Ilmuwan Ungkap Asal-usul Iklim Planet Mars

Reporter

Rabu, 24 Desember 2014 06:00 WIB

Grand Canyon di Gunung Sharp planet Mars. Teuters/NASA.

TEMPO.CO, San Diego - Hasil analisis terbaru dari batuan Mars yang diambil dari medan es Antartika 30 tahun lalu mengungkap catatan iklim planet merah. Batu ini juga membantu mengungkap tentang kondisi air dan setiap kehidupan yang pernah ada di Mars.

Para ilmuwan dari University of California di San Diego, NASA, dan Smithsonian Institution melaporkan analisis rinci mineral meteorit tersebut dalam jurnal Prosiding National Academy of Sciences. "Mineral dalam meteorit bercampur dengan kimia kuno di planet ini," kata Robina Shaheen, pemimpin studi ini, seperti dikutip dari Livescience, Selasa, 23 Desember 2014.

Batu Mars yang bentuknya mirip kentang ini diduga jatuh ke bumi 13 ribu tahun lalu. Batu yang diberi nama ALH84001 ini merupakan meteorit tertua dari Mars yang dimiliki bumi. Sepotong magma padat yang keluar dari gunung berapi empat miliar lalu dan jatuh ke bumi. "Sejak saat itu sesuatu cairan meresap melalui pori-pori batu dan disimpan di dalamnya," ujar Shaheen.

Menurut Shaheen, jumlah karbonat yang bervariasi tergantung pada sumber karbon dan atom oksigen di dalam batu. Kelimpahan jumlah relatif isotop ini membentuk "tanda tangan" kimia yang secara ilmiah bisa dianalisis. (Baca: Planet Mars Dihujani Asteroid 200 Kali Per Tahun)


<!--more!>

Atmosfer Mars sebagian besar berupa karbon dioksida, tapi juga mengandung ozon. Jumlah isotop oksigen dalam ozon tersebut aneh. "Ketika ozon bereaksi dengan karbon di atmosfer, mereka menghasilkan molekul baru," ujar Mark Thiemens, anggota tim penelitian. (Baca: Misteri Lenyapnya Karbondioksida di Mars)


Tingkat keanehan isotop dalam karbonat mencerminkan berapa banyak air dan ozon hadir ketika mereka terbentuk. "Ini merupakan catatan iklim 3,9 miliar tahun lalu yang terkunci dalam mineral," ujar Thiemens. Semakin banyak air, dia menambahkan, semakin kecil sinyal ozon.

Tim mengukur sinyal ozon yang dikandung dalam karbonat meteorit. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun Mars memiliki air saat itu, tapi tidak memiliki lautan luas. Sebaliknya, lanskap planet merah memungkinkan untuk memunculkan laut kecil.

Campuran isotop karbon juga menunjukkan bahwa mineral yang berbeda dalam meteorit memiliki asal-usul terpisah. ALH84001 ditempatkan dalam tabung kecil karbonat. Lantas peneliti meneliti dan menemukan bukti potensi kehidupan mikroba.

Pada 16 Desember, NASA juga mengumumkan potensi kehidupan di Mars dalam bentuk metana yang diendus oleh wahana Curiosity. (Baca: 10 Proyek NASA yang Gagal)


Dengan mengukur isotop, para ahli kimia menemukan karbonat hilang dalam karbon-13 dan diperkaya dengan oksigen-18. Artinya, atmosfer Mars pada era itu mengandung jauh lebih sedikit karbon-13 daripada kondisi sekarang. Perubahan jumlah relatif isotop karbon dan oksigen juga dapat terjadi melalui kehilangan luas atmosfer Mars. "Kami sekarang memiliki wawasan yang lebih dalam dan spesifik ke dalam sistem oksigen dan air pada awal tata surya," kata Thiemens.

SCIENCEDAILY | AMRI MAHBUB

Berita Terpopuler:
Ahok Makan Babi, Ibu-ibu di NTT 'Klepek-klepek'
Terungkap, Bapak dari Anak Jessica Iskandar
Hadapi Pencuri Ikan, Jokowi Andalkan Panglima Baru

Advertising
Advertising

Berita terkait

Observatorium Bosscha Tutup Kunjungan Publik Selama Bulan Puasa

49 hari lalu

Observatorium Bosscha Tutup Kunjungan Publik Selama Bulan Puasa

Minat pengunjung ke Observatorium Bosscha tergolong tinggi sejak kunjungan publik mulai dibuka kembali setelah masa pandemi.

Baca Selengkapnya

Raih Nurtanio Award 2023, Harijono Djojodihardjo: Ini Bisa Memacu Generasi Muda

27 November 2023

Raih Nurtanio Award 2023, Harijono Djojodihardjo: Ini Bisa Memacu Generasi Muda

Harijono Djojodihardjo, ahli penerbangan dan antariksa meraih anugerah Nurtanio Award 2023 dari BRIN.

Baca Selengkapnya

BRIN Berikan Nurtanio Award ke Ahli Penerbangan & Antariksa Profesor Harijono Djojodihardjo

26 November 2023

BRIN Berikan Nurtanio Award ke Ahli Penerbangan & Antariksa Profesor Harijono Djojodihardjo

BRIN memberikan penghargaan tertinggi kepada periset Indonesia yang berprestasi, dan kepada tokoh yang telah memberikan andil kemajuan iptek.

Baca Selengkapnya

Membuka Jalan untuk Gibran

26 September 2023

Membuka Jalan untuk Gibran

Peluang Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden menguat.

Baca Selengkapnya

Kepala BRIN: Teknologi Antariksa Akan Menjadi Kunci Masa Depan

21 September 2023

Kepala BRIN: Teknologi Antariksa Akan Menjadi Kunci Masa Depan

Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengatakan teknologi keantariksaan sendiri telah dimanfaatkan dalam berbagai sektor pembangunan.

Baca Selengkapnya

Misi Explorer 11 Diluncurkan NASA pada 27 April 1961, Apa Itu?

27 April 2023

Misi Explorer 11 Diluncurkan NASA pada 27 April 1961, Apa Itu?

Misi Explorer 11 NASA bertujuan mempelajari sinar gamma di luar angkasa.

Baca Selengkapnya

Sejarah Tragedi Meledaknya Pesawat Ulang-alik Columbia

17 Januari 2023

Sejarah Tragedi Meledaknya Pesawat Ulang-alik Columbia

Pada 1 Februari 2003, pesawat ulang-alik Columbia meledak saat memasuki atmosfer di atas Texas dan menewaskan ketujuh awak di dalamnya.

Baca Selengkapnya

AS: China Ancaman Utama dalam Pertahanan Luar Angkasa

9 Desember 2022

AS: China Ancaman Utama dalam Pertahanan Luar Angkasa

China sedang membangun kemampuan yang menempatkan sebagian besar aset luar angkasa Amerika Serikat dalam risiko

Baca Selengkapnya

BRIN Berikan Penghargaan Nurtanio kepada Pakar Pengindraan Orbita Roswitiarti

30 November 2022

BRIN Berikan Penghargaan Nurtanio kepada Pakar Pengindraan Orbita Roswitiarti

Orbita merupakan peneliti ahli utama di bidang kepakaran, teknologi, dan aplikasi pengindraan jauh pada Pusat Riset Pengindraan Jauh BRIN.

Baca Selengkapnya

Peristiwa Astronomi Agustus, Ada Gugus Bola M2 dan M15

3 Agustus 2022

Peristiwa Astronomi Agustus, Ada Gugus Bola M2 dan M15

Observatorium Bosscha membagikan berbagai fenomena antariksa yang terjadi di bulan Agustus.

Baca Selengkapnya