TEMPO.CO, Bandung - Kasus demam berdarah dengue (DBD) tengah melonjak di Jawa Barat. Fenomena iklim El Nino, yang menguat tahun lalu, dinilai sebagai salah satu pemicunya.
Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat, Raden Vini Adian Dewi, menyatakan telah menerima laporan dari pemerintah kota/kabupaten di Jawa Barat. Per 8 Maret 2024, jumlah kasus DBD mencapai 7.543 kasus. Angka ini hampir separuh dari jumlah kasus DBD di Jawa Barat sepanjang 2023. "Kalau kita lihat di 2023 kemarin secara total setahun itu ada 19 ribu kasus,” kata Vini pada Jumat, 8 Maret 2024.
Data Dinas Kesehatan Jawa Barat mencatat sebanyak 4.235 kasus DBD pada Januari 2024, melonjak lebih dua kali lipat dibandingkan Januari tahun lalu yang hanya 1.963 kasus. Sedangkan pada Februari 2024 jumlah kasus DBD mencapai 3.231 kasus, juga berlipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Vini menilai lonjakan kasus DBD tahun ini dipengaruhi oleh perubahan musim selepas kemarau yang dipengaruhi El Nino. “Kemarin kita mengalami El Nino, kasusnya kekeringan. Sekarang kita mengalami La Nina justru lebih ke arah basah. Di perbuahan musim, dari cuaca panas menuju hujan atau sebaliknya, perindukan nyamuk ini akan semakin meningkat,” kata dia.
Menurut Vini, pasien meninggal akibat DBD juga relatif tinggi, totalnya sekitar 70 kasus kematian di 27 kabupaten/kota. "Kasus yang paling tinggi di Kabupaten Subang, Kabupaten Bandung Barat, serta Kota Bogor,” ujarnya.
Vini menyatakan sudah mengirimkan surat edaran kepada seluruh pemerintah kabupaten/kota di Jawa Barat agar mewaspadai lonjakan kasus DBD sejak akhir tahun lalu dan melakukan upaya preventif untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut. Instruksi kewaspadaan juga dilayangkan kepada fasilitas layanan kesehatan, mulai dari Puskesmas sampai dengan rumah sakit.
Staf Divisi Infeksi dan Penyakit Tropis Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Djatnika Setiabudhi, mengatakan RSHS sudah mengantisipasi terjaddinya lonjakan kasus DBD. Setiap ruangan rawat inap kini disiagakan agar bisa setiap saat digunakan untuk merawat pasien DBD jika terjadi lonjakan kasus. “Namun saat ini belum sampai ke kondisi seperti 2019 yang saat itu sampai di velbed, sampai pasang tenda di Hasan Sadikin, karena kasus sangat membludak. Saat ini masih bisa diatasi,” ujarnya.
Djatnika mengatakan, kasus kematian pada pasien DBD umumnya terjadi karena kondisi infeksi dengue sudah berat. Kementerian Kesehatan telah membuat panduan untuk membagi kategori pasien DBD dalam tiga kategori, yakni Dengue dengan Tanpa Tanda Bahaya, Dengue dengan Tanda Bahaya, dan Dengue Berat. Kategori tersebut dibuat untuk memudahkan perawatan pasien dan mencegah kasus kematian.
Pada kategri Dengue Berat, penyakit DBD masuk ke dalam fase kritis, dengan cairan tubuh sudah keluar dari pembuluh darah. "Sehingga menyebabkan shock atau renjatan, gangguan ke otak, ke ginjal, dan sebagainya, dan bisa menyebabkan perdarahan hebat. Bisa muntah darah dan itu yang paling sering menyebabkan kematian. Jadi terjadi kebocoran plasma, istilahnya,” kata Djatnika.
Djatinika mengatakan, cairan yang keluar dari pembuluh darah tersebut tidak terlihat kasat mata di tubuh pasien sehingga memerlukan pemeriksaan laboratorium. Tak hanya itu, kasus DBD bisa menjadi kasus Dengue Berat jika pasien juga memiliki faktor risiko yang bisa menyebabkan infeksi Dengue Berat. Faktor risiko yang dimaksud di antaranya berupa pasien anak berusia kurang dari 1 tahun; anak atau remaja dengan obesitas; perempuan menstruasi dengan riwayat penyakit mag berat; anak-anak dengan penyakit kronis seperti ginjal, hati, leukimia, serta jantung; serta anak-anak yang sedang mendapt pengobatan jangka panjang penyakit konskoroid.
“Itu semua bisa menyebabkan infeksi ini berat, sehingga meskipun anak atau remaja masuk kriteria tanpa tanda bahaya, tetapi kalau ada faktor-faktor itu, sebaiknya dirawat karena akan jadi berat,” kata Djatnika.