TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Rianta Pratiwi menyebutkan bahwa potensi lobster di Indonesia sangat bagus. Menurutnya, benih lobster alam di laut Indonesia diperkirakan mencapai 20 miliar ekor per tahun.
Dalam acara Sapa Media bertema ‘Memahami Potensi Lobster dari Perspektif Kelautan dan Sosial’ yang digelar virtual, Rianta menjelaskan bahwa faktor alam yang mencakup dinamika oseanografi dan klimatologi sangat mempengaruhi keberadaan dan stok benih lobster alam di laut Indonesia.
Namun, kualitas lingkungan perairan laut dan aktivitas penangkapan juga ikut andil memberikan pengaruh terhadap keberadaan stok benih lobster di alam.
“Hingga saat ini hampir belum ada informasi yang memadai terkait faktor mana yang paling menentukan keberadaan dan stok benih lobster di alam,” ujar dia pada Senin, 30 November 2020.
Lobster, kata pakar crustacea itu, hampir tersebar di seluruh perairan Indonesia dan hidup di perairan dangkal hingga kedalaman 100 meter atau kurang dari 200 meter di bawah permukaan laut dengan kisaran suhu 20-30 derajat Celcius. Lobster biasanya berada di daerah terumbu karang, bersembunyi di dalam lubang atau dibalik batu-batu karang yang airnya dangkal di daerah tropis ataupun semi tropis.
Berdasarkan siklus hidupnya, lobster melewati empat fase, yaitu fase reproduksi/perkembangbiakan, fase larva filosoma, fase lobster muda (puerulus), dan fase lobster dewasa. Lobster atau yang lebih dikenal dengan udang karang atau udang barong memiliki nilai ekonomi dan konsumsi yang tinggi karena dagingnya yang gurih, halus, lezat dan kaya akan protein.
Pada fase perkembangbiakan, lobster betina bertelur hingga 460.000 butir dengan masa inkubasi 3-4 minggu. Pada fase filosoma, lobster dapat mencapai ukuran 36.5 – 37.2 mm.
Setelah itu, ukuran lobster akan berkembang hingga 5-10 cm pada fase lobster muda. Selanjutnya pada fase lobster dewasa, dewasa betina berukuran 16 cm panjang total, sementara lobster jantan berukuran kurang lebih 20cm panjang total
Rianta menyebut lobster bukan hanya komersial di Indonesia, tapi juga hampir di seluruh dunia. “Lobster merupakan jenis yang komersial di sepanjang pantai utara dan selatan Amerika, Afrika Mediteranean, India, Australia, Selandia Baru, dan perairan Indo-Pasifik, termasuk perairan Indonesia,” tutur Rianta.
Di Indonesia, pengembangan budidaya lobster sudah dilakukan sejak lama dan telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12/PERMEN-KP/2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di wilayah Indonesia.
“Tapi memerlukan waktu pembesaran yang sangat lama, sehingga banyak yang tidak berhasil melakukannya. Di perairan tropis misalnya, P. ornatus memiliki fase larva 4-7 bulan, sementara P. longipes sekitar lima bulan dengan ukuran benih bening/benur 5-7cm,” kata Rianta.
Sementara Sigit Anggoro Putro Dwiono, Peneliti Balai Bio Industri Laut (BBIL) LIPI, menjelaskan beberapa syarat yang harus diperhatikan dalam melakukan budidaya yang juga harus disesuaikan dengan kondisi di alam.
Hal yang harus diperhatikan adalah suhu perairan 25- 26 derajat Celcius; salinitas 30-35 ppt; substrat dasar adalah pasir atau pasir berlumpur tanpa karang dan cangkang tiram, perairan bebas dari pengaruh air tawar dan dari aliran dari kegiatan di darat, pabrik, pertanian dan permukiman; dekat sumber benih dan pakan; mudah dijangkau transportasi.
“Selain itu, juga harus terlindung dari angin kencang dan ombak besar, tapi aliran pasang surut di bagian atas dan bawah kolom air masih cukup kuat. Kedalaman air terendah adalah 1,5 m pada saat surut,” kata Putro.
Pengembangan lobster harus dilaksanakan dalam tata kelola perikanan dengan menjunjung tinggi prinsip tanggung jawab dan berkelanjutan. “Syarat tersebut penting diterapkan, karena bisa mendukung kelestarian ekosistem perairan laut yang menjadi habitat benih lobster,” tutur dia.
Putro juga menjelaskan bahwa peluang lobster sebenarnya sangat cerah. Itu terbukti dengan adanya bantuan yang diberikan KKP berupa keramba dan jaring apung untuk memproduksi lobster hingga pada 2024. KKP sudah melihat keuntungan itu agar nelayan bisa menikmatinya.
Namun, kata Putro, kesiapan untuk mendistribusikannya juga harus disiapkan oleh KKP. Misalnya, dia memberikan contoh, di dalam negeri dengan harga jual Rp 200 ribu per kilogram, kemungkinan banyak yang tidak mampu, karena daging saja sekitar Rp 100 ribuan.
“Jadi harus dilihat juga akan dijual ke mana. Bagaimana kesiapan KKP dalam hal ini untuk bisa mempersiapkan panen yang besar. Jadi cerah, tapi ada PR yang harus diselesaikan, dan harus dipersiapkan dari sekarang,” tutur Putro.