TEMPO.CO, Jakarta - Tim Riset Uji Klinis Vaksin Covid-19 dari Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran ikut memantau perkembangan penelitian serupa di mancanegara. Penghentian sementara uji klinis vaksin Covid-19 fase tiga atau akhir oleh Oxford University dan AstraZeneca menjadi peringatan bagi semua pihak. “Kita mesti hati-hati, makanya itu diberhentikan kan,” kata ketua tim riset Unpad Kusnandi Rusmil.
Sebelumnya diberitakan, pemberhentian uji klinis itu pada Selasa, 8 September 2020 diduga karena ada relawan vaksinasi yang sakit. Tim riset masih berupaya mencari tahu apakah sakitnya akibat vaksin atau sebab lain.
Melansir BBC.com, riset vaksin itu melibatkan sekitar 30 ribu orang di Amerika Serikat, Inggris, Brasil, dan Afrika Selatan. Sebagian pihak menilai penundaan riset semacam itu lumrah ketika ada subyek penelitian yang sakit demi keamanan peserta.
Menurut Kusnandi, ada perbedaan vaksin yang dihentikan uji klinisnya itu dengan yang diteliti oleh tim Unpad di Bandung sekarang ini. “Kita pakai vaksin yang virusnya dimatikan, cuma memang daya imunitasnya kurang jadi harus disuntik dua kali paling tidak,” katanya, Rabu 9 September 2020.
Adapun Oxford-AstraZeneca menguji pengembangan vaksin yang berasal dari dua jenis virus yang disuntikkan ke relawan, yaitu adenovirus dan Covid-19 yang dilemahkan. “Sehingga jadi vaksin virus hidup. Ketika disuntikkan ke orang kebetulan bereaksi jadi diberhentikan, takut nanti karena ini virus hidup,” ujar Kusnandi.
Metode pengembangan vaksin seperti itu, menurutnya, tergolong sulit dan baru. Indonesia belum siap membuat vaksin dengan cara itu. “Kita belum punya mesinnya,” kata dokter spesialis anak yang telah 20 tahun terlibat 32 riset uji klinis vaksin itu di Indonesia.
Kebanyakan vaksin yang diuji berasal dari virus yang dimatikan, seperti juga kini vaksin Sinovac asal Cina. “Itu nggak ada yang timbul sakit.” Teknologi pembuatan vaksin dari virus yang dimatikan, kata Kusnandi, lebih gampang.
Berdasarkan pengalamannya, belum ada relawan uji klinis yang sakit berat gara-gara vaksinasi dengan virus yang telah dimatikan. Namun begitu, tim riset telah menyiapkan standard prosedur operasional bagi relawan yang sakit berat pasca imunisasi. “Dia harus dirawat, terus dicari penyebabnya (sakit) apa,” kata Kusnandi.
Soal apakah riset kemudian dihentikan sementara, Manajer Lapangan Tim Riset Eddy Fadlyana mengatakan keputusan itu berada di tim independen. ”Akan ada tim yang menentukan kalau ada yang sakit berat, ada hubungan nggak dengan imunisasi,” ujarnya Rabu 9 September 2020.
Tim itu bentukan sponsor riset uji klinis yaitu PT Bio Farma. Isinya para pakar kedokteran dari berbagai universitas. ”Mereka yang akan rapat secara berkala jika ada kejadian serius,menentukan apakah penelitian ini bisa dilanjutkan atau nggak mereka yang punya hak,” ujar Eddy.
ANWAR SISWADI