TEMPO.CO, Jakarta - Pengobatan pasien Covid-19 dengan cara pemberian plasma darah atau konvalesen milik pasien yang sudah sembuh sudah diterapkan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto. Terapi pengobatan ini telah dicoba di beberapa negara seperti Cina, Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris dalam upaya memerangi pandemi penyakit virus corona 2019.
Penerapannya di Indonesia diungkap Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Amin Soebandrio, kepada ANTARA Jakarta, Rabu 6 Mei 2020. Dia menuturkan, berdasarkan informasi terakhir yang diperolehnya, konvalesen diberikan kepada tiga pasien di rumah sakit itu. Termasuk yang menyumbangkannya adalah pasien asal Depok, Jawa Barat, yang merupakan kasus terkonfirmasi pertama Covid-19 di Indonesia.
"Plasma konvalesen diambil dari orang dalam kasus-kasus pertama di Indonesia," katanya.
Plasma darah atau konvalesen, Amin menerangkan, mengandung antibodi terhadap SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan Covid-19. Antibodi itu dianggap dapat membantu memerangi virus yang ada dalam tubuh pasien yang masih sakit. Namun, dia menambahkan, plasma konvalesen bukan merupakan terapi massal .
Terapi ini hanya diberikan kepada pasien COVID-19 yang berada dalam kondisi berat atau kritis. Selain jumlah plasma darah yang terbatas, Amin mengatakan, "Satu plasma itu tidak bisa dipakai untuk semua orang."
Terapi pengobatan dengan plasma darah juga sedapat mungkin diberikan kepada pasien yang memiliki golongan darah sama dengan pendonornya, untuk menghindari potensi reaksi yang tidak diharapkan karena berbeda golongan darah.
Amin juga menuturkan, tidak semua pasien sembuh bisa mendonorkan plasma darahnya. Selain kesamaan golongan darah, syarat lainnya adalah minimal sudah dua pekan sembuh total dari Covid-19, harus dalam keadaan sehat secara fisik dan secara laboratorium, serta mengandung antibodi yang cukup tinggi untuk bisa menetralisasi virus.
Terpisah, dalam diskusi online yang diselenggarakan oleh Indonesian Clinical Training and Education Center (ICTEC) dan Bagian Penelitian RSCM-FKUI di Jakarta, Selasa lalu, disampaikan bahwa terapi pengobatan dengan konvalesen cukup menjanjikan. Meskipun uji-uji yang sudah dilakukan dianggap belum besar.
"Kalau melihat datanya, promising (menjanjikan) karena datanya kecil-kecil, tetapi belum bisa untuk mendapatkan data yang cukup untuk melihat dalam satu persentase," kata dokter spesialis hematologi dan onkologi Lugyanti Sukrismananggota, juga anggota Tim Peneliti Plasma Konvalesen RSCM/FKUI.
Sedang anggota tim yang lain, Robert Sinto, mengatakan, secara hipotesis, terapi pengobatan ini bisa lebih baik jika diberikan di awal infeksi virus. Bukan saat pasien sudah terpapar parah. "Karena pada waktu awal itu kita bisa memberikannya untuk clearence virus lebih baik," katanya.
Tapi, beberapa uji klinis yang dilakukan sejauh ini dilakukan kepada pasien COVID-19 dengan gejala berat dengan alasan bila diberikan kepada semua pasien positif dalam semua tingkatan gejala maka jumlah plasma tidak akan mencukupi.
Pemilihan pemberian terapi plasma darah kepada pasien dengan gejala berat juga karena kebanyakan proses pengobatannya tidak mencukupi dengan terapi standar dan diperlukan tambahan. "Jadi, dalam uji klinis di berbagai negara biasanya terapi plasma darah diberikan bersama dengan terapi standar lain," kata Lugyanti.