TEMPO.CO, Jakarta - Kelompok peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) akan melakukan ekspedisi ke Pulau Enggano, Bengkulu. Tujuannya, mengungkap berbagai potensi pulau terluar di barat daya Indonesia ini. "Ini menarik karena Enggano merupakan pulau samudra yang tak pernah bergabung dengan Pulau Sumatera," kata Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain di kantornya, Jakarta Selatan, Rabu, 15 April 2015.
Karena faktor tersebut, Iskandar menduga Enggano memiliki tingkat endemisitas flora dan fauna yang tinggi. Selain itu, ujar dia, pulau ini memiliki nilai penting dalam aspek geologi, ekologi, dan evolusi.
Sumber daya hayati di Enggano memang belum banyak terungkap. Ekspedisi ini, kata Deputi Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI Enny Sudarmonowati merupakan langkah awal untuk mengungkap keanekaragaman sumber daya tersebut. "Syukur jika sumber dayanya bisa dimanfaatkan guna kepentingan masyarakat," ujarnya di tempat yang sama. "Misalnya untuk dijadikan obat-obatan herbal."
Berdasarkan survei awal, Pulau Enggano memiliki karakteristik keanekaragaman hayati dataran rendah. Karakteristik tersebut bertambah unik lantaran pulau itu terisolasi secara geografis. Karena itu, peneliti Pusat Penelitian Biologi LIPI, Amir Hamidy, optimistis, "Peneliti akan menemukan flora, fauna, bahkan mikroba baru di Enggano."
Sayangnya, kekayaan alam tersebut sedang bergelut dengan kerusakan hutan imbas penebangan liar. Menurut Amir, penebangan liar sudah merambah kawasan konservasi.
Dari segi sejarah, Enggano memang pernah menjadi salah satu tempat transit jalur perdagangan internasional pada masa awal kolonialisasi di Nusantara. Tak heran, pulau ini juga memiliki keunikan tersendiri dalam hal segi bahasa dan tradisi masyarakatnya serta sejarah panjang geopolitiknya.
Peneliti yang akan berangkat ke Enggani sekitar 85 orang dari tiga kedeputian, yakni Ilmu Pengetahuan Hayati (IPH), Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemasyarakatan (IPSK), serta Ilmu Pengetahuan Kebumian (IPK).
Kedeputian IPH serta IPSK akan berangkat lebih dulu, tepatnya pada Kamis, 16 April 2015. Kedeputian IPH akan melakukan penelitian selama 20 hari, sedangkan IPSK 11 hari. Adapun Kedeputian IPK baru akan berangkat pada 7 Mei 2015 dan akan melakukan penelitian selama 11 hari di perairan Enggano menggunakan kapal Baruna Jaya VIII. Ekspedisi di Enggano diperkirakan menghabiskan dana sebesar Rp 700 juta.
Selain menggelar ekspedisi Enggano, LIPI turut serta dalam Ekspedisi NKRI, yang diprakarsai Komando Pasukan Khusus Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Ekspedisi ini merupakan ekspedisi gabungan antara Kopassus, LIPI, dan beberapa perguruan tinggi riset, seperti Institut Pertanian Bogor.
LIPI juga akan mengadakan ekspedisi Tambora. Iskandar mengatakan ekspedisi Tambora sama pentingnya dengan ekspedisi Enggano. Sebab, menurut dia, letusan megakolosal 200 tahun yang lalu membawa dampak besar terhadap keanekaragaman hayati di wilayah Tambora.
Cahyo Rahmadi, peneliti dari Pusat Penelitian Biologi yang juga pemimpin ekspedisi, optimistis ekspedisi Tambora akan mengungkap potensi flora dan fauna di Gunung Tambora. "Sama seperti Enggano, ekspedisi ini juga lintas studi," katanya.
LIPI akan memberangkatkan 16 peneliti dari berbagai pusat penelitian dalam Ekspedisi Tambora. Dana ekspedisi INI, menurut Cahyo, sekitar Rp 300 juta.
AMRI MAHBUB
Berita terkait
BRIN Temukan Daur Ulang Baterai Litium Ramah Lingkungan
32 hari lalu
BRIN sebut tiga alasan mengapa daur ulang baterai litium sangat penting. Satu di antaranya alasan ramah lingkungan.
Baca SelengkapnyaDua Artikel Ilmiah Karya Dosen UGM Paling Banyak Disitasi, Apa Saja?
26 September 2023
Universitas Gadjah Mada atau UGM masuk dalam jajaran top 50 dunia pada THE Impact Rankings 2023.
Baca SelengkapnyaLIPI Genap 56 Tahun: Lembaga Ilmu Pengetahuan yang Telah Dilebur ke BRIN
23 Agustus 2023
Awal pembentukan LIPI pada 1967 dimulai dengan peleburan lembaga-lembaga ilmiah yang lebih dulu didirikan.
Baca SelengkapnyaRektor Stanford University Mundur karena Penelitian Ilmiahnya Dinilai Kurang
20 Juli 2023
Pemimpin Stanford University, salah satu kampus yang paling bergengsi di AS, mundur setelah ditemukan kekurangan dalam penelitiannya tentang saraf.
Baca Selengkapnya2 Syarat dari BRIN Agar Penemuan Bisa Disebut Sebagai Inovasi
14 Juli 2023
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan dua syarat agar sebuah penemuan dapat disebut sebagai inovasi.
Baca SelengkapnyaBagaimana Artikel Ilmiah Bisa Lolos di Jurnal Bereputasi? Ini Kata Dosen Unpad
14 April 2023
Tiga peneliti Unpad membagikan pengalamannya terkait pengalaman publikasi artikel ilmiah pada jurnal internasional bereputasi tinggi.
Baca SelengkapnyaPakar ITB Teliti Kepunahan Reptil dengan Tim Ilmuwan Dunia
6 April 2023
Ilmuwan ITB Djoko T. Iskandar meneliti kepunahan reptil dan kaitannya dengan usaha konservasi tetrapoda.
Baca SelengkapnyaRancang Alat Deteksi Jenis Malaria, Mahasiswa ITB Raih Juara Pertama Festival Ilmiah
26 Maret 2023
Tim mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) merancang alat deteksi lima jenis malaria.
Baca SelengkapnyaPakar ITB Teliti Keruntuhan Anak Krakatau 2018 untuk Pemodelan Tsunami Akurat
22 Maret 2023
Dosen teknik geologi ITB meneliti keruntuhan tubuh Gunung Anak Krakatau sebagai tolok ukur pemodelan tsunami akurat.
Baca SelengkapnyaPsikolog UI Teliti Penyebab Bungkamnya Mahasiswa Saksi Kecurangan Akademik
17 Januari 2023
Psikolog UI Anna Armeini Rangkuti mengidentifikasi ada empat motif utama silence mahasiswa terhadap kesaksian adanya kecurangan akdemik.
Baca Selengkapnya