Arkeolog: Tidak Ada Pribumi Asli Nusantara

Reporter

Antara

Editor

Yudono Yanuar

Sabtu, 9 November 2019 14:56 WIB

Warga ambil bagian menari bersama ketuk tilu di Gedung Sate, Bandung, ahad, 1 September 2019. Sekitar 300 penari dari beragam latar profesi, suku, dan agama, mengikuti flash mob Bandung Ketuk Tiluan dengan tema Merawat Keberagaman Budaya, Menjaga Indonesia, sebagai bagian dari advokasi budaya sebagai alat pemersatu terkait menguatnya intoleransi dan politik identitas yang membuat masyarakat tersekat.TEMPO/Prima mulia

TEMPO.CO, Jakarta - Arkeolog Dr. Harry Widianto mengatakan, tidak ada yang bisa disebut sebagai pribumi asli di Nusantara. Karena berdasarkan genetika, ras di Indonesia sudah bercampur meski berasal dari pohon evolusi yang sama yaitu Afrika.

"Kita itu rumit karena datang dari mana-mana. Dari Afrika datang, Melanesia masuk, dari Australia Tenggara ada, dari Taiwan dan Cina juga ada. Yang bermigrasi ke Nusantara itu sangat banyak," ujar Harry dalam diskusi Jejak Manusia Nusantara dan Peninggalannya yang diadakan oleh Historia.id di Museum Nasional, Jakarta Pusat, Selasa5 November, 2019.

Harry menjelaskan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia berdasarkan genetis berasal dari beberapa gelombang migrasi yang dimulai ketika manusia modern atau Homo sapiens keluar dari benua Afrika sekitar 150.000 tahun lalu.

Homo sapiens itu bermigrasi ke wilayah yang kini disebut sebagai Indonesia melewati jalur selatan Asia menuju Paparan Sunda sekitar 70.000-45.000 tahun lalu. Keturunan tersebut menetap di timur nusantara sekitar daerah Papua dan Halmahera, mereka kini disebut sebagai ras Melanesia.

Sekitar 4.000 tahun lalu terjadi migrasi oleh penutur Austronesia yang juga berciri subras Mongoloid yang berasal dari Taiwan. Kelompok yang keluar dari Taiwan itu sendiri sebenarnya berasal dari daerah Fujian yang berada di Cina modern saat ini.

Kelompok yang keluar dari Taiwan itulah yang menjadi nenek moyang suku-suku dan etnis di Indonesia bagian barat, oleh karena itu tidak mengherankan jika genetik Tionghoa besar di wilayah tersebut.

Jika ditelusuri secara genetika orang-orang yang berada di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur adalah pencampuran dari kedua ras tersebut.

"Jadi kita ini bermacam-macam. Terjadi evolusi lokal, ada juga pertemuan dua bentuk fisik yang menghasilkan pencampuran DNA. Ada juga pendatang dari Taiwan, jadi kompleks tidak bisa digeneralisasi. Tapi kita berasal dari pohon evolusi yang sama sejak 70.000 tahun lalu," ujar peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta itu.

Dia menegaskan bahwa harus bisa membedakan antara ras dan etnis. Ras adalah berdasarkan fakta biologis, genetika yang berada di dalam tubuh sementara suku dan etnis adalah bentukan dari budaya.

Berita terkait

Pencabutan Publikasi Penelitian Gunung Padang Tidak Sendiri, Ada 10.000 Lebih Makalah Ditarik pada 2023

31 hari lalu

Pencabutan Publikasi Penelitian Gunung Padang Tidak Sendiri, Ada 10.000 Lebih Makalah Ditarik pada 2023

Pencabutan publikasi penelitian Gunung Padang didahului investigasi oleh penerbit bersama pemimpin redaksi jurnal.

Baca Selengkapnya

Pulau Balang Tidak Masuk IKN, Otorita Klaim Lebih mudah Jaga Dugong dan Pesut

32 hari lalu

Pulau Balang Tidak Masuk IKN, Otorita Klaim Lebih mudah Jaga Dugong dan Pesut

Tetap saja pembangunan IKN dinilai akan membuat tekanan terhadap habitat satwa liar. Dan bukan hanya dugong dan pesut, tapi 23 spesies.

Baca Selengkapnya

Piramida Purba di Gunung Padang, Begini Suara Kontra Arkeolog Asing

33 hari lalu

Piramida Purba di Gunung Padang, Begini Suara Kontra Arkeolog Asing

Arkeolog asal Singapura ini lega publikasi laporan penelitian situs Gunung Padang ditarik penerbit jurnal. Sebut kental pseudoarchaeological.

Baca Selengkapnya

Publikasi Gunung Padang Piramida Tertua di Dunia Dicabut, Penelitinya: Saya Nyaman-nyaman Saja

33 hari lalu

Publikasi Gunung Padang Piramida Tertua di Dunia Dicabut, Penelitinya: Saya Nyaman-nyaman Saja

Dia mengaku nyaman-nyaman saja saat pertama mendengar kepastian laporan penelitian situs Gunung Padang dicabut publikasinya dari jurnal ilmiah.

Baca Selengkapnya

Arkeolog Situs Gunung Padang Tak Hormati Vonis Pencabutan Laporan dari Jurnal, Kenapa?

36 hari lalu

Arkeolog Situs Gunung Padang Tak Hormati Vonis Pencabutan Laporan dari Jurnal, Kenapa?

Tim peneliti Gunung Padang sedang berkoordinasi apakah akan menempuh mekanisme pengaduan ke komite etik yang mewadahi jurnal internasional.

Baca Selengkapnya

Hari Dongeng Sedunia, Memahami Kedaulatan Pangan Nusantara melalui Folklor Dewi Padi

38 hari lalu

Hari Dongeng Sedunia, Memahami Kedaulatan Pangan Nusantara melalui Folklor Dewi Padi

Buku Manifestasi Folklor Dewi Padi: Simbol Kearifan tentang Keberlanjutan Pangan, dirilis bertepatan momentum Hari Dongeng Sedunia

Baca Selengkapnya

Konsekuensi UU IKN Jakarta Tak Lagi Berstatus Ibu Kota Negara Sejak 15 Februari Lalu, Kok Bisa?

49 hari lalu

Konsekuensi UU IKN Jakarta Tak Lagi Berstatus Ibu Kota Negara Sejak 15 Februari Lalu, Kok Bisa?

Akibat UU IKN, status Jakarta sebagai Daerah Khusus Ibu Kota Negara disebut telah berakhir per 15 Februari 2024 lalu. Ini maksudnya?

Baca Selengkapnya

Gedung Pusat Riset Stanford Dibangun Mei, IKN Disebut Jadi Living Lab

50 hari lalu

Gedung Pusat Riset Stanford Dibangun Mei, IKN Disebut Jadi Living Lab

Berdasarkan MoU yang telah diteken di Stanford University pada November lalu, pembangunan pusat riset seharusnya dikerjakan Januari-Februari 2024.

Baca Selengkapnya

Serba-serbi Pembangunan IKN Mendekati Akhir Jabatan Jokowi

18 Februari 2024

Serba-serbi Pembangunan IKN Mendekati Akhir Jabatan Jokowi

Tahun ini Jokowi ingin mengadakan upacara kemerdekaan Indonesia yang ke-79 di IKN

Baca Selengkapnya

Volume Kendaraan Jalan Tol Nusantara Naik Sejak H-1 Libur Panjang Isra Miraj

9 Februari 2024

Volume Kendaraan Jalan Tol Nusantara Naik Sejak H-1 Libur Panjang Isra Miraj

Ruas jalan tol regional nusantara dilaporkan mengalami peningkatan volume kendaraan sejak H-1 libur panjang Isra Miraj dan Tahun Baru Imlek 2024.

Baca Selengkapnya