TEMPO.CO, Jakarta - Ketika dunia sedang berjuang untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil, para ilmuwan sedang mempelajari apakah geoengineering atmosfer dapat membantu membatasi pemanasan global dan mencegah bencana iklim.
Salah satu metode yang potensial, mengutip Reuters, adalah manajemen radiasi matahari (solar radiasi manajemen/SRM). Metode ini berupaya untuk memantulkan sinar matahari kembali ke ruang angkasa. Usulan yang paling terkenal adalah dengan meledakkan sulfur dioksida – zat pendingin – ke atmosfer yang lebih tinggi.
Perdebatan mengenai kemanjurannya terus meningkat, Amerika Serikat, Eropa dan beberapa kelompok lingkungan hidup angkat bicara mengenai peluang dan risikonya. Saat ini diskusi yang ada sebagian besar masih bersifat teoretis, dan hanya ada sedikit proyek skala kecil yang beroperasi.
Teknologi apa?
Ide untuk menyuntikkan sulfur dioksida (SO2) ke atmosfer bukanlah hal baru. Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional AS mengusulkan gagasan ini sejak tahun 1992, sementara para ilmuwan telah mendokumentasikan letusan gunung berapi, yang mengeluarkan sejumlah besar SO2 ke udara, mempunyai efek pendinginan pada planet ini.
Upaya untuk menghilangkan SO2 sebagai polutan udara yang berbahaya di Tiongkok dan negara lain selama satu dekade terakhir telah mengurangi efek pendinginan dan “terbukanya” panas yang disebabkan oleh gas rumah kaca, sehingga berkontribusi terhadap kenaikan suhu global.
Perusahaan rintisan yang berbasis di AS, Make Sunsets, salah satu dari sedikit usaha komersial yang terlibat dalam sektor ini, merilis dua balon cuaca yang mengandung sulfur dioksida di Meksiko tahun lalu, sehingga mendorong pemerintah Meksiko untuk melarang aktivitas tersebut pada bulan Januari.
Pendiri perusahaan Luke Iseman mengatakan kepada Reuters bahwa memulai proyek di Amerika Serikat lebih "mudah" dan 30 peluncuran telah dilakukan, didanai dengan menjual "kredit pendingin" kepada pelanggan.
Namun selain Make Sunsets, sejauh ini hanya sejumlah kecil proyek penelitian lain yang telah dilakukan, termasuk peluncuran balon cuaca ketinggian di tenggara Inggris pada tahun 2022 untuk menguji kelayakan peralatan injeksi aerosol.
Beberapa proyek lain telah dibatalkan karena penolakan publik, termasuk usaha Universitas Harvard dan Perusahaan Luar Angkasa Swedia pada tahun 2021.
Penelitian telah dilakukan terhadap teknologi SRM lain yang berpotensi tidak terlalu berbahaya, termasuk pencerah awan laut, yang melibatkan penyemprotan air laut dari kapal untuk membuat awan lebih reflektif.
Meskipun metode ini tidak terlalu mengganggu dan tidak terlalu merusak dibandingkan injeksi aerosol stratosfer, metode ini terbukti lebih mahal dan terlalu boros energi, kata Benjamin Sovacool, Profesor Bumi dan Lingkungan di Universitas Boston, yang telah mempelajari potensi penerapannya di Great Barrier Reef.
Kekhawatiran kritikus
Puluhan ilmuwan menyerukan “penilaian internasional yang komprehensif” terhadap penggunaan SRM untuk memahami risiko yang ada, dan peraturan yang mungkin diperlukan untuk menerapkan teknologi tersebut dalam skala yang lebih luas.
Mereka mengatakan dalam sebuah surat yang diterbitkan pada bulan Februari, kecil kemungkinan emisi karbon dapat dikurangi atau dihilangkan dengan cukup cepat untuk menjaga kenaikan suhu di bawah 2 derajat Celcius dan bahwa intervensi SRM dapat dilakukan bila diperlukan untuk menghindari titik kritis iklim.
Penentang metode ini mengatakan meski suntikan aerosol sulfat dapat mendinginkan planet ini, efek sampingnya bahkan lebih merusak. Satu kelompok yang terdiri dari 60 ilmuwan meluncurkan inisiatif global tahun lalu yang bertujuan untuk membujuk pemerintah agar melarang eksperimen geoengineering tenaga surya di luar ruangan.
Kelompok tersebut memperingatkan risiko SRM terlalu besar dan dapat berdampak pada pola cuaca, pertanian, dan “penyediaan kebutuhan dasar pangan dan air”.
Para kritikus menunjuk pada model yang menunjukkan SRM dapat mengganggu musim hujan dan menyebabkan kekeringan di Afrika dan Asia. Ada pula yang berpendapat bahwa hal ini juga dapat memperlambat pemulihan lapisan ozon atau menyebabkan lonjakan hujan asam yang berbahaya.
Teknologi ini bahkan bisa dijadikan senjata oleh “negara nakal” atau perusahaan swasta yang tidak bermoral dan menciptakan ancaman geopolitik dan keamanan baru, Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP) memperingatkan dalam sebuah laporan yang diterbitkan tahun ini.
Para penentang juga khawatir teknologi ini dapat menjadi alasan untuk menunda peralihan menuju emisi gas rumah kaca yang nol. Yang terpenting, meskipun intervensi SRM berhasil menurunkan suhu, hal ini tidak akan memperbaiki konsekuensi lain dari peningkatan kadar CO2, seperti pengasaman laut.
“Penting bagi masyarakat untuk memahami teknologi SRM tidak menyelesaikan krisis iklim karena teknologi tersebut tidak mengurangi emisi gas rumah kaca atau membalikkan dampak perubahan iklim,” kata Andrea Hinwood, kepala ilmuwan UNEP.
Dampaknya juga hanya bersifat jangka pendek, sehingga meningkatkan kemungkinan negara-negara terpaksa menerapkan SRM selama berabad-abad.
“Setelah Anda berkomitmen, Anda harus terus melakukannya,” kata Laura Wilcox, pakar iklim di Universitas Exeter, Inggris. “Jika kita berhenti, maka kita akan melihat semua pemanasan yang telah kita lewatkan, pada dasarnya dalam skala waktu iklim dalam semalam. Jadi ini adalah permainan yang berbahaya.”
Pilihan Editor: Banyak ASN Akan Pindah IKN, Anak Sekolah di Mana? Ini Jawab Jokowi
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.