Di atas kapal, mereka membawa bensin dan genset agar alat USG bisa menyala. Di sana, akses listrik belum masuk.
"Persalinan itu melibatkan dua nyawa, sehingga kami datang untuk merangkul mama biang (dukun), ibu kader, dan ibu hamil sebagai keluarga. Sebelum ke pasien, kami menjalin kedekatan emosional dengan mama biangnya. Dengan memberikan forceps, underpad, dan alat persalinan steril lainnya,"ujarnya.
Tak hanya membantu persalinan, Amira dan tim yang juga berasal dari Dinas Kesehtan membantu mengurus administrasi BPJS.
Seiring berjalannya waktu, pelayanan door to door membuahkan hasil. Tak ayal, 60 persen angka kematian ibu dan anak (AKI) teratasi, mama biang-pun teredukasi. Sejumlah pasien yang persalinannya dibantu Amira memberi nama anaknya Amira sebagai bentuk terima kasih.
“Meski saya di sini seorang diri, tetapi tidak pernah merasa sendiri. Karena guru-guru saya di Unair kerap memberi kabar dan menawarkan bantuan. Jadi jangan pernah menyerah pada keadaan, segelap-gelap jalan, pasti di ujungnya ada cahaya yaitu cahaya diri sendiri. Tidak harus jadi sempurna, cukuplah jadi berguna bagi sesama,” pesannya.
Ia juga berpesan kepada tenaga kesehatan dan pemangku kebijakan yang berada di kota besar agar bisa merangkul tempat terpencil, baik di Papua, Papua Barat atau daerah lainnya yang masih membutuhkan tenaga kesehatan. “Stigma papua penuh konflik akan patah jika berada di sini, karena komunikasi menjadi kunci,’’ katanya.
Pilihan Editor: Kisah Prakoso: 2 Kali Gagal Masuk Unpad Kini Raih Gelar Doktor dengan IPK 4