceritakan bahwa ada ribuan masyarakat Palangkaraya yang susah bernapas akibat karhutla. Dan yang membuatnya sedih, peristiwa yang sebelumnya terjadi pada 2015, kembali muncul di tahun ini.
"Situasi yang kita alami 2019 ini sebenarnya dapat diantisipasi, pada tahun 2016, 2017, 2018 semua pihak merasa bahwa 'ooo bagus tidak ada api.' Ya iyalah hujannya banyak. Kita tahu siklus El Nino, yang empat atau lima tahun sudah bisa kita prediksi kalau 2015 kebakaran hebat artinya akan terulang kembali di 2019 atau 2020," kata Chanee.
Chanee adalah pria kelahiran Fayence, Distrik Var, Perancis Selatan. Dia datang ke Indonesia sejak berusia 18 tahun pada 1998 dengan misi penyelamatan satwa primata Owa. Owa merupakan primata dengan tangan panjang yang termasuk keluarga primata paling dekat dengan manusia.
Pria beristrikan wanita Dayak ini merasa frustrasi atas asap yang muncul diakibatkan karhutla. Seperti sekarang, kata dia, semua ribut karena asap. Chanee juga memprediksi bahwa tahun depan tidak akan ada asap karena curah hujan yang meningkat.
"Namun, yang harus kita lihat nanti 2023, 2024 akan terjadi apa. Jadi harus ada tindakan pencegahan, karena untuk pemadaman kita tidak sanggup," tutur Chanee. "Pencegahan itu pertama harus diberlakukan larangan api saat musim kemarau dari tanggal tertentu. Setiap tahunnya akan berbeda, kalau El Nino muncul, otomatis larangannya akan lebih lama dibandingkan tahun biasa yang curah hujannya meningkat."
Pencegahan, menurut Chanee, adalah larangan api, artinya tidak boleh membuat api di daerah gambut. Chanee menyarankan untuk memetakan daerah gambut dan diberlakukan larangan api seperti di setiap negara lain di mana ada resiko kebakaran.
Pria yang menjadi warga negara Indonesia pada 2012 itu berujar, membakar sampah pun tidak boleh. Dengan diberlakukannya larangan api tersebut, menurutnya, akan sangat memudahkan pihak pemadam kebakaran, karena bisa memonitor keadaan dari sejak awal musim kemarau melalui udara dan titik strategis untuk melihat dan mendeteksi asap sekecil apa pun.
"Karena diterapkan larangan api, pada saat ada sedikit api atau asap akan gampang dideteksi dan langsung ditangani. Jangan tunggu ada laporan di mana ada titik api dulu, karena sudah terlambat dan apinya sudah menjadi besar. Jadi kuncinya di pencegahan," kata Chanee.
Bapak dua anak ini juga menambahkan bahwa jika membahas kebakaran di lahan gambut, itu sangat mustahil apinya dipadamkan kalau sudah besar. Di tempat mana pun dan negara mana pun, Chanee berujar, akan sangat sulit, jadi kuncinya di pencegahan.
"Tanpa pencegahan, situasi akan terulang kembali. Belum pernah ada pelarangan api, tapi di negara lain sudah ada. Di Prancis Selatan wilayah saya dibesarkan tidak boleh bikin api di musim kemarau," kata Chanee. "Kenapa kita tidak bisa bikin seperti itu, itu sangat mengurangi risiko."