Mardani Legaelol, warga Desa Sagea, membenarkan dampak pencemaran limbah itu di Sungai Sagea. “Masyarakat desa bergantung pada Sungai Sagea namun eksploitasi karst dan nikel di daerah aliran sungai membuat sumber air warga ini tercemar," kataNya sambil menambahkan lahan sekitar Danau Yonelo yang merupakan lumbung pangan warga juga mulai diambil konsesi tambang.
Dampak Polusi Udara
Polusi dari pembangkit batu bara yang mmenyuplai listrik di kawasan industri tak ketinggalan mencemari udara Maluku Utara. Di Desa Lelilef tempat IWIP beroperasi, angka kasus infeksi saluran pernapasan (ISPA) mengalami peningkatan konsisten.
Dampak Kecelakaan Kerja
Adapun akademisi dari Ternate, Muhammad Aris, menuturkan praktik industri yang serampangan telah berujung pada rangkaian kecelakaan kerja. Sejak dimulainya masa operasional PT IWIP pada 2018, dia mecatat, telah terjadi empat kali kecelakaan ledakan dan sekali kebakaran dengan puluhan korban buruh.
Sementara ledakan smelter IWIP akhir 2023 lalu menambah korban selama operasional IWIP mengakibatkan 25 korban jiwa dan puluhan korban luka bakar.
“Pemerintah banyak mengklaim soal dampak positif ekonomi dari hilirisasi nikel namun kalau diukur, dampak ekonomi dari kerusakan lingkungan yang diakibatkan sangat masif dan sulit diukur,” kata Aris menambahkan.
Mendorong Moratorium Hilirisasi dan Represi
Ismunandar, warga Buli, Halmahera Timur, mendorong adanya moratorium industri ekstraktif terutama di Maluku Utara. Dia mengungkap hampir setiap hari ada saja perusahaan-perusahaan kecil yang melakukan survei dan meng-kaveling lahan baru di desa termasuk di Buli.
“Setelah wacana hilirisasi muncul, kuasa pertambangan zaman dulu dihidupkan kembali, dengan alasan rantai produksi yang lebih dekat," kata dia. Dampaknya, percepatan perusakan lingkungan. "Mereka menyerobot wilayah lumbung pangan, wilayah tambak ikan, bisa (dengan mudah) diubah jadi kawasan tambang."
Itu sebabnya, Ismunandar menilai moratorium sebagai satu solusi. "Ini perlu didorong dengan suara yang lebih besar karena pengrusakan sekarang ini tidak bisa lagi ditampung oleh halmahera,” katanya.
Pendapat serupa disampaikan Ijan Sileleng, warga Patani, Halmahera Tengah. Dia menyebutkan di daerahnya juga sedang digempur oleh ekspansi tambang. “Di Patani ada sumber pangan seperti pala, kelapa, cengkih," katanya sambil menambahkan, "Kami minta pemerintah jangan saja fokus pada sektor tambang."
Perwakilan Trend Asia, Novita, menekankan pertambangan mineral yang serampangan dan tidak bertanggung jawab. Dia mendesak pemerintah untuk mengembalikan wilayah dan memulihkan semua sumber kehidupan warga yang dirampas atas nama kepentingan hilirisasi industri nikel.
"Pemerintah juga harus menghentikan praktik represi dan kriminalisasi yang kerap digunakan kepada warga yang melawan," katanya.