TEMPO.CO, Surabaya - TNI Angkatan Laut mengajak akademisi dan industri bersinergi untuk riset serta pengembangan teknologi kapal selam. Indonesia sebagai negara maritim dianggap belum diperkuat alutsista berupa kapal selam yang mumpuni menjaga wilayah perairan.
“Saat ini, kekuatan kapal selam Indonesia masih tertinggal dari sisi kuantitas maupun kualitasnya dibandingkan negara-negara tetangga seperti Australia, Malaysia, Singapura, dan Vietnam,” kata Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Ade Supandi saat membuka sarasehan membahas kapal selam di Markas Komando Armada Timur, Surabaya, Kamis 10 September 2015.
TNI AL, kata Ade, saat ini hanya mengoperasikan dua2 unit kapal selam Type-209 buatan Jerman yang telah berumur lebih dari 30 tahun. Keduanya, dibandingkan dengan teknologi yang ada saat ini, memiliki kemampuan sensor akustik yang terbatas. "Juga belum memiliki sistem kesenjataan rudal yang dapat diluncurkan dari bawah permukaan air, dan belum dilengkapi teknologi Air Independent Propulsion,” ujarnya.
Untuk itu, TNI AL tengah mengupayakan pengadaan kapal selam Diesel Electric sebanyak tiga unit yang akan selesai 2017. Pembangunan kapal selam saat ini sedang dalam proses, yaitu dua unit di Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering/DSME (Korea Selatan) dan satu unit akan dibangun di PT PAL Indonesia.
“Satu unit yang akan dibangun PT PAL itu bukan pekerjaan yang mudah. Diperlukan sinergitas antar kementerian terkait, industri pertahanan, industri maritim, lembaga riset, dan akademisi,” kata Ade.
Direktur Pusat Teknologi Industri Pertahanan dan Kemananan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Samudro mengungkapkan, ada berbagai macam teknologi seperti teknologi kebisingan dan kesenjataan yang perlu dipelajari oleh Indonesia. “Kita harus riil menguasai teknologinya secara bertahap, belajar dulu ke luar negeri," katanya.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir berjanji akan mengkoordinasikan seluruh lembaga penelitian dan pengembangan supaya riset tentang kapal selam tetap terkonsentrasi. Nasir mengakui, untuk urusan riset, Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangganya.
Itu juga tercermin dari alokasi anggaran riset terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang masih rendah. “Kita masih 0.09 persen dari PDB, sebesar Rp 9 triliun. Bandingkan dengan Malaysia sebesar 1 persen, atau Thailand 0,25 persen,” urainya.
Riset di Indonesia juga masih mengabaikan peran industri atau swasta. Hal itu tercermin dari besarnya persentase anggaran riset yang dikeluarkan oleh negara sebesar 75 persen. Sebaliknya, 80 persen anggaran riset di negara-negara maju berasal dari swasta.
“Jadi selama ini industri tidak kita libatkan. Maka dari itu, penting untuk kita mulai menggandeng semua industri agar riset menjadi demand-driven atau market-driven.”
ARTIKA RACHMI FARMITA