TEMPO.CO, Jakarta - Hasil penelitian Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan nyamuk Aedes Aegypti mengandung Wolbachia bukan hasil modifikasi genetik (non-genetic modifying organism/non-GMO).
Pernyataan itu disampaikan Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Siti Nadia Tarmizi dikonfirmasi di Jakarta, Jumat, 17 November 2023.
"Tidak. Sebab sudah ada penelitian dan kajian risiko," kata dia saat dikonfirmasi atas beredar kabar bahwa Wolbachia berisiko memicu penyakit baru yang berbahaya bagi kesehatan manusia karena faktor modifikasi genetik.
Dalam berkas laporan Pusat Kedokteran Tropis UGM yang dibagikan Nadia kepada wartawan disebutkan bakteri Wolbachia yang dimasukkan ke dalam tubuh Aedes Aegypti identik dengan Wolbachia yang ada di inang aslinya, yaitu Drosophila Melanogaster atau jenis serangga bersayap yang masuk ke dalam ordo Diptera, umumnya dikenal sebagai lalat buah.
Selain itu, Office of the Gene Technology Regulator (OTGR) Australia telah menyatakan bahwa nyamuk Aedes Aegypti yang memiliki Wolbachia tidak dipertimbangkan sebagai GMO.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (US-CDC) di laman situsnya juga menyatakan bahwa nyamuk dengan Wolbachia bukan merupakan modifikasi genetik.
Selain itu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan Wolbachia sebagai produk pengendalian vektor baru yang masuk dalam kelas pengendalian secara biologi.
Pusat Kedokteran Tropis UGM juga memastikan tidak ada perbedaan jumlah nyamuk Aedes Aegypti sebelum dan sesudah jentik nyamuk mengandung Wolbachia dilepaskan.
Dalam laporannya, disebutkan aspek keamanan Wolbachia di Indonesia diuji oleh Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) beserta Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes RI pada 2016 dengan membentuk 20 anggota tim independen dari berbagai kepakaran.
"Kesimpulan penilaian risiko pelepasan Wolbachia di Yogyakarta adalah pelepasan nyamuk Aedes Aegypti ber-Wolbachia masuk pada risiko sangat rendah, di mana dalam 30 tahun ke depan peluang peningkatan bahaya dapat diabaikan," demikian petikan dalam laporan tersebut.
Wolbachia juga tidak menginfeksi manusia, tidak terjadi transmisi horizontal terhadap spesies lain dan tidak mencemari lingkungan biotik dan abiotic.
Peningkatan jumlah nyamuk Aedes Aegypti di area pelepasan hanya terjadi saat periode pelepasan.
Nadia mengatakan penelitian teknologi Wolbachia dilakukan di Yogyakarta selama 12 tahun pada kurun 2011-2023.
Tahapan penelitian terdiri atas fase kelayakan dan keamanan (2011-2012), fase pelepasan skala terbatas (2013-2015), fase pelepasan skala luas (2016-2020), dan fase implementasi (2021-2022).
"Di dunia, studi pertama Aplikasi Wolbachia untuk Eliminasi Dengue (AWED) dilakukan di Yogyakarta dengan desain Cluster Randomized Controlled Trial (CRCT), sebuah desain dengan standar tertinggi," katanya.
Hasil studi AWED menunjukkan bahwa nyamuk Aedes Aegypti ber-Wolbachia mampu menurunkan kasus dengue sebesar 77,1 persen dan menurunkan rawat inap karena dengue sebesar 86 persen.
Dari hasil studi tersebut dan hasil di beberapa negara lain yang menerapkan teknologi WMP, kata dia, teknologi Wolbachia untuk pengendalian dengue telah direkomendasikan oleh WHO Vector Control Advisory Group.
Ada penolakan di Bali
Sebelumnya, rencana pelepasan 200 juta telur nyamuk yang terinfeksi bakteri Wolbachia di Denpasar, Bali, yang dijadwalkan 13 November 2023 mengundang banyak penolakan. Pelepasan ini diumumkan secara informal melalui Instagram oleh Pemda Denpasar hanya satu bulan yang lalu. Namun, dampak yang tidak terduga terhadap kesehatan manusia dan lingkungan akan bersifat permanen.
Salah satu upaya penolakan adalah munculnya petisi seperti yang dilakukan oleh Gladiator Bangsa. Mereka mengundang masyarakat yang peduli terhadap masalah kesehatan dan lingkungan di Bali maupun di seluruh dunia untuk menambahkan suara pada petisi tersebut.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan. Penyebaran jutaan nyamuk tersebut dinilai berdampak besar terhadap pariwisata. Strategi Program Nyamuk Dunia (World Mosquito Program) untuk terus menerus mengembangkan bakteri Wolbachia ke dalam tubuh nyamuk menyebabkan penduduk Bali dan wisatawan harus siap menerima tambahan ratusan juta gigitan nyamuk.
Nyamuk harus mendapatkan pakan darah sebelum dapat menghasilkan telur. Setiap nyamuk betina akan memproduksi 100 telur, tiga kali selama masa hidup dewasanya.
Mereka juga mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab atas pelepasan nyamuk di Bali tersebut. Apakah Program Nyamuk Dunia (World Mosquito Program), para peneliti, penyandang dana, produsen telur nyamuk, dan perguruan tinggi yang melakukan penelitian akan bertanggung jawab jika terjadi kesalahan atau program ini memberikan dampak negatif. Belum lagi penyakit dan kerusakan yang ditimbulkan hampir tidak mungkin dilacak.
Keberatan lain adalah fakta eskalasi ancaman demam berdarah di Sri Lanka setelah pelepasan nyamuk. Di sana terjadi peningkatan larva nyamuk sehingga kasus demam berdarah naik dua kali lipat sejak pelepasan nyamuk secara massal pada 2021. Begitu menurut keterangan yang diterima Tempo.
Pilihan Editor: Pro & Kontra Nyamuk Wolbachia, Usai Ada Penolakan di Bali, Ini Sikap Daerah Lain
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.