TEMPO.CO, Jakarta - Melani Budianta, aktivis dan Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI), menerima penghargaan Sarwono Award 2023 yang dianugerahkan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Penyerahan penghargaan dilakukan oleh Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko di Jakarta pada Rabu, 23 Agustus 2023.
Sarwono Award merupakan sebuah penghargaan prestasi seumur hidup yang diberikan kepada individu yang memiliki prestasi dan kontribusi luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki dampak penelitian yang dimanfaatkan oleh masyarakat, baik melalui Kekayaan Intelektual (KI) maupun bentuk penelitian lainnya melalui kolaborasi dengan mitra.
Di hadapan para tamu yang hadir di Gedung B.J. Habibie, Melani menerima Sarwono Award sebagai penghargaan terhadap kerja sosial humaniora lintas batas dan kerja budaya di akar rumput yang sering kali tidak nampak.
“Di saat kebudayaan sering kali direduksi menjadi komoditi yang dijual sebagai produk-produk wisata atau dianggap sebagai pemanis biasa, penghargaan ini sungguh merupakan peneguhan,” tutur Melani dalam sambutannya.
Dia merasa bersyukur, karena menurutnya melalui penghargaan ini proses untuk membangun ketangguhan budaya lantas diafirmasi.
“Sekalipun mengembangkan teknologi canggih maupun memiliki laju ekonomi tinggi, tanpa ketangguhan budaya Indonesia akan menjadi bangsa yang kehilangan rohnya,” ujarnya.
Dia menutup sambutannya dengan mengatakan bahwa ilmu sosial humaniora transdisiplin yang meretas batas keilmuan perlu terus didukung untuk mengembangkan secara kreatif kekayaan budaya yang majemuk, inklusif, dan berbasis kepada kemanusiaan.
Profil Melani Budianta
Melani yang lahir di Malang, 16 Mei 1954 sedari kecil sudah menyukai sastra. Meski sempat ditentang orang tua dan pada bangku SMA mengambil jurusan alam, dia memutuskan untuk masuk Fakultas Sastra UI. Kini, dia menjadi Guru Besar FIB di almamaternya, UI.
Masa pendidikannya banyak dia tempuh di luar negeri. Usai studi S1 di UI pada 1979, dia terbang ke Amerika Serikat untuk memperoleh gelar master’s dalam bidang Kajian Amerika di University of Southern California pada 1981. Masih di Amerika, gelar PhD dalam bidang Sastra Inggris dia raih dari Cornell University pada 1992.
Perempuan dengan nama lahir Tan Tjiok Sien ini bukan hanya seorang akademisi, melainkan juga aktivis dalam gerakan perempuan. Dia turut mendirikan Suara Ibu Peduli, kelompok perempuan yang berperan dalam era Reformasi 1998 lewat “Politik Susu” yang menggugat dampak kebijakan ekonomi pemerintah terhadap anak-anak dan perempuan. Kelompok ini turut menyokong aksi mahasiswa 1998 dengan menyalurkan nasi bungkus, uang, obat-obatan, dan tenaga mereka.
Menurut Melani, perjalanan keilmuannya ulang-alik dari sastra, ke kajian budaya, hingga komunitas. Dalam sambutannya, dia menceritakan momen-momen transformatif dalam perjalanan hidupnya yang diawali ketika menjadi mahasiswa FSUI di Rawamangun, Jakarta.
Dahulu, dia sempat membawa satu kotak buku yang dikumpulkan dari teman-teman mahasiswa dan alumni—ada satu orang yang bekerja di penerbitan—untuk anak-anak yang kurang mendapatkan akses pendidikan di sebuah gang di Tanah Abang. Ini dia sebut sebagai krisis pertamanya sebagai ilmuwan.
“Pengalaman itu menyadarkan saya bahwa teori dan metode yang saya pelajari dari buku dan bangku kuliah bubar ketika menghadapai kenyataan kesenjangan di lapangan,” katanya.
Guncangan kedua dalam hidupnya muncul pada 1998, bersamaan dengan krisis multidimensi dan berbasis gender serta ras yang meradang di Indonesia. “Krisis kedua menyadarkan saya bahwa membangun pengetahuan tidak lengkap jika tidak diikuti dengan aktivisme untuk melakukan intervensi di masyarakat,” ucapnya.
Pada 2016 sampai 2017, guncangan di hidupnya kembali muncul saat menghadapi konservatisme dan politik identitas yang memecah belah. Dia mengatakan saat itu, gaya hidup kompetitif berbasis ranking dan kapitalisasi ruang-ruang publik mempersempit sarana membangun kebersamaan. Saat itulah dia terhubung dengan Jejaring Budaya Kampung.
“Teman-teman yang bergelut di berbagai kondisi dari desa di Jember sampai Poso, Tangerang sampai Tenggarong mengajak saya berkolaborasi dan belajar dengan masyarakat, menghimpun kembali sumber daya budaya yang ada dan berkreasi mencari solusi,” tuturnya.
Menurutnya, dengan sastra kita bisa melihat Indonesia lebih jauh. Sebagai warga Indonesia, tidak semua dari kita pernah bertemu dengan berbagai macam kelompok yang ada di negeri ini. Hal ini, dia menerangkan, dapat membatasi pandangan hidup.
“Kalau kita sendiri-sendiri dalam konteks budaya kita sendiri, maka kita akan terkungkung oleh nilai-nilai kita dan tidak bisa memahami satu sama lain,” jelasnya saat konferensi pers.
Dia menyebut sastra, termasuk media seperti film dan koran, menjadi sarana sangat penting untuk membangun ke-Indonesia-an. Mengutip Benedict Anderson, dia menyebut negara sebagai suatu komunitas yang harus dibayangkan.
“Bagaimana membayangkannya? Antara lain melalui karya sastra yang bisa membuat orang paham persoalan dan merasa berempati,” kata dia.
Pilihan Editor: Beasiswa Teladan Tanoto Foundation Dibuka sampai Oktober, Simak Persyaratannya