TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menghentikan operasional dua kapal keruk (dredger) berbendera Singapura, yaitu MV YC 6 dengan ukuran 8012 gross tonnage (GT) dan MV ZS 9 yang berukuran 8559 GT, setelah keduanya terlibat dalam pencurian pasir laut di Kepulauan Riau. Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP, Pung Nugroho Saksono, menyatakan bahwa saat pemeriksaan dilakukan, kedua kapal tersebut terindikasi melakukan penambangan pasir laut di wilayah Indonesia tanpa mematuhi aturan dan ketentuan yang berlaku.
"Hal tersebut merupakan hasil tracking dan bisa kami buktikan kepada masyarakat ternyata ada kapal-kapal asing yang diduga melakukan pencurian pasir laut di wilayah Indonesia," ujar Pung Nugroho Saksono, yang akrab disapa Ipunk, dalam keterangan tertulisnya pada Ahad, 13 Oktober 2024.
Ipunk menjelaskan bahwa kapal berbendera Singapura ini sering memasuki perairan Indonesia tanpa dokumen izin yang jelas. Bahkan, dalam satu bulan, kapal-kapal ini bisa masuk hingga 10 kali untuk mengekstrak pasir laut di Kepri. Kapal tersebut kedapatan membawa 10 ribu meter kubik pasir dan terdapat 16 orang anak buah kapal (ABK), yang terdiri dari 2 warga negara Indonesia, 1 warga Malaysia, dan 13 warga negara China. "Mereka melakukan selama 3 hari dalam satu kali perjalanan, dan melakukan lebih dari 10 kali dalam sebulan. Artinya, kapal ini mampu mencuri 100 ribu meter kubik pasir Indonesia dalam satu bulan," jelasnya.
Perhitungan Kerugian Indonesia
Center of Economic and Law Studies (Celios) memperkirakan bahwa kebijakan pemerintah untuk membuka kembali ekspor pasir laut justru akan menyebabkan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 1,22 triliun. Kerugian yang ditimbulkan dari ekspor pasir laut tidak sebanding dengan pendapatan negara yang diperkirakan hanya mencapai Rp 170 miliar.
Proyeksi ini bertolak belakang dengan klaim pemerintah yang menyebutkan bahwa jika penjualan pasir laut mencapai 50 juta meter kubik, penerimaan negara dari ekspor pasir laut dapat mencapai Rp 2,5 triliun. "Klaim itu ternyata berlebihan," ucap Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda, dalam keterangan tertulis yang dikutip pada Sabtu, 5 Oktober 2024.
Dari hasil analisis menggunakan model input-output, Celios memetakan penurunan ekonomi yang disebabkan oleh ekspor pasir laut. Aktivitas penambangan pasir laut akan mengganggu produksi perikanan, dengan Celios memprediksi penurunan produksi perikanan bisa mencapai Rp 1,8 triliun.
Padahal, kontribusi sektor perikanan terhadap pembentukan PDB berkisar antara 2,5 hingga 2,7 persen. Dengan demikian, Celios menyimpulkan bahwa meskipun ekspor pasir laut meningkat, dampak dari penurunan produksi perikanan jauh lebih signifikan.
Dari segi pendapatan masyarakat, totalnya juga mengalami penurunan, dengan angka mencapai Rp 1,21 triliun. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat setempat berisiko menanggung beban yang lebih besar dibandingkan manfaat ekonomi yang diterima. Upaya untuk memberikan nilai tambah ekonomi kepada masyarakat menjadi sulit untuk dibenarkan.
Secara keseluruhan, pendapatan pengusaha berkurang sebesar Rp 855 miliar di semua sektor. Penurunan pendapatan nelayan berdampak pada pendapatan sektor lain, termasuk toko peralatan perikanan, penjualan es, fasilitas cold storage, logistik pengiriman tangkapan laut, serta pendapatan pengusaha lainnya.
Pemodelan ekonomi yang dilakukan oleh Celios, kata Huda, membuktikan bahwa narasi penambangan pasir laut akan secara signifikan mendorong ekspor dan penerimaan negara adalah tidak tepat. Penerimaan negara dari pajak tidak mampu menutup kerugian keseluruhan output ekonomi yang berisiko turun hingga Rp 1,13 triliun.
SHARISYA KUSUMA RAHMANDA | HAN REVANDA PUTRA | IRSYAN HASYIM
Pilihan Editor: Merampas Laut, Menjual Kedaulatan