Tempo.co, Jakarta : Sebuah tinjauan terhadap makalah dari penulis di Brigham and Women's Hospital Boston, Amerika Serikat, dan kolaborator internasionalnya, yang dilansir medicalxpress.com, menyimpulkan bahwa menopause tidak meningkatkan risiko depresi dan kondisi kesehatan mental lainnya.
Menopause telah lama dianggap sebagai penyebab tekanan psikologis. Namun hasil tinjauan baru ini, yang dipublikasikan di jurnal The Lancet, menunjukkan bahwa hal ini tidak selalu terjadi.
Penulis penelitian ini tidak menemukan bukti bahwa menopause secara universal menyebabkan peningkatan risiko kondisi kesehatan mental, termasuk gejala depresi, gangguan depresi mayor, kecemasan, gangguan bipolar, dan psikosis pada semua wanita.
Namun, para peneliti menemukan bahwa kelompok tertentu lebih berisiko mengalami kesehatan mental selama menopause: individu lebih cenderung melaporkan gejala depresi jika mereka sebelumnya pernah mengalami depresi; jika tidur mereka sangat terganggu karena rasa panas di malam hari; atau jika mengalam peristiwa kehidupan yang penuh tekanan bersamaan dengan menopause.
Para peneliti itu juga mengatakan, selain menciptakan ekspektasi negatif bagi orang-orang yang mendekati masa menopause, potensi kesalahan pengaitan antara tekanan psikologis dan gangguan kejiwaan dengan menopause dapat merugikan perempuan. Sebab, itu bisa menundanya mendapatkan diagnosis dan pengobatan yang akurat.
"Pesan yang dapat disampaikan kepada wanita dan dokternya adalah kita tidak boleh berasumsi bahwa jika seseorang mengalami gejala kesehatan mental selama transisi menopause, maka kedua hal tersebut saling berkaitan," kata rekan penulis senior dari studi ini, Hadine Joffe, Direktur Eksekutif Pusat Kesehatan Wanita Connors di Rumah Sakit Brigham.
"Kami tidak ingin menyangkal fakta bahwa beberapa orang akan mengalami gejala kesehatan mental selama transisi menopause, namun hal ini bukan jaminan," kata Hadine Joffe.
Transisi menopause, yaitu waktu sejak seseorang mulai mengalami perubahan hormonal dan menstruasi hingga siklus menstruasi terakhirnya, dapat berlangsung selama empat hingga sepuluh tahun dan rata-rata dimulai pada usia 47 tahun.
Meskipun menopause sering dianggap melelahkan secara emosional karena fluktuasi hormonal, masa hidup ini juga bertepatan dengan adanya stres di usia paruh baya dan peristiwa kehidupan yang besar, seperti perubahan dalam berbagai jenis hubungan atau pekerjaan, sehingga sulit untuk memisahkan kontribusi relatif dari faktor-faktor tersebut.
Untuk menyelidiki apakah ada hubungan antara transisi menopause dan kondisi kesehatan mental, para peneliti meninjau penelitian sebelumnya yang mengamati gejala depresi, gangguan depresi mayor, kecemasan, gangguan bipolar, dan psikosis selama menopause.
Mereka lebih menekankan studi prospektif yang meneliti kesehatan mental pra-menopause serta selama atau setelah transisi, termasuk beberapa penelitian yang dilakukan di Mass General Brigham.
Mereka menemukan bahwa meskipun beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara timbulnya gejala depresi dan menopause, depresi klinis yang lebih parah selama menopause hanya terjadi pada individu yang sebelumnya telah didiagnosis dengan kondisi tersebut. "Jika Anda belum pernah mengalami depresi berat sebelumnya, kemungkinan besar Anda tidak akan mengalami episode pertama depresi klinis selama transisi menopause," kata Joffe.
Gejala depresi juga lebih sering diamati pada individu yang mengalami transisi menopause yang sangat lama, individu yang mengalami gangguan tidur parah karena panas di malam hari, dan individu yang mengalami peristiwa kehidupan yang penuh tekanan dalam enam bulan sebelum pemeriksaan.
Para peneliti tidak menemukan bukti kuat bahwa risiko kecemasan, gangguan bipolar, atau psikosis secara universal meningkat selama transisi menopause, meskipun terdapat beberapa literatur mengenai hubungan antara kondisi ini dan menopause.
Sebagian besar penelitian tentang menopause dilakukan di negara-negara berpendapatan tinggi. Namun masih belum jelas bagaimana hasil penelitian ini dapat diterapkan di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Masih sedikit informasi yang diketahui tentang bagaimana menopause berdampak pada transgender dan beragam gender.
Para peneliti ini juga menambahkan, hasil kajian ini juga menunjukkan bahwa terapi hormonal bukanlah pengobatan lini pertama yang tepat untuk orang yang mengalami depresi klinis selama menopause. Sebaliknya, ketika pasien datang dengan gejala kesehatan mental selama menopause, dokter harus mempertimbangkan latar belakang mereka, diagnosis kesehatan mental sebelumnya, dan situasi kehidupannya saat ini.