Plasma Darah untuk Pengobatan Covid-19 Dilarang Diperjualbelikan

Reporter

Antara

Jumat, 8 Mei 2020 10:39 WIB

Sebuah mesin apheresis memisahkan dan mengumpulkan plasma dari seluruh darah dari pasien Covid-19 yang telah pulih di Central Seattle Donor Center of Bloodworks Northwest, Washington, AS, Jumat 17 April 2020. ANTARA FOTO/Reuters-Lindsey Wasson/hp.

TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia termasuk di antara negara yang mencoba pengobatan Covid-19 menggunakan plasma darah atau konvalesen. Ini adalah upaya pemberian imunisasi pasif--karena plasma darah mengandung antibodi pasien yang sudah sembuh--kepada pasien yang masih berjuang melawan infeksi virus corona 2019.

Tim Peneliti Plasma Konvalesen Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)/Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Elida Marpaung, menegaskan bahwa pengobatan itu masih dalam tahap uji. Plasma darah pun diingatkannya tidak boleh diperjualbelikan.

"Seperti transfusi pada umumnya bahwa memang darah manusia itu tidak boleh diperjualbelikan," kata Elida dalam diskusi daring yang diselenggarakan oleh Indonesian Clinical Training and Education Center (ICTEC) dan Bagian Penelitian RSCM-FKUI di Jakarta, Selasa lalu.

Peraturan yang sekarang ada untuk proses transfusi darah, kata dokter dari Unit Pelayanan Transfusi Darah (UPTD) RSCM itu, juga berlaku untuk plasma darah. Dia menerangkan bahwa biaya yang digantikan oleh pasien adalah biaya pengolahan darah, meski hal itu tidak berlaku untuk penelitian.

Elida menegaskan bahwa donor yang diterima adalah yang diberikan secara sukarela. Dalam rangka penelitian terapi plasma darah, yang sekarang tengah dilakukan di Indonesia, pasien penerima terapi juga tidak akan dibebankan apapun.

Elida mengingatkan itu setelah penggunaan terapi plasma konvalesen untuk pasien COVID-19 dengan gejala berat menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam beberapa pengujian. Tim Peneliti Plasma Konvalesen RSCM/FKUI pun sedang mengumpulkan pasien COVID-19 yang sudah sembuh untuk secara sukarela menyerahkan plasma darah.

Anggota tim penelitian yang sama, Lugyanti Sukrisman, menguatkan catatan bahwa pengobatan masih dalam tahap uji dan membutuhkan data lebih besar untuk memastikan efektivitasnya. "Seyogyanya kita akan memerlukan data yang lebih besar yang bisa mencapai secara statistik signifikan dalam clinical trial (uji klinis)," katanya.

Advertising
Advertising

<!--more-->



Kesimpulan, dia menambahkan, bisa diambil setelah melihat pula data dari penelitian-penelitian terdahulu tentang penggunaan terapi plasma konvalesen kepada pasien SARS dan Ebola. Selain yang sekarang sedang dilakukan terhadap Covid-19.

Pengujian yang dilakukan pada 80 pasien SARS di Hong Kong pada 2003, Lugyanti menjelaskan, menunjukkan pasien dapat pulang pada hari ke-22 jika diberi plasma konvalesen sebelum hari ke-14 dari masa awal dia sakit. Tapi pasien yang menerima plasma konvalesen setelah hari ke-14 harus tinggal di rumah sakit lebih lama dan memiliki tingkat mortalitas lebih tinggi.

Penelitian pada pasien Ebola di Guinea memperlihatkan pada umumnya pasien yang menerima plasma konvalesen menunjukkan durasi gejala yang lebih pendek. Tapi ada efek samping seperti sulit bernapas dan mata merah pada pasien yang mendapat terapi tersebut.

Menurut studi tersebut, transfusi 500 mililiter plasma konvalesen pada 84 pasien Ebola tidak berasosiasi dengan peningkatan tingkat kesembuhan yang signifikan.

Penelitian mengenai penggunaan terapi itu juga dilakukan terhadap lima pasien COVID-19 dengan kondisi berat di Shenzhen, Cina, dari 20 Januari sampai 25 Maret 2020. Hasilnya menunjukkan ada perbaikan signifikan pada pasien yang diberi plasma konvalesen. Sebanyak empat pasien bisa melepas ventilator mekanik sembilan hari setelah mendapat transfusi plasma.

Yang bisa disorot dari penelitian tersebut, kata Ligyanti, adalah kemungkinan antibodi dari plasma konvalesen berkontribusi pada pembersihan virus dan perbaikan gejala pasien. Namun skala penelitian itu masih tergolong kecil berdasarkan jumlah pasien terlibat dalam pengujian.

"Plasma darah konvalasen adalah suatu pasif antibodi menunjukkan hasil yang menjanjikan pada kasus SARS-CoV-2 yang berat tetapi masih dalam jumlah subjek atau pasien yang terbatas," kata Lugyanti.

Berita terkait

Viral Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Guru Besar FKUI Sebut Manfaatnya Jauh Lebih Tinggi

1 hari lalu

Viral Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Guru Besar FKUI Sebut Manfaatnya Jauh Lebih Tinggi

Pada 2021 lalu European Medicines Agency (EMA) telah mengungkap efek samping dari vaksinasi AstraZeneca.

Baca Selengkapnya

Gejala Baru pada Pasien DBD yang Dialami Penyintas COVID-19

3 hari lalu

Gejala Baru pada Pasien DBD yang Dialami Penyintas COVID-19

Kemenkes mendapat beberapa laporan yang menunjukkan perubahan gejala pada penderita DBD pascapandemi COVID-19. Apa saja?

Baca Selengkapnya

Selain AstraZeneca, Ini Daftar Vaksin Covid-19 yang Pernah Dipakai Indonesia

3 hari lalu

Selain AstraZeneca, Ini Daftar Vaksin Covid-19 yang Pernah Dipakai Indonesia

Selain AstraZeneca, ini deretan vaksin Covid-19 yang pernah digunakan di Indonesia

Baca Selengkapnya

Heboh Efek Samping AstraZeneca, Pernah Difatwa Haram MUI Karena Kandungan Babi

4 hari lalu

Heboh Efek Samping AstraZeneca, Pernah Difatwa Haram MUI Karena Kandungan Babi

MUI sempat mengharamkan vaksin AstraZeneca. Namun dibolehkan jika situasi darurat.

Baca Selengkapnya

Komnas PP KIPI Sebut Tidak Ada Efek Samping Vaksin AstraZeneca di Indonesia

4 hari lalu

Komnas PP KIPI Sebut Tidak Ada Efek Samping Vaksin AstraZeneca di Indonesia

Sebanyak 453 juta dosis vaksin telah disuntikkan ke masyarakat Indonesia, dan 70 juta dosis di antaranya adalah vaksin AstraZeneca.

Baca Selengkapnya

Fakta-fakta Vaksin AstraZeneca: Efek Samping, Kasus Hukum hingga Pengakuan Perusahaan

4 hari lalu

Fakta-fakta Vaksin AstraZeneca: Efek Samping, Kasus Hukum hingga Pengakuan Perusahaan

Astrazeneca pertama kalinya mengakui efek samping vaksin Covid-19 yang diproduksi perusahaan. Apa saja fakta-fakta seputar kasus ini?

Baca Selengkapnya

Kilas Balik Kasus Korupsi APD Covid-19 Rugikan Negara Rp 625 Miliar

10 hari lalu

Kilas Balik Kasus Korupsi APD Covid-19 Rugikan Negara Rp 625 Miliar

KPK masih terus menyelidiki kasus korupsi pada proyek pengadaan APD saat pandemi Covid-19 lalu yang merugikan negara sampai Rp 625 miliar.

Baca Selengkapnya

Persetujuan Baru Soal Penularan Wabah Melalui Udara dan Dampaknya Pasca Pandemi COVID-19

10 hari lalu

Persetujuan Baru Soal Penularan Wabah Melalui Udara dan Dampaknya Pasca Pandemi COVID-19

Langkah ini untuk menghindari kebingungan penularan wabah yang terjadi di awal pandemi COVID-19, yang menyebabkan korban jiwa yang cukup signifikan.

Baca Selengkapnya

Peruri Ungkap Permintaan Pembuatan Paspor Naik hingga Tiga Kali Lipat

11 hari lalu

Peruri Ungkap Permintaan Pembuatan Paspor Naik hingga Tiga Kali Lipat

Perum Peruri mencatat lonjakan permintaan pembuatan paspor dalam negeri hingga tiga kali lipat usai pandemi Covid-19.

Baca Selengkapnya

Penjelasan Guru Besar FKUI Soal Kenapa 1 Juta Lebih WNI Pilih Berobat di Luar Negeri

11 hari lalu

Penjelasan Guru Besar FKUI Soal Kenapa 1 Juta Lebih WNI Pilih Berobat di Luar Negeri

Jokowi menyebut 1 juta lebih WNI berobat ke luar negeri. Apa alasannya?

Baca Selengkapnya