TEMPO.CO, Nusa Dua - Gelaran People's Water Forum 2024 di Bali mengalami intimidasi dan pembubaran paksa pada Senin 20 Mei 2024. Dihelat mengiringi hajatan besar World Water Forum ke-10, acara ini sejatinya menjadi ruang bagi masyarakat sipil untuk mengkritisi privatisasi air dan mendorong pengelolaan air untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat.
Koordinator Nasional Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (KRUHA) Reza Sahib mengungkap intimidasi dan pembubaran paksa dilakukan oleh massa ormas. Sebanyak puluhan anggota ormas itu disebutkannya beberapa kali mendatangi tempat kegiatan dan meminta pelaksanaan Forum Air Milik Rakyat Sedunia yang rencananya digelar 21-23 Mei dihentikan.
"Tercatat bahwa kelompok ini melakukan perampasan banner, baliho, dan atribut agenda secara paksa, dan bahkan melakukan kekerasan fisik kepada beberapa peserta forum," kata Reza melalui pesan tertulis kepada Tempo, Senin, 20 Mei 2024.
Direktur LBH Bali, Rezky Pratiwi, membenarkan peristiwa itu. Menurutnya, kelompok ormas memaksa panitia dan peserta PWF 2024 untuk bubar karena dianggap melanggar imbauan lisan Penjabat Gubernur Bali terkait penyelenggaraan World Water Forum.
"Perlu diketahui bahwa imbauan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum memaksa, dan justru melanggar ketentuan konstitusi yang menjamin adanya kebebasan berkumpul, berekspresi, dan menyampaikan pendapat," ucapnya.
Rezky menambahkan, beberapa panitia sebelumnya sudah mendapatkan intimidasi dari aparat negara yang meminta untuk tidak menggelar PWF. Pembatalan tempat acara di Institut Seni Indonesia, Denpasar, dan lokasi menginap peserta juga dialami, kata Rezky, karena pengelola mendapatkan ancaman.
"Peristiwa ini semakin membuktikan tidak adanya komitmen negara untuk memajukan dan menghormati kebebasan berekspresi bagi rakyatnya, dan dengan dalih mengamankan investasi dari pemodal, segala cara dilakukan agar tidak ada 'gangguan' yang tercipta dari luar," tuturnya.
Rezky mendesak Pemerintah Republik Indonesia untuk menghentikan segala bentuk intimidasi dan kekerasan dalam pelaksanaan PWF 2024, baik yang dilakukan oleh aparat maupun ormas. Ia juga meminta negara menjamin dan memenuhi hak konstitusional warga negara untuk dapat melakukan kritik tanpa ada tekanan.
Seruan Kepada Komnas HAM dan PBB
Belum ada informasi lebih detail perihal lokasi acara PWF 2024 yang mendapat intimidasi dan pembubaran secara paksa tersebut. Tapi, ini adalah lokasi baru setelah pembatalan dialami untuk rencana awal gelaran di ISI Denpasar.
Untuk pembatalan di lokasi yang pertama itu, puluhan akademisi dan pekerja kemanusiaan dari dalam dan luar negeri telah mengeluarkan pernyataan tertulis mengecam. "Ini akan menjadi peristiwa pertama pembatalan PWF secara autoritarian oleh negara atas tekanan WWF," seru mereka dalam pernyataan tertulis terpisah.
Mereka mendesak, antara lain, lembaga dan institusi berikut untuk ikut memantau dan menindaklanjuti kasus ini, yakni Atnike Nova Sigiro, Ketua Komnas HAM RI; Farida Shaheed, UN Special Rapporteur on the right to education; Pedro Arrojo, UN Special Rapporteur on the rights to safe drinking water and sanitation; dan Mary Lawlor, UN Special Rapporteur on human rights defenders.
Diuraikan pula bahwa jaringan yang tergabung dalam PWF (yang sebelumnya dikenal sebagai Alternative World Water Forum), telah selama 20 tahun menawarkan forum terbuka yang dapat dijangkau secara inklusif baik oleh warga, komunitas, serikat, dan aktivis lingkungan. Forum ini menjadi tempat untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, dengan tujuan mencari solusi baru bagi masa depan pembangunan terkait air yang adil, setara dan berkelanjutan.
Sejak 2003, wadah ini telah menggalang solidaritas dan meningkatkan kapasitas jaringan regional dan global melalui pertemuan-pertemuan berikut: di Kyoto pada 2003, Meksiko 2006, Istanbul 2009, Marseille 2012, Daegu 2015, Brasilia 2018 and Dakar 2022.
Kata Polda Bali
Secara terpisah, Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Bali, Komisaris Besar Jansen Avitus Panjaitan, mengaku masih mendalami apa yang dialami panitia dan acara People's Water Forum 2024. Saat dihubungi pagi ini, dia menyatakan baru mengetahuinya berdasarkan siaran live di media sosial yang dilakukan aktivis lingkungan dari dalam Hotel Oranjje, Denpasar.
Dalam siaran itu disebutkan adanya pembubaran paksa yang disertai perampasan spanduk oleh sekelompok ormas. "Kami belum tahu pasti apa masalahnya dan siapa-siapa yang miskomunikasi tersebut, karena sampai saat ini belum ada laporan resmi kepada kepolisian."
Namun Jansen juga menyebutkan bahwa PWF 2024 tidak mematuhi aturan dalam undang-undang penyampaian pendapat di muka umum. "Tidak ada pemberitahuan, bahkan cenderung kegiatan diam-diam disebar melalui medsos," kata dia lagi sambil meminta masyarakat Bali tidak terprovokasi dan ikut membesar-besarkan kejadian tersebut. "Percayakan masalah ini ke kepolisian."
CATATAN:
Artikel ini telah diubah pada Selasa, 21 Mei 2024, pukul 11.29 WIB, untuk menambahkan keterangan dari Kepolisian Daerah Bali. Terima kasih.
Pilihan Editor: Kisruh Kenaikan UKT, Fakultas Disarankan Bentuk Badan Advokasi dan Forum Diskusi