TEMPO.CO, Jakarta - Muhammad Hatta, Zulfan, dan Srimulyani dalam penelitiannya berjudul “Autopsi Ditinjau dari Perspektif Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam” menyebutkan bahwa autopsi pertama kali dilakukan pada abad ke-3 oleh pakar autopsi dari Yunani bernama Erasistratus dan Herophilus.
Pada abad ke-13, Raja Frederik II dari Jerman memperkenalkan autopsi untuk kepentingan perkembangan pendidikan ilmu kedokteran. Autopsi untuk keperluan hukum kemudian diperkenalkan oleh Bartholomeo Devarignana pada tahun 1320 di Bologna, Italia.
Amri Amir dalam bukunya berjudul “Autopsi Medikolegal” mengatakan bahwa pada abad ke-13 dan 14, autopsi dijadikan sebagai suatu disiplin ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap mahasiswa Fakultas Kedokteran di seluruh dunia. Pengembangan ilmu anatomi melalui teknik autopsi kemudian dilakukan oleh Giovanni Morgagni pada 1682-1771. Karena perannya tersebut yang begitu penting dalam dunia pendidikan kedokteran, maka Giovanni dijuluki sebagai bapak Ilmu Anatomi dunia.
Pada abad ke-17, para pakar hukum di negara-negara Eropa mulai berpikir pentingnya ilmu autopsi untuk membuktikan penyebab hilangnya nyawa korban. Pemikiran ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh dokter dengan mengembangkan ilmu kedokteran untuk dapat membuktikan kesalahan pelaku kejahatan melalui ilmu autopsi.
Hasil autopsi tersebut kemudian dapat dijadikan sebagai alat bukti yang disampaikan oleh saksi ahli dalam suatu pengadilan. Penggunaan autopsi dalam pengadilan selanjutnya disebut dengan istilah Official Medicine, State Medicine, Medical Police dan Medical Jurisprudence. Sedangkan dalam dunia praktisi hukum, ilmu kedokteran yang digunakan untuk keperluan penegak hukum di pengadilan disebut dengan Medicolegal Science.
NAUFAL RIDHWAN ALY
Baca: Cari Tahu Istilah Autopsi dan Forensik dalam Kasus-kasus Kriminal