TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah tingginya polusi udara di perkotaan, kegiatan olahraga di luar ruangan seperti perlombaan lari masih marak dilaksanakan. Hal ini menjadi salah satu poin pembahasan dalam webinar yang digelar aplikasi penyedia data kualitas udara di Jakarta, Nafas. Diskusi itu mengangkat persoalan lonjakan polusi di bulan Juli yang diselenggarakan pada Selasa, 8 Agustus 2023.
CEO Nafas, Piotr Jakubowski, memaparkan tentang risiko berolahraga di tempat dengan polusi udara tinggi. Dia mengacu pada studi oleh Seoul National University (SNU) yang menemukan orang-orang berusia 20 – 35 tahun yang sudah berolahraga selama 10 tahun di area dengan tingkat PM2.5 di atas 26 memiliki risiko penyakit jantung lebih tinggi.
Melansir dari situs Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), PM2.5 atau particulate matter adalah partikel udara yang berukuran lebih kecil dari atau sama dengan 2.5 mikrometer. PM2.5 adalah polutan yang bisa meningkat karena udara panas, kebakaran, dan polusi. Jika dihirup, partikel ini bisa berbahaya bagi kesehatan.
Sementara itu, data menunjukkan rata-rata kualitas udara Tangerang Selatan, Bogor, Bandung, DKI Jakarta, dan Yogyakarta konsisten melampaui batas PM2.5 tersebut selama dua bulan terakhir.
“Tahun 2022, ada studi dari SNU yang menyebut orang yang berolahraga rutin selama sepuluh tahun di luar ruangan dengan PM2.5 di atas 26 memiliki risiko terkena penyakit jantung 33 persen lebih tinggi dibandingkan yang tidak berolahraga sama sekali,” paparnya.
Piotr kemudian menambahkan bahwa ini bukan berarti masyarakat perkotaan harus berhenti berolahraga. Menurutnya, berolahraga tetap penting, tetapi dianjurkan untuk memperhatikan kondisi sekitar saat olahraga.
Menurut data yang dihimpun oleh Nafas, rata-rata waktu pelaksanaan lomba lari adalah pukul 05:00 dini hari sampai pukul 12:00 siang. Dalam pemaparannya, ditunjukkan tingkat PM2.5 di tiap acara lomba lari yang diadakan di perkotaan seperti Jakarta, Depok, dan Bandung.
Ditemukan bahwa dari empat lomba lari di tiga kota, hanya lomba lari di Depok pada 16 Juli lalu yang kualitas udaranya cukup baik pada saat pelaksanaan lomba.
“Tapi di sini kami bisa lihat lomba lari tanggal 9 Juli dari Cakung ke Jakarta Garden City ternyata PM2.5-nya waktu itu bisa sampai 100 di jam 8 pagi,” terangnya. “Ini sudah jauh di atas batas (dari SNU).”
Satu hal menarik, menurutnya, adalah acara Car Free Day (CFD) yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun tiap hari Minggu. Di CFD, masyarakat bisa menikmati jalan-jalan dan olahraga tanpa terganggu kendaraan bermotor. Salah satu harapan diadakannya CFD adalah penurunan polusi. Namun, Piotr mengemukakan temuan yang menunjukkan sebaliknya.
“Dari sisi penurunan polusinya itu enggak begitu berpengaruh, karena polusi di hari Minggu bisa tinggi juga. Dan kadang-kadang dari Juni sampai Juli, rata-ratanya di hari Minggu saat jam olahraga itu bisa jauh di atas rekomendasi PM2.5 hasil studi SNU,” kata dia.
Tips Berlari di Tengah Polusi
Piotr menegaskan, “Hal yang penting untuk kita lakukan sebelum lari adalah selalu cek kualitas udara untuk bisa menyesuaikan aktivitas lari dengan polusi yang ada.”
Dia pun memberikan tiga rekomendasi utama bagi masyarakat perkotaan yang ingin berolahraga di tengah-tengah kualitas udara yang buruk.
Nafas tidak merekomendasikan berolahraga di luar saat polusi sedang tinggi. Namun, jika tetap berolahraga, masyarakat dianjurkan mempertimbangkan hal-hal berikut yakni cari waktu dan tempat yang tingkat polusinya rendah, persingkat durasi olahraga, dan pakai masker N95 atau sports mask untuk membantu mengurangi paparan polusi PM2.5.
Pilihan Editor: Banyak Kampus Bikin Fakultas Kedokteran, Bagaimana Rencana ITB?