TEMPO.CO, Jakarta - IQAir, organisasi pemantau kualitas udara asal Swiss, menyebut hanya tujuh negara yang memenuhi standar kualitas udara internasional. Dari 134 negara dan wilayah yang disurvei dalam laporan ini, hanya tujuh negara yang memenuhi batasan pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk partikel kecil di udara yang dikeluarkan oleh proses industri, mobil, dan truk. Tujuh negara itu masing-masing: Australia, Estonia, Finlandia, Grenada, Islandia, Mauritius, dan Selandia Baru.
Dalam laporan IQAir, kualitas udara sebagian besar wilayah di Indonesia masih di atas ambang batas aman WHO. Satu daerah yang disebut "aman" kualitas udaranya, yaitu sesuai ambang batas WHO, adalah Mamuju, salahs atu kabupaten di Sulawesi Selatan.
Sebagian besar negara gagal memenuhi standar PM2.5 ini, sejenis jelaga mikroskopis yang berukuran lebih kecil dari lebar rambut manusia yang jika terhirup dapat menyebabkan banyak sekali masalah kesehatan. Seperti dilansir media Inggris Guardian, laporan IQAir itu berdasarkan data dari lebih dari 30.000 stasiun pemantauan di seluruh dunia.
Meskipun udara dunia secara umum jauh lebih bersih dibandingkan abad-abad yang lalu, masih ada tempat-tempat yang tingkat polusinya sangat berbahaya. Menurut laporan IQAir, negara yang paling berpolusi adalah Pakistan, dengan tingkat PM2.5 14 kali lebih tinggi dibandingkan standar WHO. Peringkat berikutnya adalah India, Tajikistan, dan Burkina Faso.
Bahkan di negara-negara kaya dan berkembang pesat, kemajuan dalam mengurangi polusi udara masih terancam. Kanada menjadi negara dengan jumlah PM2.5 terburuk pada tahun lalu karena rekor kebakaran hutan yang melanda negara tersebut, yang menyebabkan gas beracun menyebar ke seluruh negeri dan ke tetangganya, Amerika Serikat.
Di Cina, kata laporan IQAir, peningkatan kualitas udara dipersulit tahun lalu karena kembali pulihnya aktivitas ekonomi pasca pandemi Covid-19. Peningkatan tingkat PM2.5 di negara ini sebesar 6,5%. "Sayangnya segalanya telah berjalan mundur," kata Glory Dolphin Hammes, kepala eksekutif IQAir Amerika Utara seperti dikutip Guardian.
Polusi udara diperkirakan membunuh 7 juta orang setiap tahunnya di seluruh dunia, lebih banyak dibandingkan angka kematian akibat AIDS dan malaria. Beban ini paling berat dirasakan di negara-negara berkembang yang bergantung pada bahan bakar kotor untuk pemanasan, penerangan, dan memasak di dalam ruangan.
WHO sebenarnya menurunkan pedoman tingkat PM2.5 yang "aman" pada tahun 2021 menjadi lima mikrogram per meter kubik. Namun dengan pedoman ini saja masih banyak negara, seperti negara-negara di Eropa yang sudah melakukan pembersihan udara secara signifikan dalam 20 tahun terakhir, masih gagal mencapai ambang udara aman.
Pedoman yang lebih ketat dari WHO ini mungkin tidak sepenuhnya mencakup risiko dari bahaya polusi udara. Penelitian yang dirilis oleh para ilmuwan Amerika Serikat sebelumnya menemukan bahwa tidak ada tingkat PM2.5 yang aman. Bahkan paparan terkecil pun dikaitkan dengan peningkatan kasus rawat inap karena penyakit jantung dan asma.
Hammes mengatakan, negara-negara harus bertindak untuk menjadikan kota mereka lebih nyaman untuk dilalui, dengan berjalan kaki dan tidak terlalu bergantung pada mobil, mengubah praktik kehutanan untuk membantu mengurangi dampak asap kebakaran hutan, dan bergerak lebih cepat untuk memanfaatkan energi ramah lingkungan dibandingkan bahan bakar fosil. "Kita berbagi atmosfer dengan semua orang di dunia dan kita perlu memastikan bahwa kita tidak melakukan hal-hal yang merugikan orang lain di tempat lain," katanya.