TEMPO.CO, Bandung - Musim hujan berpotensi terus berlanjut atau mengalami perpanjangan. Menurut peneliti pada Pusat Riset Iklim dan Atmosfer Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin, musim hujan yang seharusnya berakhir pada Maret dan berubah menjadi periode transisi hingga Mei menuju musim kemarau ternyata tidak terjadi.
Berdasarkan data satelit hujan atau Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP), akumulasi rata-rata intensitas curah hujan selama 10 harian atau dasarian masih berkisar 100-300 milimeter selama satu bulan terakhir di sebagian besar wilayah Indonesia. Kondisi basah di selatan Indonesia sejak akhir Maret hingga pertengahan April bahkan terus terjadi meskipun siklon tropis Malakas yang terbentuk dekat Filipina telah berdampak pada kondisi minim awan (clear sky) di barat Indonesia.
Hal itu menunjukkan aktivitas konvektif skala meso atau luas yang berpotensi menimbulkan hujan persisten tidak terjadi di barat Indonesia. Meski begitu, hujan di sebagian besar kawasan barat Indonesia seperti Jawa, Sumatera, dan Kalimantan tetap terbentuk hampir setiap hari berupa hujan diurnal siang, sore, atau malam di atas daratan.
"Hujan harian atau diurnal ini lebih dipengaruhi oleh penguatan sirkulasi diurnal angin darat-laut atau angin gunung-lembah," ujarnya lewat keterangan tertulis, Senin 18 April 2021.
Indikasi hujan diurnal yang dibangkitkan oleh angin laut ini dapat pula diketahui dari pembentukan awan-awan cumulus tunggal yang terbentuk pada pagi menjelang siang sekitar pukul 09.00 WIB. Seiring dengan pemanasan radiasi matahari yang optimal pada siang, awan-awan tersebut pun tumbuh meninggi dan menyatu dengan awan-awan stratus di lapisan atasnya yang telah terbentuk merata di atmosfer pada hari-hari sebelumnya.
Di sisi lain, angin musim kemarau sudah mulai terbentuk khususnya di tenggara Indonesia meskipun tidak disertai dengan pengurangan intensitas hujan untuk sebagian besar wilayah Indonesia. “Hal ini membuktikan bahwa angin monsun tidak lagi menjadi penentu utama sifat musim hujan atau kemarau di Indonesia,” kata Erma.
Kondisi itu, menurutnya, telah dibuktikan selama beberapa tahun belakangan ini. Erma menuturkan, terdapat variasi di atmosfer dengan skala intra-musiman (sub-seasonal) dan antar-tahunan (inter-annulal) yang lebih dominan dalam mengontrol musim di Indonesia akhir-akhir ini.
Ada 5 faktor di balik perpanjangan musim hujan
Menurut Erma, perpanjangan musim hujan atau kecenderungan musim kemarau basah yang dapat terjadi di sebagian Pulau Jawa bagian tengah dan selatan pada tahun ini disebabkan oleh beberapa faktor utama. Pertama, peluang terjadinya perpanjangan La Nina hingga Mei 2022 dan bahkan mungkin terus berlanjut lebih panjang lagi.