La Nina yang sudah dimulai sejak Juni 2020 memiliki potensi terus berlanjut hingga 2022. Jika kondisi ini terjadi, maka selama tiga tahun berturut-turut wilayah Indonesia akan mengalami La Nina sebagaimana pernah terjadi pada 2010-2012.
Faktor kedua yaitu potensi terbentuknya fenomena Indian Ocean Dipole (IOD) negatif pada periode kemarau tahun ini yang dapat mempengaruhi sifat basah khususnya untuk wilayah di barat Indonesia. Potensi IOD negatif ini dapat mengakibatkan berlanjutnya sifat basah selama periode kemarau bahkan juga selama periode sesudahnya. Peluang terbentuknya IOD negatif ini ditunjukkan oleh model dinamik milik badan meteorologi Australia.
Faktor ketiga terkait pembentukan vorteks atau pusaran angin dalam skala luas di Samudera Hindia selatan ekuator bagian tenggara dekat Sumatera dan Jawa yang memiliki kecenderungan bersifat persisten. Vorteks di selatan Samudera Hindia sekaligus menandakan pembentukan wilayah konvergensi di barat Indonesia sehingga memicu pertumbuhan awan pada skala lokal dan harian sehingga proses pembentukan hujan selama musim kemarau masih dapat terus berlangsung.
Selain itu, karena vorteks yang terpelihara terus dapat berubah menjadi bibit siklon tropis maka kecenderungan pembentukan siklon tropis di Samudera Hindia selatan ekuator dapat terus terjadi. “Sehingga menambah efek basah selama musim kemarau tahun ini,” katanya.
Faktor keempat yaitu menghangatnya suhu permukaan laut di perairan lokal Indonesia, khususnya di bagan tengah dan timur. Ini telah berperan dalam menyediakan bahan bakar uap air berlimpah sehingga hujan harian yang dibangkitkan oleh angin darat-laut memiliki dukungan kelembapan yang memadai.
Faktor kelima yaitu pergeseran 'kolam hangat' di wilayah Pasifik barat ekuator menuju ke arah barat sehingga saat ini yang menjadi pusat kelembapan dari 'kolam hangat' tersebut adalah wilayah Indonesia. Istilah 'kolam hangat' itu digunakan untuk menggambarkan pusat konveksi yang terjadi sepanjang tahun di sektor Indo-Pasifik meliputi wilayah barat Samudra Pasifik dan timur Indonesia. Pergeseran kolam hangat ke barat ini biasanya terjadi pada saat La Nina.
Meskipun demikian, kata Erma, terdapat indikasi pergeseran ke barat kali ini lebih karena terjadi anomali sirkulasi angin di lapisan atas. Kondisi itu berasosiasi pada aktivitas ekstra-tropis yang mempengaruhi wilayah tropis melalui Samudera Pasifik.
Baca juga:
Cuaca di Jakarta: Suhu 30 Terasa 37 Derajat Celsius, Ini Kata BMKG
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.